Massa yang Berjeda

Massa yang Berjeda

- in Narasi
1292
0
Massa yang Berjeda

Jejaring radikalisasi yang berkemas keagamaan maupun sekularisme di Indonesia juga menggunakan “keluarga” sebagai unit terkecil dari masyarakat (Radikalisasi dari Bawah: Mengurai Jejaring Radikalisasi Keagamaan di Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Taruhlah suami sebagai seorang kepala negara dan isteri beserta anak sebagai rakyatnya—bukankah dalam bahasa Jawa anak dan isteri sering dibahasakan secara halus sebagai “rakyat” seperti dalam ungkapan keseharian: “Menika rakyat kula”?

Dengan analogi demikian apa yang terjadi pada tataran nasional, dimana seperti terjadi keterputusan antara pemerintah dan rakyatnya (bahkan pun terkait dengan jejaring dan radikalisasi paham keagamaan maupun non-keagamaan), setidaknya dapat dipetakan cara kerjanya. Bukankah menjelang pilkada Jakarta pada 2018 dan pilpres pada 2019 banyak kita saksikan aksi nekat para “emak-emak” dan “anak-anakannya” yang viral baik di media-media daring maupun media-media sosial yang kesemuanya, secara psikologis, seperti menderita histeria dan neurosis obsesional yang mengatasi akal sehat? Bukankah tak sedikit pula “emak-emak” itu berasal dari kalangan kelas menengah, para orang yang notabene adalah abdi negara atau sekedar isteri-isteri para abdi negara?

Telah saya petakan struktur jejaring mereka yang saya namakan sebagai jejaring “wani wirang,” yang terkenal nekat menuai konsekuensi atas apa yang mereka mufakatkan dan lakukan serta jejaring “masturbasif” yang seperti halnya para preman dengan segala karakteristiknya—bukankah aksi-aksi demonstrasi yang pekat dengan anarkisme membuktikan karakter “masturbasif” ini (Yang Tertolak: Menguak Struktur Jaringan Radikalisme dan Terorisme Kontemporer di Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org)?

Pasca pilpres 2019 dapat diketahui bahwa 72% ASN dan pegawai BUMN menjatuhkan pilihan politiknya pada pasangan Prabowo-Sandi. Hal ini mengindikasikan bahwa jejaring radikalisme keagamaan,yang terang terlibat dalam berbagai gerakan yang kental dengan sikap yang anti terhadap pemerintahan sah Jokowi-Ma’ruf Amien, telah lama mengilfiltasi kalangan birokrasi dan pendidikan (Gelagat: Antara Pancasila dan Kerangka Para Aparatur Negara, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com).

Tak pula sebenarnya kalangan radikal itu menyasar kalangan ASN dan pegawai BUMN, atau katakanlah kalangan kelas menengah. Fakta di lapangan juga mengungkapkan bahwa radikalisasi itu juga terjadi di kalangan akar rumput. Tapi memang, radikalisasi di akar rumput tetap tak dapat dilepaskan dari kalangan abdi negara. Sebagaimana yang diketahui, struktur birokrasi bersifat hierarkis, dari atas ke bawah, dari pusat ke daerah, hingga menyentuh para aparatur desa. Dengan kata lain, dengan struktur yang hierarkis seperti itu, radikalisasi dapat berlangsung dari bawah atau pinggiran ke atas atau pusat dengan berkedok spiritualitas semu—dengan indikasi histeria dan neurosis obsesional yang kental—yang sesungguhnya bersifat politis (Menguak Spiritualitas Semu di Balik Gerakan Op(l)osan, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Ketika pun ini semua terungkap, atau katakanlah para orang yang terbukti telah berkhianat pada negara dan telah melakukan sumpah kesetiaan ulang (berlangsung pada kalangan institusional) pasca pembubaran HTI, tak berarti gerakan-gerakan wani wirang dan “masturbasif” surut. Mereka justru bertransformasi menjadi kalangan yang saya sebut sebagai kalangan “nasionalisme masturbasif” (Parasit dan “Nasionalisme Masturbasif”, Heru Harjo Hutomo, https://www.harakatuna.com). Dengan esensi, pola dan struktur yang sama, mereka kemudian mempoles diri sebagai kalangan “nasionalis” yang organ-organ kotornya telah lama mereka bentuk untuk mengatasi kegagalan agenda mereka di tingkat birokrasi dan lembaga-lembaga pendidikan seandainya terungkap.

Organ-organ kotor tersebut telah lama bergerak di kalangan akar rumput yang sering tak berkemaskan agama, tapi tetap dengan pola spiritualitas semu dan ancaman serta kekerasan yang sama (Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Antiterosime Sejak Dini, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Dahulu, setahu saya, organ-organ kotor ini adalah justru kalangan yang bukan pemilih pasangan Jokowi-Ma’ruf Amien atau bahkan kalangan yang telah tercekoki untuk tak menghendaki adanya segala tata (order) atau negara. Bukankah para teroris yang selama ini tertangkap di Indonesia kebanyakan bukanlah kalangan yang benar-benar paham dengan agama dan beragama (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org)?

Pada titik inilah, saya kira, keterputusan antara pemerintah dan rakyatnya yang ditandai dengan adanya krisis kepercayaan pada pemerintah bermula. Dari pemerintahan tingkat desa hingga pusat justru diisi oleh orang-orang yang telah menjadi rahasia umum pernah terlibat dalam berbagai gerakan radikal dan anti pemerintah saat itu yang ironisnya, karena berbagai keuntungan formal-simbolik, berhasil menindas dan menyisihkan para pendukung dan pemilih pemerintahan yang terpilih (Berlalu di Zaman (yang Tak Benar-Benar) Baru, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Saya menamakan sekumpulan massa yang berjeda (pause) ini sebagai sekumpulan massa yang tak memihak. Sebab, untuk bersikap pro-pemerintah maupun untuk terlibat dalam gerakan kritis dan kontra pemerintah sekali pun semuanya telah distrukturisasi oleh gerakan-gerakan lama (Kelindan Khilafaisme dan Nasionalisme Sempit di Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Facebook Comments