Kaum ekstremis punya seribu satu cara untuk mempropagandakan ideologinya. Salah satunya dengan membajak doktrin Aswaja. Pembajakan doktrin Aswaja ini dilakukan dengan membangun narasi bahwa ajaran Aswaja bukan sekadar urusan muamalah belaka, melainkan juga berorientasi pada visi global, terutama terbentuknya persatuan ummah di bawah naungan khilafah islamiyyah.
Pembajakan ajaran Aswaja ini dilakukan karena paham Ahlussunnah wal Jamaah merupakan aliran Islam mainstream dan memiliki pengikut yang luas di banyak negara di dunia. Maka, kaum ekstremis perlu mencari semacam justifikasi dan validasi bahwa khilafah islamiyyah itu juga ajaran Aswaja. Tujuannya adalah membangun persepsi bahwa memperjuangkan khilafah pada dasarnya adalah perjuangan menegakkan ajaran Aswaja.
Dalam konteks Indonesia, upaya membajak ajaran Aswaja itu tampak jelas pada upaya politisasi bulan Rajab. Bagi umat Islam Indonesia, Rajab menjadi bulan istimewa. Rajab menjadi awal rangkaian menuju bulan suci Ramadan. Di bulan Rajab, umat Islam juga memperingati Isra’ Mi’raj yang merupakan peristiwa perjalanan Nabi Muhammad menuju Sidratul Muntaha untuk menerima perintah shalat.
Di Indonesia, utamanya di kalangan muslim tradisional-pedesaan yang menjadi basis utama Nahdlatul Ulama, Rajab adalah bulan yang penuh dengan perayaan keagamaan berbalut tradisi. Di sebagian masyarakat, ada yang sudah mengadakan perayaan Nyadran sejak bulan Rajab. Juga peringatan Isra’Mi’raj seperti pengajian, selametan, dan berbagai tradisi lainnya.
Politisasi Bulan Rajab Tidak Laku di Kalangan Muslim Tradisional
Dalam kultur muslim tradisional di Indonesia, perayaan keagamaan di bulan Rajab selalu dikemas dalam tradisi lokal yang simbolis, namun kaya makna. Hal inilah yang belakangan berupaya dihapus dan diubah oleh kelompok ekstrem. Mereka seolah ingin mem-branding bulan Rajab sebagai bulan yang heroik. Misalnya dengan mengidentikkan bulan Rajab dengan pembebasan Baitul Maqdis atau kejatuhan Khilafah Turki Usmani.
Kita mudah menebak ke mana arah narasi heorik bulan Rajab itu. Tampak bahwa kaum ekstremis berusaha mempolitisasi bulan Rajab untuk mempropagandakan ideologi khilafah. Upaya membajak doktrin Aswaja dan politisasi bulan Rajab inilah yang harus kita tolak dan lawan. Kita harus menjaga karakteristik bulan Rajab sebagai bulan yang kental nuansa spiritualitas sekaligus tradisi lokal.
Sebenarnya, jika kita berpikir obyektif, narasi politisasi bulan Rajab dan pembajakan doktrin Aswaja itu tidak akan mempan di kalangan muslim tradisioan-pedesaan. Bagi mayoritas warga nahdliyin, doktrin Aswaja itu dikenal tidak politis, dalam artian tidak mengajarkan umat Islam untuk berambisi meraih atau mendirikan kekuasaan.
Di kalangan muslim tradisional-pedesaan, doktrin politik Aswaja itu jelas; taat para ulil amri, alias pemimpin yang dipilih dan diangkat secara sah. Maka, nyaris mustahil mengajak umat muslim tradisional, apalagi warga nahdliyin untuk merebut kekuasaan, dan mendirikan negara Islam. Meski pun diimingi dengan pahala jihad sekali pun.
Tidak hanya itu, umat Islam berlatar tradisional-pedesaan juga kurang related dengan sejarah pembebasan Baitul Maqdis juga keruntuhan Khalifah Usmaniyyah di Turki. Pengetahuan sejarah umat muslim tradisioal-pedesaan bisa dibilang sangat terbatas. Bagi mereka, bulan Rajab hanya identik dengan satu peristiwa penting; Isra’ Mi’raj. Maka, rasanya mustahil muslim pedesaan mengisi bulan Rajab dengan merayakan pembebasan Baitul Maqdis.
Memperkuat Dakwah Aswaja di Kalangan Muslim Menengah Perkotaan
Yang perlu dikhawatirkan adalah kelompok muslim kelas menengah-perkotaan yang rawan terjebak dalam pembajakan doktrin Aswaja dan politisasi bulan Rajab yang dilakukan kaum ekstremis. Maka, kita perlu mengedukasi muslim kelas menengah-perkotaan ihwal esensi ajaran Aswaja dan hakikat bulan Rajab.
Muslim menengah perkotaan harus memahami betul bahwa khilafah yang diusung oleh kaum ekstrem, bukanlah ajaran Aswaja. Para ulama Aswaja tidak secara eksplisit mengajarkan konsep atau sistem pemerintahan yang wajib dibentuk umat Islam. Risalah politik para ulama Aswaja adalah menaati pemimpin yang dipilih melalui mekanisme yang sah dan diangkat serta diakui oleh mayoritas umat.
Kaum muslim menengah perkotaan juga harus memahami hakikat bulan Rajab sebagai bulan penting yang menandai turunnya perintah solat. Perintah solat, menurut Gus Baha’ pada dasarnya adalah manifestasi pelepasan manusia atas ego pribadi. Hakikat solat itu pada sujud, yakni meletakkan kepala yang selama ini diposisikan sebagai simbol kehormatan manusia di tempat paling rendah, yakni lantai yang umumnya diinjak sewaktu berjalan.
Sujud adalah simbol kepasrahan paling tinggi umat manusia pada sang penciptanya. Maka, bulan Rajab sebagai bulan diturunkannya perintah Solat idealnya dimaknai sebagai bulan kepatuhan, bulan kepasrahan, dan bulan perendahan diri. Bukan justru di-framing menjadi bulan pemberontakan atau bulan kekerasan.
Disinilah pentingnya dakwah Aswaja merambah ke kalangan kelas menengah-perkotaan. Terutama di tengah dominasi dakwah salafi-wahabi yang dibungkus dengan narasi “kajian sunnah” atau “kajian salaf”. Dakwah salafi dalam balutan “sunnah” dan “salaf” itu kadung mendominasi dan menghegemoni umat Islam kelas menengah perkotaan. Utamanya kalangan milenial dan generasi Z. Memperkuat dakwah Aswaja, utamannya di kalangan kelas menengah perkotaan penting untuk membendung pembajakan paham Ahlusunnah wal Jamaah oleh kaum ekstremis.