Better late than never, lebih baik terlambat dari pada tidak berbuat sama sekali. Demikianlah ungkapan yang kiranya sangat pas untuk menggambarkan suasana sosial politik keagamaan menyikapi pro kontra masyarakat terhadap surat edaran Kapolri tentang hate speech atau ujaran kebencian bernomor SE/06/X/2015 itu. Surat edaran tersebut ditandatangani Kapolri pada 8 Oktober 2015 lalu dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) di seluruh Indonesia. Kita semua tentu berharap surat edaran tersebut menjadi rambu-rambu yang patut dipatuhi semua lapisan masyarakat dalam menjaga dan memelihara suasana kondusif, terutama menjelang pilkada serentak pada tanggal 9 Desember 2015 mendatang.
Menyuarakan pendapat dan mengekspresikan sikap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebenarnya telah diatur melaluiUndang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang disyahkan pada tanggal 26 Oktober 1998, bukan hanya sampai di situ, pemerintah bahkan juga telah merumuskan undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang disyahkan pada tanggal 30 April 2008.
Produk hukum tersebut memberikan ruang gerak bagi semua warga negara untuk menyatakan dan menyampaikan pendapat secara bebas di depan khalayak ramai, serta bertanggung jawab atas informasi yang disampaikan tersebut. Artinya masyarakat bukan hanya bebas untuk menyampaikan pendapat, tetapu juga dituntut untuk mempertanggung jawabkan akibat yang ditimbulkan dari penyampaian informasi tersebut.
Di sinilah terdapat missing link, kebebasan menyampaikan pandangan kerap dipahami secara terpisah; tanpa kewajiban untuk pertanggung jawaban. Dalam memaknai kebebasan menyatakan pendapat di muka umum, terdapat asas yang harus diperhatikan bersama, yaitu; asas keseimbangan antara hak dan kewajiban; asas musyawarah dan mufakat; asas kepastian hukum dan keadilan; asas proporsionalitas; dan asas manfaat.
Bila hal tersebut menjadi acuan bagi setiap orang atau pihak yang secara bebas dan merdeka menyatakan pandangan di muda umum, maka kesalah pahaman yang sangat mudah muncul akibat freedom of speech dapat diminimalisir, dihindari, dan bahkan dihilangkan. Sehingga terwujudlah harapan masyarakat, bangsa, dan negara. Tercerahkanlah seluruh lapisan masyarakat dan terciptalah ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Persoalan mendasar yang kini dihadapi bangsa ini adalah tidak sedikit orang atau kelompok yang memiliki semangat keberagamaan yang melangit, namun tidak diimbangi dengan pengetahuan, wawasan dan keilmuan serta hasil bacaan yang seimbang; masih cenderung dangkal, kaku, lokal dan tidak membuka diri menerima pemahaman dan penfsiran orang atau kelompok lain yang berbeda pemahaman dengan mereka. Akibatnya, cerminan watak, sikap dan prilaku dari sebagian orang atau kelompok yang disebutkan di atas sangat mudah menyalahkan yang lain, tanpa segan-segan mengkafirkan orang lain bahkan mengkafirkan saudaranya sendiri sesama satu keyakinan, sesama satu bangsa dan sesama manusia terbaik ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih.
Di sinilah peran dan internalisasi nilai-nilai agama dalam menyikapi sebuah perbedaan yang tidak pernah luput dalam kehidupan kita sebagai makhluk yang beragama. Perbedaan merupakan dinamika dalam kehidupan, perbedaan bukan sebuah pertentangan yang harus melahirkan gesekan, kebencian, anarkisme dan terorisme.
Kebebasan menyampaikan pandangan di muka umum, tentu tidak boleh mengabaikan etika, tata krama dan sopan santun yang dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan kita sesama manusia. “Keselamatan manusia tergantung kepada cara memelihara lidah dan ucapan”, ungkapan tersebut dengan mudah kita ucapkan dan nyatakan kepada semua orang, akan tetapi terkadang kita sendiri yang melupakannya. Sama halnya dengan sebuah judul lagu “Memang lidah tak bertulang”. Apakah Tuhan harus merubah anatomi manusia dengan meletakkan tulang kecil di tengah lidah manusia agar jangan dengan mudah kita mendengarkan hujatan, cacian, makian dan fitnahan dari lidah manusia yang tidak bijak dalam mensyukuri nikmat Allah yang sangat besar nilainya?
Jawabnya tentu tidak, karena Tuhan telah menciptakan manusia dalam keadaan yang sangat sempurna, namun kesempurnaan ciptaan tersebut akan menjadi tidak sempurna jika kita menggunakan lidah yang tidak bertulang untuk mengumpat, memfitnah, serta menanamkan kebencian serta menyebarkan permusuhan kepada sesama satu bangsa, sesama umat yang memiliki agama, serta sesama makhluk yang diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sangat sempurna.
Sebagai manusia yang merdeka serta sempurna, sudah sepatutnya kita pertahankan sikap kritis akomodatif dalam menyampaikan pandangan di muka umum dan di mana saja berada, tetapi harus penuh rasa tanggung jawab serta tetap memperhatikan banyak asas yang telah disepakati dan ditetapkan dalam undang-undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.