Maulid dan Spirit untuk Menjadi Bangsa Solid

Maulid dan Spirit untuk Menjadi Bangsa Solid

- in Narasi
1142
0

Umat Islam belum lama ini baru saja merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana kita pahami, perayaan ini bisa dipastikan selalu dirayakan setiap tahunnya. Persisnya bertepatan 12 Rabi’ul Awal bulan Qomariah (Hijriah). Meskipun dirayakan setiap tahun, namun jangan sampai perayaannya bersifat abu-abu. Pendeknya tanpa makna alias sekedar ritus tahunan semata. Sebab terdapat makna besar yang tersingkap dan melekat bersamanya.

Sehingga, sekali lagi, jangan sampai peringatan tersebut hanya sekedar ritus tahunan yang tanpa mengandung arti dan makna apa-apa. Dengan kata lain, peringatan maulid itu tidak berefek sama sekali terhadap kita. Karena jika itu sampai terjadi, terlepas dari mendapat atau tidaknya pahala Tuhan, agaknya kegiatan yang kita laksanakan tidak memiliki daya tonjok psikologi (psicologycal striking force) yang akan memacu dan memupuk semagat (ghirah) keberagamaan kita, sebagaimana maksud awal diadakannya peringatan maulid.

Jika menelisik sebentar mengenai sejarahnya, sebagaimana dikemukakan Rahman (2011), bahwa sebetulnya awal mula maulid Nabi tidak lain ialah buah pikiran Salahudin Al-Ayyubi, seorang sultan dari Mesir yang terlibat dalam Perang Salib. Pada saat itu, saat orang Islam menderita kekalahan, sehingga Yerusalem dan Palestina dikuasai orang-orang Kristen dan tentara Salib. Maka Salahudin berkontemplasi memikirkan cara agar semangat tentara Islam bisa bangkit lagi.

Shalahuddin berkeyakinan bahwa perang bukan sekedar mengandalkan kekuatan dan strategi. Lebih dari itu, ada hal prinsipil lain yang tak kalah penting. Yakni adanya spirit juang yang harus selalu ditegakkan. Maka terinspirasilah dia oleh Natal, di mana orang-orang Kristen mempepringati hari kelahiran Isa Al-Masih. Sebab sebagaimana kita kehahui, bahwa peringatan Natal selalu diperingati tentara Salib sebagai suatu momen untuk membangkitkan semangat juang mereka, untuk mengingatkan bahwa mereka berada dalam perjuangan suci dalam menegakkan kebenanran. Maka, Natal itu kemudian ditirunya untuk membangkitkan semangat Islam.

Untuk menopang kebangkitan semangat itu, Salahuddin membaca riwayat-riwayat kepahlawanan Nabi, khususnya yang berkaitan erat dengan peristiwa-peristiwa perang Nabi. Seperti kita tahu, sedikit banyak awal mula Nabi menyiarkan Islam, perang menjadi hal yang tak terelakan. Di antaranya adalah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khondak, dan sebagainya. Dari sekian banyak perang itu, meskipun dengan pasukan yang jumlahnya seringkali lebih sedikit daripada jumlah pasukan musuh, namun hampir bisa dipastikan Nabi selalu memperoleh kemenangan.

Dan pada waktu itu, meskipun Nabi memiliki perangai yang lemah lembut lagi berbudi pekerti luhur, namun Nabi mampu menjadi tokoh atau pahlawan pengibar panji-panji Islam yang sangat disegani oleh lawan maupun kawan. Yang tindakan-tindakan heroik Nabi dan sahabat-sahabatnya itu sangat mengesankan sepanjang peradaban manusia. Michael H. Hart misalnya, dalam bukunya “Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah”, menempatkan Muhammad pada urutan pertama sebelum tokoh-tokoh terbesar lainnya.

Impian Salahudin ternyata menjadi kenyataan. Harapannya pun bukan sekedar khayalan. Tidak lama setelah itu, semangat umat Islam bangkit. Buah daripada kebangkitan semangat itu adalah bahwa, mereka berhasil mengalahkan dan mengusir tentara Salib. Ditegaskan Rahman, bahwa tentara Salib itu kalah oleh tentara Islam karena maulid.

Oleh sebab itu, jangan sampai setiap kali merayakan maulid kita tidak mendapatkan spirit kebersamaan dan kesolidan sebagaimana yang dimaksudkan. Apalagi jika, dan ini lebih parah dan ekstrimnya lagi, bahwa kita memperingati Maulid Nabi dicampuri oleh hal-hal yang berangkat dari keinginan diri sendiri, lebih popular disebut hawa nafsu. Karena biasanya peringatan Maulid Nabi identik dengan pelaksanaan pengajian, maka ikut rerombongan pengajian karena ingin dilihat orang lain religius misalnya, ini tentu sangat berbahaya.

Karena perbuatan demikian dalam Islam disebut pamer (riya). Perlu diketahui, itu adalah termasuk penyakit hati, dan bagian dari perbuatan dosa. Maka memperingati Maulid Nabi, jika motivasinya adalah agar dilihat orang lain wah, maka ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali dosa. Karena Nabi pernah berpesan, “Segala sesuatu itu tergantung pada niatnya…” (H.R Bukhori-Muslim).

Refleksi Masa Kini

Namun, dan ini yang sangat penting, adalah spirit kesolidan itu haruslah terefleksi di masa kini. Spirit itu harus diaktualisasi di zaman now. Kesolidan itu sudah tidak memadai jika diterapkan untuk kalangan sendiri, sementara kita menyalakan obor peperangan di kepada kelompok lain.

Lebih lagi yang berbeda Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Sebab dewasa ini tidak bisa dipungkiri ada pihak-pihak yang mencoba membenturkan sesama anak bangsa dengan menggunakan isu SARA. Dan, ini sangat berbahaya terhadap negara dan bangsa kita terinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesolidan itu haruslah dilaksanakan kepada siapa saja, termasuk kepada yang selain seagama. Mereka yang selain seagama Islam tak (lagi) patut diperangi, kendati ayat suci kita ada yang mengatakan demikian. Ayat-ayat yang demikian, mengutip pendapat Syahrur (1990), sudah tak lagi relevan karena saat ini yang bukan seagama sudah bisa hidup berdampingan bersama kita. Dan, kita juga tidak boleh menutup mata dengan ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk bisa saling bekerja sama.

Di bangsa (Indonesia) yang majemuk ini, sudah sejatinya kita saling bergandengan tangan untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sudah tidak lagi saatnya kita bertengkar, karena sejatinya tujuan kita sama, menjadi bangsa yang berkemajuan. Sebagaimana tujuan Nabi mendirikan Madinah dulu, yang saling bergandengan tangan dengan semua pihak di yang ada di sana, dan berpegang pada pedoman (baca: ideologi) yang diterima semuanya.

Sebagai bangsa plural, sebagaimana masa Nabi dulu dan yang diteladankannya, kita sudah memiliki pedoman bersama yang diterima oleh semuanya, yakni Pancasila. Yang itu selaras dengan agama-agama tak terkecuali Islam dan jati diri bangsa. Oleh sebab itu, maulid saat ini sudah sejatinya direfleksikan untuk bersungguh-sungguh membangun kesolidan bangsa untuk menegakkan Pancasila setegak-tegaknya, sebagaimana yang diteladankan Nabi yang berusaha membangun bangsa Madinah yang plural dan egaliter itu. Wallahu’alam

Facebook Comments