Mewujudkan Kampus Merdeka dari Paham Radikal-Intoleran

Mewujudkan Kampus Merdeka dari Paham Radikal-Intoleran

- in Narasi
1462
0

Tahun ajaran baru di perguruan tinggi telah bergulir. Meski di tengah pandemi, animo masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi tetap tidak surut. Ini membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat meyakini bahwa pendidikan ialah jalan terbaik untuk mengubah nasib dan meraih masa depan. Tahun ajaran baru di perguruan tinggi ini menjadi istimewa lantaran sebelumnya, Kementerian Pendidikan meluncurkan program “Kampus Merdeka”. Program “Kampus Merdeka” diinisasi oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makariem untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi di level global, sekaligus meningkatkan mutu lulusan agar selaras dengan kebutuhan industri terhadap tenaga kerja.

Setidaknya ada empat hal pokok yang diatur dalam program “Kampus Merdeka”, yakni tentang mekanisme akreditasi kampus, kebijakan magang bagi mahasiswa serta kesempatan mengambil mata kuliah yang non-linier dengan jurusan (program studi) dan kemudahan alih status menjadi perguruan tinggi negeri (PTN). Tulisan ini tidak dikerangkakan untuk mengelaborasi lebih lanjut ihwal program merdeka belajar tersebut, melainkan untuk membahas hal yang kiranya lebih subtansial dan lebih filosofis. Kebijakan “Kampus Merdeka” yang digagas Menteri Pendidikan tentu patut diapresiasi lantaran hal itu memungkinkan perguruan tinggi melakukan akselerasi mutu dan kualitas lulusan. Selama ini, harus diakui perguruan tinggi kerap terbelenggu oleh aturan birokrasi akademik yang menghambat progresifitas.

Namun demikian, ada hal lain yang kiranya juga patut menjadi perhatian bersama, terutama ihwal masih banyaknya perguruan tinggi yang civitas akademikanya terpapar paham radikal-intoleran. Persolana ini jelas tidak kalah membahayakan dengan belenggu birokrasi akademik yang selama ini membelit kampus. Jika birokrasi akademik hanya berpengaruh pada sisi internal kampus, maka paham radikal-intoleran yang berkembang di perguruan tinggi akan berdampak serius pada tatanan bangsa dan negara. Bisa dibayangkan bagaimana jika perguruan tinggi yang diharapkan mampu mencetak lulusan yang intelek dan profesional jusru menjadi sarang gerakan radikal-intoleran. Maka dari itu, penting kiranya mewujudkan kampus yang merdeka dari paham dan gerakan radikal-intoleran. Namun, bagaimana caranya?

Mengidentifikasi Faktor Radikalisme di Kampus

Langkah awal yang harus dilakukan dalam hal ini ialah mengidentifikasi penyebaran paham radikal-intoleran di kampus; siapa saja yang terpapar, dan faktor apa saja yang melatarinya. Indentifikasi ini penting untuk memetakan jaringan penyebaran paham radikal-intoleran di kampus-kampus. Sejumlah studi menemukan fakta bahwa paham radikal-intoleran menjangkiti sejumlah kampus di Indonesia. Survei Alvara Reseacrh pada tahun 2017 lalu misalnya, menyebut bahwa 25 persen mahasiswa menolak pemimpin non-muslim, 23 persen mahasiswa mendukung terbentuknya negara Islam dan 17 persen mahasiswa setuju pada gagasan khilafah islamiyyah. Dalam survei tersebut, Alvara mencatat setidaknya terdapat 12 kampus yang terpapar radikalisme, yakni UI, ITB, UGM, IPB, UIN Jakarta, UIN Bandung, UNY, Unair, ITS Undip, Universitas Brawijaya dan Universitas Samratulangi.

Seturut survei Alvara, modus penyebaran radikalisme di perguruan tinggi umumnya dilakukan oleh kelompok keagamaan bercorak eksklusif dan puritan seperti gerakan salafi, tarbiyah dan tahririyah. Mereka menyusup ke dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Mereka memanfaatkan ruang-ruang di kampus, seperti masjid dan sekretariat BEM untuk indoktrinasi, rekrutmen dan kaderisasi. Mereka menyebarkan sentimen radikalisme di kalangan mahasiswa dengan membangun opini dan persepsi bahwa umat Islam saat ini tengah menderita lantaran sistem ekonomi-politik Barat yang memusuhi Islam.

