Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

- in Narasi
1
0
Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Menarik untuk mengamati fenomena keberadaan masjid yang desain arsitekturnya mirip atau malah sama dengan kelenteng. Disebut fenomena karena keberadaan masjid yang demikian itu bukan hanya satu di Indonesia. Melainkan banyak. Bahkan, nyaris di setiap kota kini ada masjid dengan desain arsitektur menyerupai kelenteng yang menjadi tempat ibadah umat Konghucu tersebut.

Tidak hanya itu, sejumlah masjid berarsitektur kelenteng pun dinamakan dengan bahasa Tionghoa. Sebut saja misalnya, masjid Tan Kok Liong di Bogor, masjid Cheng Ho di Surabaya, dan masjid Lautze di Jakarta. Nama-nama masjid itu barangkali terdengar aneh di tengah nama masjid yang biasanya menggunakan Bahasa Arab.

Keberadaan masjid rasa kelenteng yang menjamur di Indonesia bahkan seolah menjadi tren ini menandakan sejumlah hal. Pertama, kian melunturnya kecurigaan dan kebencian terhadap etnis China yang sekian lama menguasai alam bawah sadar masyarakat Indonesia, termasuk umat Islam. Sentimen kebencian yang mengakar sejak era kolonial hingga Orde Baru itu perlahan mulai memudar. Pelan namun pasti pandangan positif terhadap budaya Tionghoa oleh masyarakat Indonesia mulai terbentuk.

Kedua, indikasi bahwa Islam dan Tionghoa bukanlah dua entitas yang harus dipertentangkan. Keduanya bisa bertemu, dalam aspek kultural dan sosiologis, meski berbeda prinsip secara teologis. Islam memiliki ajaran yang berbeda dengan agama Konghucu yang menjadi agama mayoritas di kalangan warga Tionghoa.

Namun, bukan berarti prinsip-prinsip Islam dalam hal kehidupan berbeda atau bertolak belakang dengan ajaran Konghucu. Di ranah sosial dan kebudayaan inilah, keduanya bertemu. Desain arsitektur masjid yang mengadaptasi Kelenteng hanyalah satu dari sekian banyak ekspresi akulturatif yang bisa kita temukan. Masih banyak ekspresi akulturatif lainnya, misalnya sajian kuliner yang kerap muncul dalam acara selametan di kalangan muslim tradisional pedesaan.

Sajian mie, lontong, bahkan bakwan jelas bukan budaya kuliner asli Nusantara. Semua itu baru dikenal oleh masyarakat Nusantara setelah imigran asal Tionghoa masuk pada kurun masa abad ke 7 Masehi. Sajian kuliner itu diadaptasi oleh masyarakat Nusantara. Bahkan, diadaptasi ke dalam upacara keagamaan seperti selametan, pengajian, dan sebagainya.

Antropolog Sumanto al Qurtuby bahkan menyebut bahwa Islam Nusantara itu lebih kental nuansa Tionghoa-nya ketimbang nuansa Arab. Pernyataan ini didasarkan pada betapa banyaknya pengaruh budaya Tionghoa dalam membentuk ritual dan tradisi Islam Nusantara yang sarat akan tradisi dan budaya lokal.

Novi Basuki, seorang Sinolog (ahli China) dalam sebuah podcast menyebutkan bahwa banyak pendakwah awal Islam di Nusantara juga berasal dari Tiongkok. Mereka ini selain berdakwah juga mengenalkan budaya asli Tiongkok, terutama makanan, arsitektur, dan sebagainya. Maka, kita tidak bisa menghapus jejak kebudayaan Tiongkok dalam penyebaran Islam di Indonesia.

Fakta-fakta itu kiranya bisa menjadi modal sosial dan kultural untuk menghapus rasisme dan segala bentuk diskriminasi terhadap etnis China di Indonesia. Sampai hari ini, harus diakui bahwa sentimen anti-China terus saja berusaha dihembuskan kalangan tertentu. Terutama kelompok radikal dan golongan yang benci dan anti dengan pemerintah.

Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kelompok radikal dan oposisi destruktif kerap menggunakan istilah “aseng” untuk menyebut Tionghoa atau China. Masuknya investasi China ke Indonesia dianggap sebagai bentuk penjajahan aseng. Pemerintah Indonesia kerap disebut “kacung aseng” oleh kelompok radikal dan oposisi destruktif.

Kini, ketika presiden baru, yakni Prabowo Subianto menjalin kerjasama dengan pemerintah China dan bertemu dengan Xi Jin Ping, narasi “antek aseng” itu kembali mencuat. Narasi ini sengaja dihembuskan kelompok tertentu dengan setidaknya dua tujuan. Pertama, mendelegitimasi kinerja pemerintahan yang sah. Kedua, mengadu-domba antara umat Islam dan warga keturunan Tionghoa di Indonesia.

Kelompok radikal paham bahwa sentimen anti-China ini masih efektif untuk memantik gejolak bahkan kekacauan sosial di Indonesia. Maka, kita tidak boleh hanyut pada narasi “antek aseng” yang digemborkan kalangan radikal tersebut. Islam tidak akan menyebar luas ke Nusantara tanpa kontribusi pada pendakwah asal Tiongkok.

Budaya Tiongkok juga ikut andil membentuk identitas Islam Nusantara yang khas dan identik dengan nilai toleransi, inklusivisme, dan moderat. Keberadaan masjid rasa kelenteng adalah bukti bahwa Islam tidak merawat sentimen kebencian terhadap etnis Tionghoa. Bahkan, Islam mau mengadaptasi kultur Tionghoa untuk memperkaya khazanah keislaman dan kebudayaan.

Ada baiknya sesekali kita mampir ke masjid dengan desain arsitektur yang mirip kelenteng tersebut. Toh, di banyak kota sekarang sudah ada masjid yang seperti itu. Cobalah untuk menumpang sholat, lalu sejenak menikmati keindahan dan keunikan arsitekturnya. Lalu resapi bahwa itu hanyalah bangunan. Masjid bisa didesain ala Timur Tengah degan kubah besar. Bisa juga didesain kekinian berbentuk kotak kubus besar yang sangat post-modern. Bahkan, masjid bisa didesain layaknya gereja atau kelenteng.

Semua itu tidak mendistorsi esensi masjid sebagai tempat ibadah umat Islam. Demikian pula dalam beragama. Kita bisa terlahir sebagai Islam, Kristen, Konghucu, Budha, Hindu, bahkan Yahudi. Namun, itu semua tidak mengurangi esensi kita sebagai manusia yang dianugerahi kemampuan untuk mengembangkan sikap welas asih pada sesama.

Facebook Comments