Melampaui Pendidikan Agama Formalistik-Doktriner

Melampaui Pendidikan Agama Formalistik-Doktriner

- in Narasi
890
0
Melampaui Pendidikan Agama Formalistik-Doktriner

Lagi-lagi, penghinaan terhadap agama orang lain dengan kacamata yang dianut si penghina terjadi pas perayaan Hari Raya Nyepi kemarin (14/03/21). Seorang pemilik akun FB dengan nama Abdullah Pulukan Bali secara terangan-terangan melakukan ujaran kebencian dan SARA. Ia menyatakan bahwa perayaan Nyepi itu tidak perlu dilaksanakan. Nyepi hanya diikuti orang bodoh. Dan berdoa semoga umat Hindu di Bali berhenti menyembah berhala.

“Hanya orang bodoh yang ikut merayakan Nyepi. Saya sebagai orang taat beragama di agama Islam menentang keras adanya Hari Raya Nyepi. Dan semooga semua umat Hindu yang berada di Bali sadar dan berhenti menyembah batu atau patung. Amin.” Tulisnya di akun Fecebooknya.

Postingan ini pun viral. Mendapat kecaman dari berbagai pihak. Polisi turun tangan. Si pelaku sudah ditangkap. Si pelaku berdalih bahwa akun Fecebooknya di-hack. Polisi masih menelusuri kebenarannya.

Dua fonomena yang menghinggapi sebagian para pemeluk agama adalah penyangkalan dan penegasian terhadap liyan. Penyangkalan ini terlihat dengan menganggap bahwa hanya agama, ideologi, dan kelompoknya saja yang benar, yang lain adalah salah.

Fenomena ini bukan hanya muncul di sosial media, melainkan di daerah-daerah yang selama ini dianggap sebagai daerah toleran pun dengan mudah dijumpai. Di bebarapa koto besar di Indonesia, kita dengan mudah melihat banyak tulisan yang berbunyi: “Menerima kos muslim”; “khusus kost putri muslimah.” Bukan hanya itu, dalam penerimaan kerja pun tidak jarang dituliskan secara nyata di persyaratan itu dengan tulisan: “muslin/muslimah.”

Penyangkalan seperti ini, tentu sangat berbahaya jika terus didiamkan. Ia adalah ibarat api dalam sekam. Bisa membesar, dan menghanguskan rumah kebangsaan kita. Sebab, dari penyangkalan inilah nantinya akan terjadi penegasian. Penegasian terhadap orang/kelompok lain dengan memberikan cap kafir, sesat, bidah, masuk nereka, sembari diiringi tindakan ujaran kebencian, hoax, caci-maki menjadi hal yang lumrah dijumpai, terutama di media sosial.

Kedua sikap ini mengakibatkan dis-harmoni: kedamaian rusak, rasa persaudaraan hilang, toleransi absen, dan tanggungjawab sebangsa dan setanah air memudar.

Pendidikan Agama yang Ramah

Pendidikan agama –baik formal di bangku sekolah maupun non-formal, di masjid, pengajian, dan khotbah –patut dipertanyakan grand designnya selama ini. Pendidikan agama seharusnya bisa menuntun manusia untuk lebih terbuka, menerima yang lain, toleran, dan suka kedamaian, malah akhir-akhir ini justru menjadi salah masalah tersendiri.

Bahkan dalam kasus tertentu, pendidikan agama ikut memperkeruh suasana. Sejatinya, agama bila dipahami secara subtantif bisa membanguan karakter anak bangsa yang berdadab, memiliki sikap rahma, guyub, dan harmoni.

Penekanan terhadap pendidikan agama yang subtantif penting, mengingat informasi yang diterima oleh anak banyak sekali bermuatan materi agama. Mulai di sekolah formal di waktu pagi, TPA di sore hari, dan pengajian al-Quran di malam hari. Jika materi yang diberikan justru jauh dari nilai-nilai subtansi agama, yakni persaudaraan, persamaan, kasih-sayang, rasa tanggungjawab, maka agama sebagai pembentuk karakter tidak menjalankan fungsinya.

Pendidikan agama yang formalistik dan doktriner, perlu digeser ke arah pendidikan agama yang substantif yang ramah terhadap perbedaan. Kurikulum dan guru kunci bagaimana mentranformasikan itu. Keduanya bisa berjalan jika ada kebijakan yang mengarahkannya ke sana, baik berupa peta perjalanan pendidikan maupun grand design yang dibuat oleh pemerintah.

Sejauh ini, kurikulum pendidikan agama yang ada di sekolah kita, masih berkutat di aspek ibdah-ritual. Penekanan terhadap aspek ini sangat dominan dengan pengajaran yang dogmatik-doktriner.

Islam hanya dilihat dari sisi rukun Iman dan rukun Islam saja, tanpa memaknai rahasia, hikmah, faedah di balik itu. Shalat umpanya, diajarkan rukun dan syaratnya secara ketat, tapi nilai-nilai subtantif di dalam shalat itu luput. Shalat sebagai titik awal dan simbol untuk melatih diri untuk disiplin, patuh, ketundukan, dan tanggungjawab malah minim porsinya.

Hal yang sama juga degan puasa. Puasa yang bisa membuat anak didik jadi peka terhadap sosial, bertanggungjawab, berjuang, dan pantang menyerah agak kurang diperhatikan.

Akibat penekanan terhadap aspek ritual-ibadah dan sisi vertikal dari agama itu saja, maka sisi kemanusian, kebudayaan, dan hubungan horizontal sesama manusia mendapatkan porsi yang sedikit. Padahal bila ini ditekankan, maka akan lahir anak bangsa yang bukan saja relegius secara pribadi, malainkan juga relegius secara sosial; bukan saja paham agama, melainkan juga mempunyai karakter kebangsaan dan cinta tanah air.

Hal yang sama juga terjadi pada para guru. Selama ini terutama di dunia maya, baik itu guru, ustad, tukang ceramah tidak menampilkan sisi subtantif dari agama. Sisi yang sering dibicarakan malah hal-hal yang remeh-temeh: bagaimana biar dapat anak yang saleh, agar dapat jodoh, biar doa dan keinginan terkabul, dan lain-lain yang jauh dari inti agama.

Sisi terdalam dan titik temu antar agama jarang diuraikan: bagaimana membina perbedaan, membuka diri kepada kelompok lain, dan rasa tanggungjawab sebagai sesama anak-bangsa.

Pendidikan agam subtantif dengan penekanan terhadap nilai terdalam dari setiap agama akan melahirkan anak bangsa yang berkarakter. Berkarakter dalam pengertian menghargai sesama manusia; tidak mempertentangkan antara Keislaman dan Keindonesian. Justru berusaha merawat kedua-duanya.

Bila penekanan terhadap nilai-nilai inti dari agama dan terus menerus untuk mengampanyekannya maka akan tercipta genarasi yang beradab; mencintai sesama, dan menyayangi yang lain. Bila ini yang terjadi, maka rasa persatuan akan terwujud.

Facebook Comments