Survei Alvara tersebut kiranya bisa dijadikan sebagai semacam peta sederhana untuk memahami strategi dan modus penyebaran paham radikal di kampus. Lantas, apa yang harus perguruan tinggi lakukan untuk memberantas radikalisme di kampus-kampus? Kita kerap salah kaprah memahami bahwa radikalisme di kampus bisa diberantas dengan membatasi ruang gerak aktivitas mahasiswa di luar kegiatan akademis. Pemahaman yang demikian ini justru salah. Radikalisme justru tumbuh subur di ruang-ruang dimana kebebasan berpendapat dan berekspresi dibatasi. Sebaliknya, ketika kebebasan berpikir dan berpendapat itu didorong, radikalisme justru kesulitan untuk berkembang. Hal ini terjadi karena radikalisme ialah gagasan, paham dan perspektif pemikiran yang tentunya juga bisa dilawan denngan gagasan atau wacana tandingan.

Menghadirkan Iklim Inklusivisme dan Kritisisme di Kampus

Maka, langkah pertama untuk menghalau penyebaran radikalisme di kampus ialah dengan menerapkan gagasan kampus inklusif, yakni kampus yang menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat sepanjang tidak bertentangan dengan NKRI dan Pancasila. Kampus harus disemarakkan tidak hanya dengan kegiatan akademik, namun juga oleh kegiatan-kegiatan non-akademik yang mampu menumbuhkan spirit kebangsaan, nasionalisme dan juga kemanusiaan. Diskusi, seminar, acara olahraga, dan kesenian perlu digelar sesering mungkin untuk memberikan ruang ekspresi pada para mahasiswa. Pendek kata, ruang publik di perguruan tinggi harus dipenuhi oleh hal-hal positif agar tidak dikuasai oleh narasi atau wacana radikalisme.

Dalam lingkup kebijakan, perguruan tinggi harus menunjukkan otoritas dan kekuasaannya untuk membatasi pergerakan kaum radikal. Pihak rektorat dan dekanat harus jeli mengawasi masjid, LDK dan organisasi kemahasiswaan lainnya agar tidak menjadi sarang indoktrinasi, rekrutmen dan kaderisasi kelompok radikal. Apa yang dilakukan oleh UIN Sunan Kalijaga kiranya patut menjadi teladan dalam hal ini. Di UIN Sunan Kalijaga, Masjid dikelola sepenuhnya oleh pihak universitas di bawah naungan lembaga “Laboraturium Agama”. Jadi, semua kegiatan di masjid yang melibatkan orang banyak seperti pelatihan, diskusi dan sejenisnya harus mendapatkan persetujuan pengelola “Laboratorium Agama” yang diisi oleh dosen dan mahasiswa. Kegiatan keagamaan yang melibatkan ceramah, seperti khutbah jumat, kultum pra-tarawih dan sejenisnya mendapat pengawasan ketat dari pihak universitas. Semua khotib atau pembicara, berikut dengan materi yang akan disampaikan harus lolos standar “Laboraturium Agama”. materi-materi khutbah dan ceramah pun harus menyesuaikan dengan tema-tema yang sebelumnya telah disusun oleh pihak “Laboraturium Agama”. Hal serupa kiranya bisa direduplikasi di kampus-kampus lain.

Membangun sistem kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menangkal paham radikal merupakan keharusan seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Civitas akademika mulai dari mahasiswa, dosen dan pegawai perlu bekerjasama dan bersinergi mencitakan kehidupan kampus yang inklusif, terbuka bagi perbedaan pandangan dan menjunjung tinggi kemerdekaan berpendapat dalam bingkai NKRI dan Pancasila. Mencegah paham radikal masuk ke kampus barangkali ialah sebuah kemustahilan, namun menghalaunya agar tidak berkembang dan menjangkiti civitas akademika ialah sebuah keharusan. Menumbuhkan suasana kampus yang inklusif, dinamis dan demokratis ialah salah satu jalan untuk memunculkan wacana tandingan untuk melawan radikalisme. Di saat yang sama, inklusivitas itu harus dibarengi dengan mekanisme pengawasan internal guna memastikan tidak ada ruang gerak bagi kelompok radikal untuk melakukan indoktrinasi, rekrutmen dan kaderisasi di kalangan civitas akademika.

Facebook Comments