Memperingati maulid Nabi Muhammad merupakan bentuk rasa syukur kita terhadap dzat yang telah menciptakan manusia paling mulia di dunia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasa syukur itu kita implementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari dan menjadi sumber etika dalam berbangsa dan beragama, bagaimana kita berbangsa ini selalu berupaya menjalankan sunah-sunahnya tentu dengan arahan para ulama salaf dan kita beragama sesuai dengan apa yang sudah disyari’atkan kepada kita. Maka dengan itu akan mudah bagi kita mensykuri nikmat atas hadirnya nabi penyayang umat.
Meneladani nabi bukan hanya dari pakaian fisiknya saja melainkan dari keseluruhan apa yang terdapat dalam diri rasulullah, terkadang kita salah memahami tentang apa yang harus kita teladani dari beliau apa hanya sebatas melihat pakaian dan penampilannya sehingga kita berlomba-lomba menirunya. Misalnya memperpanjang jenggot, berpakaian kearab-arapan, atau yang sering kita lihat dari tokoh agama-agama (celana cingkrang). Padahal bukan hanya itu yang menjadi fokus utama rasul dalam berdakwah, kalaupun menggunakan barometer seperti itu, maka akan susah sekali dalam membedakannya dengan tokoh kafir Quraysi, Abu jahal dan Abu lahab. Tetapi akhlaklah yang menjadi bimbingan kita dalam menggapai kesempurnaan islam dari baginda rasul Muhammad SAW.
Dengan maulin nabi kali ini, banyak sekali yang menjadi fokus kita dalam meneladani rasul terutama mengenai cintanya terhadap kampung halamannya Makkah yang pada saa itu beliau harus meninggalkannya untuk menghindari kekerasan dari kafir quraysi di Makkah. Rasa cinta akan tanah air yang dirasakan rasul perlu sekali kita teladani dan kita praktekkan dalam kehidupan kita di indonesia. Dengan rasa cinta itu maka kedamaian dan ketentraman akan selalu kita tabur di bumi pertiwi ini tentu dengan beragam perbedaannya, dari agama, suku, ras dan masih banyak lagi hal-hal yang memang membuat kita beda.
Cinta Tanah Air, Teladan mulia dari Nabi Muhammad
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban, dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai sebuah negri, dan engkau merupakan negri paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu (HR Ibnu Hibban).
Kutipan hadist diatas sangat cocok untuk kita jadikan bahan reflesksi diri untuk selalu menjaga dan mencintai negeri ini, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah kepada kita, bahwa mencintai tanah air adalah fitrah bagi setiap insan karena disitu dia dilahirkan, beribadah, dan membangun. Nah, dengan demikian apa yang diajarkan oleh rasulullah kepada kita tentu akan menjadi sesuatu yang bisa kita manfaatkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Baca juga :Maulid Nabi, Momentum Membangun Generasi Toleran
Meskipun demikian, tidak sedikit pula orang yang malah menyudutkan negara dengan berbagai dalil agama, menyudutkan sistem bahkan berusaha memberontak negara menggunakan isu sara yang sangat tidak relevan sampai mengkafirkan bangsa sendiri dengan menamakan sistem thugot dan sebagainya. Inilah yag menjadi perhatian kita bersama bahwa mencintai tanah air merupakan sebuah upaya untuk menjaga keberlangsungan kedamaian dan persatuan yang sudah kita bangun ribuan tahun yang lalu, karena aset terbesar bangsa ini adalah persatuan, senada dengan apa yang selalu dikampanyekan oleh presiden RI dibeberapa kesempatan yang baik, bahwa aset terbesar dan termahal bangsa ini adalah persatuan kita.
Di hiruk-pikunya perpolitikan di indonesia, menjadi sebuah tantangan bagi kita sebagai bangsa yang memiliki adat dan juga teladan yang mulia yakni Rasul Muhammad SAW. Sekali lagi penulis memperingatkan bahwa, cinta tanah air adalah teladan yang sangat mulia dan perlu kita implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat di indonesia. Mencintai tanah itu sudah menjadi fitrah yang harus kita lakukan di manapun kita berada cinta tanah air menjadi prioritas utama dalam berbangsa.
Selain itu salah satu kewajiban warga negara terhadap negaranya adalah kewajiban mencintai tanah air diatur dalam konstitusi, pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) merumuskan “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara” kewajiban-kewajiban tersebut merupakan refleksi dari cinta, karena cinta pada dasarnya adalah rasa sayang, rasa ingin menjaga, rasa kepemilikan, dan tidak rela apalagi sesuatu yang disayanginya diganggu, dirusak dan direbut oleh orang lain (http://www.rudipradisetia.com/2018).