Masa penerimaan mahasiswa baru menjadi masa-masa penting untuk memperkokoh mentalitas kebangsaan seluruh civitas akademika di lingkungan kampus. Kampus sebagai tempat menggembleng generasi muda bangsa, baik secara intelektual, mental, maupun spiritual, harus bisa menjadi tempat berseminya nilai-nilai kebangsaan untuk menjamin persatuan dan keutuhan bangsa di masa depan. Kita punya harapan besar agar kampus bisa menghasilkan insan-insan nasionalis penjaga bangsa.
Namun, kita harus membuka mata bahwa kampus saat ini juga menjadi ladang berseminya virus radikalisme dan ekstremisme agama yang justru mengancam persatuan dan keutuhan bangsa. Kebebasan berwacana di kampus menjadi celah yang dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal untuk menyusupkan pahamnya kepada kalangan mahasiswa. Alhasil, kampus-kampus di Indonesia pun menjadi ladang subur berseminya bibit-bibit radikalisme.
SETARA Institute telah melansir temuan riset nasionalnya tentang wacana keagamaan yang berkembang di lingkungan pendidikan tinggi. Riset dilakukan pada Februari-April 2019 di 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN), meliputi: UI, UIN Syarif Hidayatullah, ITB, UIN Sunan Gunung Djati, IPB, UGM, UNY, Universitas Brawijaya, Universitas Mataram, dan Universitas Airlangga. Hasilnya: wacana keagamaan yang mendominasi di kampus-kampus tersebut adalalah wacana yang dikembangkan oleh gerakan tarbiyah dan eks-Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Berdasarkan riset tersebut, SETARA Institute menemukan tiga wacana keagamaan yang dominan di 10 kampus di atas. Pertama, propaganda bahwa keselamatan hidup, baik pribadi maupun bangsa, hanya bisa diraih lewat ketaatan terhadap “jalan Islam”. Adapun jalan yang dimaksud ialah Al Quran dan hadist. Ini meruapakan pandangan puritan yang membatasi kebijaksanaan agama ini hanya di dua sumber utama tersebut. Kedua, propaganda bahwa Islam sedang dalam ancaman musuh-musuhnya. Musuh yang dimaksud ialah kalangan Kristen, Zionisme, imperalisme Barat, kapitalisme, serta kaum Muslim sekular dan liberal. Ketiga, ajakan untuk melakukan perang pemikiran (ghazw al-fikr) dalam rangka melawan berbagai ancaman tersebut demi kejayaan Islam (Kompas.com , 08/06/2019).
Mencermati wacana keagamaan yang dominan di kampus-kampus besar di Indonesia tersebut, jelas mesti membuat kita semakin waspada. Wacana keagamaan yang cenderung eksklusif bernuansa kebencian terhadap kelompok lain tersebut berbahaya jika terus dibiarkan berkembang di tengah bangsa yang beragam seperti di Indonsia. Maka, di momentum penerimaan mahasiswa baru ini, seluruh kampus di Indonesia harus bersatu merapatkan barisan untuk meningkatkan kewaspadaan demi membentengi mahasiswa dan seluruh civitas akademika dari virus-virus radikalisme dan ekstremisme agama tersebut.
Momen penerimaan mahasiswa baru ini harus dijadikan momen evaluasi pihak kampus untuk mulai menetapkan program-program atau kebijakan-kebijakan penting untuk melindungi mahasiswa baru dari ancaman virus radikal. Baik melalui berbagai bentuk pendidikan, pelatihan bela negara dan kebangsaan, maupun penguatan keagamaan Islam yang moderat dan damai. Di samping itu, juga dengan penegakan peraturan-peraturan penting penunjang terciptanya kehidupan lingkungan kampus yang bebas dari paham-paham radikalisme atau ekstremisme agama.
Menjadi kader penangkal virus radikalisme
Tentu, dalam penegakan kebijakan-kebijakan penangkal radikalisme di kampus tersebut, selain digerakkan seluruh tenaga pengajar dan petinggi kampus, seluruh aktivis mahasiswa di seluruh organisasi di kampus juga harus dilibatkan. Ini sangat penting agar mahasiswa merasa menjadi bagian penting dari gerakan bersama untuk bersatu melawan paham-paham radikal dan intoleran di kampus.
Hal tersebut misalnya, mula-mula bisa dilakukan dengan pengkaderan para aktivis mahasiswa lewat berbagai gemblengan pendidikan dan pelatihan kebangsaan dan keberagamaan yang moderat. Hasil pendidikan tersebut harus benar-benar melahirkan kader-kader mahasiswa yang memiliki kualitas pengetahuan dan kecintaan pada nasionalisme, wawasan kebangsaan yang kuat, serta karakter keberagamaan yang moderat dan damai. Mereka inilah yang akan menjadi kader-kader penangkal virus radikal yang bertugas memberi pengaruh positif di tengah berbagai macam pergaulan mahasiswa di lingkungan kampus.
Tempat-tempat yang umumnya menjadi tempat penyebaran paham radikalisme, seperti masjid atau musala kampus, kantor-kantor organisasi dakwah, hingga asrama mahasiswa, adalah tempat-tempat yang mesti dijelajahi para mahasiswa kader penangkal virus radikalisme. Lewat pertemanan, diskusi, dan dialog, para kader tersebut bisa terus melakukan pemantauan, menganalisis, dan memetakan seluruh aktivitas mahasiswa di kampus secara sistematis. Para kader tersebut harus bisa menemukan saluran-saluran yang digunakan kelompok radikal sebagai pintu masuk menyebarkan pahamnya kepada mahasiswa. Sehingga dari sana, para kader tersebut bisa saling berkoordinasi, baik dengan sesama kader maupun dengan para petinggi kampus, untuk kemudian memberikan pengarahan terbaik di kalangan sesama mahasiswa demi menciptakan kehidupan kampus yang aman dan damai.
Memang tak mudah memberantas virus radikalisme yang sudah lama bercokol dan berkembang di lingkungan kampus. Kelompok-kelompok pembawa paham radikal tersebut kini semakin lihai bersembunyi di balik kedok-kedok kegiatan kampus yang sekilas nampak baik dan “aman”. Oleh karena itu, pelibatan kalangan mahasiswa secara aktif dengan menjadikan mereka sebagai kader penangkal virus radikalisme merupakan langkah strategis untuk terus melacak, mengawasi, dan mewaspadai pergerakan-pergerakan kelompok radikal tersebut. Wallahu a’lam