Medsos, Kecerdasan Buatan, dan Ancaman Ekstremisme Agama

Medsos, Kecerdasan Buatan, dan Ancaman Ekstremisme Agama

- in Narasi
481
0
Medsos, Kecerdasan Buatan, dan Ancaman Ekstremisme Agama

Turunnya angka terorisme dalam beberapa tahun terakhir tentu patut diapresiasi. Namun, kondisi itu idealnya tidak membuat kita euforia apalagi merasa jemawa. Di permukaan, gerakan radikal-teror memang nisbi berhasil kita berangus.

Namun, para simpatisannya terus menyebarkan paham radikal-ekstrem secara klandestin. Media digital terutama internet dan media sosial menjadi sarana kaum radikal-ekstrem untuk memasarkan gagasannya.

Tantangan radikalisasi digital itu kian kompleks dengan hadirnya kecerdasan buatan atau artificial intelegence (AI). AI mirip pedang bermata dua; membawa peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, AI menjanjikan kenyamanan bagi manusia.

Namun, AI juga menghadirkan ancaman serius. Mulai dari tergerusnya peran manusia sekaligus berkurangnya lapangan pekerjaan. Sampai potensi kejahatan lintas negara. Sebuah iklan yang belakangan viral menggambarkan bahaya AI.

Iklan itu menggambarkan pasangan yang gemar mengunggah foto dan video anaknya dari masa ke masa. Tidak dinyana, di masa depan, unggahan foto dan video itu dimanipulasi lewat teknologi AI untuk melakukan serangkaian kejahatan. Mulai dari pemalsuan identitas, sampai penipuan lintas-negara.

Iklan itu menggambarkan sisi gelap medsos dan AI. Kita lantas berpikir, mungkinkan AI dimanfaatkan kelompok radikal-ekstrem? Jawabannya sangat mungkin.

Muhammad bin Abdul Karim al Issa, Sekjen Liga Muslim Dunia, menulis opini di Newsweek dengan judul “We Must Guard Againts the Danger of AI and Religious Extremism”. Dalam artikel tersebut, ia dengan nada tegas mewanti-wanti kepada seluruh pihak untuk mewaspadai potensi pemanfaatan AI untuk menyebarkan ekstremisme agama.

Mengapa Kita Harus Khawatir pada AI dan Ekstremisme Agama?

Kekhawatiran Issa ini didasarkan pada tiga alasan. Pertama, kaum ekstremis sangat adaptif pada teknologi digital. Ia mencontohkan bagaimana ISIS menggunakan medsos sebagai sarana indoktrinasi dan rekrutmen anggotanya di seluruh dunia. Rekam jejak ISIS yang sangat adaptif pada medsos sebagai produk teknologi digital ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar kelompok ekstrem lain di masa depan juga akan memanfaatkan teknologi AI.

Kedua, dapat digunakan untuk memanipulasi data, bahkan memalsukan wajah dan suara dapat digunakan untuk menyebarkan paham atau ideologi ekstremisme agama di masa depan. Bayangkan saja, jika wajah dan suara seorang ulama masyhur dimanipulasi sedemikian rupa seolah-olah dia menyebarkan paham radikal lalu disebar di tengah umat? Bisa dibayangkan berapa banyak umat yang akan tertipu hal tersebut?

Ketiga, AI memungkinkan kaum radikal-ekstrem untuk tidak hanya menyebarkan paham atau ideologinya. Lebih dari itu, AI bisa dimanfaatkan untuk memaksimalkan strategi dan aksi kekerasan atau teror di lapangan. Jika bom bunuh diri, penembakan, atau penyerangan fisik yang dilakukan dengan teknologi saat ini saja sudah sangat mengerikan, lalu bagaimana jika aksi teror dan kekerasan itu melibatkan AI?

Kelindan antara medsos, kecerdasan buatan, dan ekstremisme agama ini juga patut diwaspadai dalam konteks Indonesia. Saat ini saja, arus penyebaran paham keagamaan radikal-ekstrem di medsos kian masif. Bahkan bisa dibilang, wacana keislaman di medsos lebih kerap didominasi oleh corak radikal-ekstrem.

Medsos telah menjadi ajang kontestasi ideologi agama antara kaum konservatif dan moderat. Ke depan, dengan kehadiran AI kontestasi wacana keagamaan di abad digital ini akan lebih kompleks. Pertarungan ideologi di ranah digital tidak hanya melibatkan manusia dengan manusia, namun sudah melibatkan campur tangan teknologi kecerdasan buatan yang otonom.

Sinergi Semua Pihak Memastikan AI Tidak Digunakan untuk Ekstremisme Agama

Ada cerita menarik tentang AI dalam konteks agama. Sebuah gereja di Jerman pernah menggelar misa dengan pengkhutbah bayangan (avatar) yang diciptakan menggunakan AI. Isi khotbahnya pun disusun atau ditranskrip oleh teknologi AI. Dan, para jemaah mendengarkan khutbah itu dengan khidmat bahkan menganggap khutbah itu lebih menyentuh ketimbang yang biasa mereka dengarkan.

Tentu ironis ketika AI mulai menggeser peran agamawan dalam menyampaikan pesan-pesan agama. Lebih mengkhawatirkan lagi jika teknologi ini jatuh ke tangan para ekstremis. Mereka akan dengan mudah memanipulasi umat untuk mendukung agenda politis dan ideologisnya.

Maka, diperlukan kesadaran semua pihak untuk memahami bahaya AI terutama jika berkelindan dengan gerakan atau paham ekstremisme keagamaan. Kita perlu mendorong para pemangku kebijakan (pemerintah), ilmuan atau ahli, serta para tokoh agama untuk duduk bersama mencari solusi atas potensi permasalahan ini.

Sejak awal, kita perlu mencegah jatuhnya teknologi AI ke tangan kaum ekstremis. Kita juga wajib memastikan bahwa di masa depan AI tidak digunakan untuk tindakan manipulasi keagamaan. Apalagi yang mengarah pada teror dan kekerasan. Kita semua wajib memastikan AI digunakan untuk kemaslahatan bersama.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris mulai menyusun Undang-Undang yang secara spesifik mengatur AI. Termasuk kaitannya dengan ekstremisme agama. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan ancaman radikalisme dan terorisme yang nisbi tinggi idealnya juga mengikuti langkah serupa.

Facebook Comments