Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah preseden buruk bagi kemajemukan bangsa. Serangkaian peristiwa itu lantas menerbitkan pertanyaan esensial; bagaimana sebenarnya Islam memandang kaum minoritas? Lalu, bagiamana kedudukan minoritas dalam sejarah Islam, terutama di era Nabi Muhammad, khulafaur rasyidun, sampai era kekhalifahan?
Secara keseluruhan, Islam bukanlah agama yang diskriminatif terhadap kaum minoritas. Di dalam Al Quran, isu mayoritas dan minoritas ini memang dibahas. Al Quran misalnya memakai istilah aktsariyah untuk menyebut mayoritas dan aqaliyah untuk menyebut kaum minoritas. Namun, Al Quran sejak awal menegaskan bahwa kaum mayoritas tidak lantas mendapat kekuasaan dominan sedangkan kaum minoritas harus dipinggirkan.
Alih-alih, Al Quran justru menawarkan konsep al musawwa, yakni kesetaraan antara mayoritas dan minoritas. Dalam Surat Al Baqarah ayat ke 249 Allah berfirman yang artinya “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. Ayat ini menyiratkan pesan bahwa kelompok mayoritas (secara kuantitatif) tidak lantas selalu menjadi pemenang, kecuali atas izin Allah.
Di bagian yang lain, Al Quran juga menegaskan pentingnya melindungi manusia sebagai individ yang otonom. Seperti tertuang dalam Surat Al Maidah ayat ke 3 yang artinya, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”. Ayat tersebut mengandung pesan bahwa harkat dan martabat manusia tidak ditentukan oleh apakah dia bagian dari kelompok besar atau kecil.
Lebih spesifik dalam konteks relasi antar-agama, Islam secara tegas menyeru umat beragama agar tidak berselisih paham, namun mencari titik temu. Seperti firman Allah pada surat Ali Imran ayat ke 64, “Hai Ahli Kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (common flatform/kalimatun sawa) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu”.
Keberpihakan Islam pada kaum minoritas juga mengemuka dalam periode kepemimpinan Rasulullah. Di Madinah, ia membentuk satu komunitas besar yang terdiri atas beragam entitas suku dan agama yang berbeda. Komunitas itu hidup berdampingan dan harmonis di bawah naungan perjanjian Piagam Madinah.
Tidak ada pembedaan peran antara kaum mayoritas dan minoritas di Madinah, karena semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang menzalimi seorang muhad (orang yang pernah melakukan perjanjian damai) atau melecehkan mereka, membebani beban di luar kesanggupan mereka, atau mengambil harta tanpa persetujuan mereka saya akan menjadi lawannya nanti di hari kiamat”.
Pada periode selanjutnya, ketika kekuasaan Islam kian luas menjangkau wilayah di luar Mekkah dan Madinah, keberpihakan Islam pada kaum minoritas tetap tidak luntur. Di periode khilafaurrasyidun misalnya, penduduk non-muslim diberikan hak dan kebebasan beragama serta tinggal secara damai di wilayah Islam.
Di masa khailfah Umar bin Khatab misalnya, pernah ada kejadian seorang non-muslim yang disiksa dengan cara dijemur di bawah matahari terik. Hukuman itu diberikan karena ia tidak membayar pajak (jizyah). Khalifah Umar yang melihat kejadian itu langsung menyerukan para para pemimpin lokal agar tidak menghukum kalangan non-muslim secara tidak manusiawi.
Tradisi ini diteruskan hingga era kekhalifahan dinasti Ummayah, Abbasiyah, dan Usmaniyyah. Prinsip-prinsip keberpihakan pada kaum minoritas merupakan salah satu ajaran pokok Islam. Islam menyeru umatnya untuk selalu membela dan menyantuni golongan mustadhafin. Selama ini, istilah mustadhafin ini selalu ditafsirkan sebagai kelompok yang lemah secara ekonomi.
Padahal, tafsir mustadhafin itu luas, tidak hanya sebatas golongan miskin saja. Mustadhafin juga bisa merujuk pada golongan yang tersisih secara sosial-politik dan tidak memiliki daya tawar yang kuat. Mustadhafin dalam konteks negara bangsa juga bisa dimaknai sebagai golongan minoritas yang acap mengalami perlakuan diskriminatif.
Seruan untuk membela mustadhafin, dalam konteks keindonesiaan seharusnya juga dimaknai sebagai perintah untuk melindungi dan menjamin hak-hak kaum minoritas agama. Sebagai kaum mayoritas, umat Islam memiliki tanggung jawab moral dan keagamaan untuk memastikan kaum minoritas mendapatkan hak-haknya.
Arkian, keberpihakan Islam pada kaum minoritas adalah fakta teologis dan historis yang sulit dibantah. Islam berkomitmen pada egalitarianisme, yakni kesetaraan umat manusia. Komitmen itulah yang harus kita jaga sampai kapan pun.