Mbah Moen, Ulama Kharismatik yang Selalu Bergandeng Tangan dengan Umara’

Mbah Moen, Ulama Kharismatik yang Selalu Bergandeng Tangan dengan Umara’

- in Narasi
130
0
Mbah Moen, Ulama Kharismatik yang Selalu Bergandeng Tangan dengan Umara’

Siapakah yang tidak mengakui keulamaan KH Maimoen Zubair (Mbah Moen)? Kharisma Pengasuh Pesantren al-Anwar Rembang ini tak hanya tampak semasa hidupnya. Warisan santri yang alim dan jasadnya yang utuh di Ma’la, Makkah (kompleks kuburan dimana istri Nabi Muhammad, Sayyidah Khadijah) semakin menjadikannya tersohor dan dihormati.

Keberadaan KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) yang selalu menyebut dirinya sebagai santri Mbah Moen adalah bukti konkrit betapa Mbah Moen merupakan ulama ‘alim yang bukan kaleng-kaleng. Gus Baha yang kealimannya sudah diakui seluruh ulama dunia dengan bangganya selalu menukil kata-kata Mbah Moen dalam setiap ceramahnya.

Atas kealiman dan kesholihannya, ulama seluruh ulama Nusantara, bahkan dunia, menghormati dan meneladani Mbah Moen. Pertanyaannya, apakah ketika Mbah Meon menjadi sosok yang sholih di mata Tuhan dan alim lantas berjarak dengan pemerintah? Ternyata tidak, justru Mbah Moen adalah ulama yang sangat dekat dengan pemerintah tanpa meninggalkan keulamaannya.

Bagi Mbah Moen, keberlangsungan negara merupakan salah satu jalan agar agama (termasuk Islam) dapat tumbuh subur. Mbah Moen pun tak enggan masuk ke dalam pemerintahan. Beberapa jabatan pemerintahan yang diduduki Mbah Moen antara lain anggota DPR wilayah Rembang (tahun 1971), Anggota MPR RI (tahun 1987).

Mbah Meon juga aktif di organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU). Selain menjabat sebagai Rois Syuriah NU Provinsi Jawa Tengah, Mbah Moen juga pernah menjadi Ketua Jam’iyah Thariqah NU. Dalam kancah perpolitikan, Mbah Meon juga aktif di Partai Persatuan Pembangunan(PPP). Beberapa jabatan yang didudukinya antara lain Ketua MPP Partai Persatuan Pembangunan dan Ketua Majelis Syari’ah.

Ada hal menarik ketika para ulama Nahdlatul Ulama (NU) mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) namun Mbah Moen tetap berada di PPP. Padahal, sebagai ulama besar NU dipastikan Mbah Moen akan mendapat kedudukan tinggi di PKB. Namun demikian, Mbah Moen memilih berada di PPP lantaran ingin mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat itu, Mbah Moen merasakan adanya faksi yang tidak mendukung NKRI. Mbah Moen pun merasa perlu ‘mengawal’ PPP sehingga terus memperjuangkan keutuhan NKRI.

Kecintaan Mbah Moen pada NKRI bukan tanpa alasan. Selain keberlangsungan NKRI dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia juga mampu menyuburkan agama. Gus Baha menceritakan bahwa Mbah Moen pernah berpesan bahwa agama akan dibawa (baca: dikembangkan) oleh para pegawai negara. Setelah beberapa waktu, Gus Baha paham bahwa memang benar para pegawai negara mampu membawa agama. Terbukti di tempat-tempat tertentu pegawai negara membangun rumah ibadah. Pembangunan ini tidak dipermasalahkan karena yang membangun adalah pegawai negara. Berbeda ceritanya jika yang membangun adalah tokoh agama yang tidak dikenal di wilayah tersebut. Akhirnya, rumah ibadah ini bisa dipergunakan masyarakat untuk memupuk ilmu agama dan beribadah.

Berkaca pada pandangan dan perjalanan Mbah Moen, maka menjadi aneh manakala terdapat segelintir orang/kelompok yang berkoar-koar jika ada ulama yang bergandeng tangan dengan pemerintahan adalah ulama su’ (ulama jelek). Ulama yang dekat dengan negara jika niatnya dan perilakunya sesuai dengan ajaran agama dipastikan ulama baik.

Sebaliknya, ketika ada ulama yang berniat atau berperilaku menyimpang, memanfaatkan keulamaannya untuk kehidupan dunia, maka ia adalah ulama su’. Tak peduli apakah dia adalah dekat dengan negara atau tidak. Bisa jadi ulama yang memusuhi negara adalah yang ulama su’ manakala niat atau perilakunya hanya berorientasi pada perkara dunia saja.

Bermula dari sinilah, seluruh masyarakat harus mampu memilah dan memilih ulama sebagai panutan. Jangan sampai hanya karena koar-koar segelintir orang/kelompok membuat masyarakat tergiring pada opini yang diciptakan. Bisa jadi segelintir orang/kelompok yang berkoar-koar adalah barisan sakit hati. Mereka menginginkan menduduki negara namun tidak kesampaian. Jangan sampai ulama dan umara menjadi korban adu domba. Perpaduan keduanya justru akan menjadikan negara dan agama saling mendapat manfaat. Simbiosis mutualisme tercipta di dalamnya. Dan hal ini bukanlah perkara baru di negeri ini. Para founding father bangsa juga telah berkolaborasi dengan ulama sehingga NKRI bisa terwujud dengan baik.

Wallahu a’lam

Facebook Comments