Santoso, buronan teroris kelas kakap ini, telah menemui ajalnya secara tragis di tangan Satgas Tinombala. Banyak masyarakat bersorak gembira atas kematiannya, walaupun ada juga segelintir yang masih menganggapnya sebagai pahlawan. Anehnya, kelompok yang kecil ini cukup berisik meneriakkan kesyahidan Santoso khususnya di dunia maya.
Tak selang beberapa jam dari kematiannya, penggiringan opini tentang kesyahidan Santoso begitu massif. Narasi misitik menjadi bumbu sedap dari proses glorifikasi pemberitaan kematian Santoso. Jelas harapan dari propaganda tersebut adalah mengajak masyarakat untuk mengamini kematian Santoso sebagai pahlawan dan perjuangannya layak dipuji dan dilanjutkan.
Pertanyaannya bagaimana masyarakat merespon kematian teroris yang paling dicari tersebut? Beberapa waktu yang lalu, kami Pusat Media Damai mencoba mengadakan polling sederhana di akun twitter tentang pendapat masyarakat terhadap kesyahidan Santoso. Tentu saja polling ini tidak bisa menggambarkan persepsi masyarakat secara keseluruhan, tetapi apa yang ingin diungkap adalah bagaimana narasi kematian Santoso melalui bumbu propagandanya memiliki dampak pengaruh terhadap masyarakat.
Hasil polling yang telah kami lakukan memang masih menggembirakan. Dari 125 orang yang mengikuti polling sebanyak 82 persen menyatakan tidak setuju jika Santoso dikatakan Syahid. Bahkan beberapa akun sempat memberikan rasionalisasi misalnya “banyak membuat kekacauan dan membunuh orang yang tidak bersalah..bagaimana mungkin disebut mati Syahid”. Sebanyak 10 persen masih menyatakan Tidak Tahu dan masih sangat disayangkan 8 persen menyatakan setuju.
Apa yang ingin saya kemukan di sini, meskipun 8 persen ini angka yang sangat kecil, tetapi dalam polling dengan pertanyaan menggunakan frasa “kematian teroris”, masih ada yang menganggapnya sebagai syahid. Fakta ini bisa jadi menunjukkan dua hal. Pertama bisa saja propaganda kesyahidan Santoso yang dilempar akun kelompok radikal di dunia maya dapat dikatakan berhasil. Kedua, bisa jadi masih ada sebagian orang di tengah masyarakat kita yang menganggap terorisme adalah bagian dari jihad. Kemungkinan yang kedua inilah yang sangat dikhawatirkan.
Saya lebih memilih kemungkinan yang kedua. Artinya memang di tengah masyarakat masih ada segilitir orang yang berkeyakinan bahwa perjuangan teroris adalah perjuangan menegakkan agama. Masih ada masyarakat yang belum tersentuh pencerahan keagamaan atau masih terkungkung dalam pemahaman yang dangkal bahwa agama harus diperjuangkan dengan apapun resiko yang ditimbulkan, termasuk dengan cara-cara kekerasan dan teror.
Saya sangat setuju bahwa akar terorisme adalah pemahaman radikalisme. Terorisme tidak semata karena kemiskinan, ketidakadilan, dendam dan faktor eksternal lainnya. Faktor-faktor itu hanyalah katalisator dari percepatan seseorang menghayati ajaran-ajaran radikal. Sesungguhnya radikalisme adalah embrio lahirnya terorisme. Hal ini dibuktikan bahwa tidak semuanya pelaku teror dari kelompok kurang mampu. Tidak semuanya orang yang menjadi teroris karena faktor dendam. Intinya, terorisme adalah multi faktor, tetapi akar yang melandasinya adalah pemahaman radikalisme.
Dari Radikalisme ke Terorisme
Hendropriyono mengistilahkan terorisme dengan tanaman yang bisa tumbuh subur di tengah masyarakat. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, tetapi jika hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat berkembang. Ladang subur tersebut adalah masyakarat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme.
Kembali pada hasil polling tersebut, masih adanya sebagian kecil masyarakat yang tercemari dengan pemahaman radikal merupakan tantangan tersendiri dari potensi munculnya actor baru. Memang memiliki pemahaman radikal tidak mesti jatuh dalam aksi terorisme. Namun, mengutip Rizal Sukma (2004), “Radicalism is only one step short of terrorism”. Orang yang memiliki pemahaman radikal hanya menunggu pemantik yang mendorongnya jatuh dalam lingkaran terorisme.
Berawal dari mengamini teroris sebagai syahid, pemahaman ini akan berlanjut pada mengafirmasi tindakan teror sebagai jihad. Jika seseorang sudah berada dalam tingkatan simpati, tidak mustahil ia akan mudah jatuh dalam pengaruh kelompok radikal terorisme. Itulah yang disebut mudahnya pemahaman radikal bermemorfosa menjadi tindakan terorisme.
Mencegah terorisme tidak hanya sekedar melacak dan mengindentifikasi para aktor yang mencurigakan di lingkungan sekitar. Sejatinya mewaspadai terorisme juga haru diawali dengan membersihkan narasi-narasi radikalisme yang kerap muncul di tengah masyarakat.
Walhasil, Saya kira hal ini menjadi PR besar bersama terutama bagi para tokoh agama untuk segera meluaskan jangkauan dakwah yang mencerahkan ke seluruh lapisan masyarakat. Fakta ini juga menuntut kerja keras untuk menghilangkan narasi berbasis keagamaan yang melandasi fenomena terorisme. Narasi keagamaan tersebut adalah pemahaman keagamaan yang radikal.