Membaca Polemik Wahabi : Dari Kekerasan Hingga Penolakan

Membaca Polemik Wahabi : Dari Kekerasan Hingga Penolakan

- in Narasi
902
0
Membaca Polemik Wahabi : Dari Kekerasan Hingga Penolakan

Sejarah Wahabi

Paham atau aliran Wahabi merupakan salah satu manhaj pemikiran dalam Islam yang menginginkan pemurnian ajaran Islam dengan dictum kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Lahir dari buah pemikiran Muhammad ibnu Abdul Wahabi pada abad ke-18 yang banyak terinpirasi oleh pemikiran

Kegelisahan Wahabi terutama pada praktik bid’ah, syirik dan khurafat yang saat itu dirasa banyak dilakukan umat Islam. Masyarakat muslim sudah jauh dari penyimpangan dari ajaran asli dari Rasulullah. Al-hasil Wahabi menancapkan pemikiran pembaharuan tetapi dengan gerakan ultra-konservatif dengan mendasarkan segalanya harus sesuai dengan praktek masa lalu.

Tidak hanya itu, gerakan ini nampak garang karena ia menempatkan yang tidak sepemikiran dengan gerakannya adalah sebagai kafir, syirik dan sesat. Praktek kekerasan gerakan ini di masa lalu telah banyak tercatat dalam lembar hitam sejarah Islam. Pada mulanya gerakan ini ditolak masyarakat dan ulama. Namun, ia mendapatkan dukungan dari polisi Ibnu Saud yang sedang memiliki gairah membangun dinasti di Arab Saudi.

Perkawinan Wahabi dengan politik Ibnu Saud telah melahirkan beberapa tragedi pembunuhan, bahkan pembataian terhadap sesama muslim di masa lalu. Akibat perkawinan antara gerakan Wahabi dan politik Ibnu Saud, ajaran Wahabi semakin kuat dan dalam banyak hal terlihat kejam.

Wahabi : Sejarah Kekerasan dan Pembantaian Masa Lalu

Perkembangan gerakan Wahabi terlihat begitu cepat. Ekspansi pemikiran dilakukan walaupun dengan cara kekerasan. Bagi Wahabi, Islam yang sebenarnya hanya merujuk pada praktek dan pemikiran yang mereka miliki. Di luar itu, umat hanyalah golongan kafir dan murtad.

Banyak sekali kekerasan masa lalu yang dilakukan gerakan ini dengan kekuatan politik kerajaan. Pembunuhan di Kota Karbala pada tahun 1802 merupakan satu contoh di mana anak-anak, perempuan dan bahkan perpustakaan Islam dibumi hanguskan. Tidak hanya itu pembantaian di kota Thaif tercatat para sejarawan sebagai aksi terkejam. Mereka bahkan membunuh bayi yang masih di pangkuan ibunya dan Wanita hamil lainnya yang dianggap tidak mau bergabung dalam pemikiran Wahabi.

Tercatat Wahabi juga pernah membantai seribu orang dari rombongan haji asal Yaman yang sedang menuju Makkah. Kejadian ini tercatat terjadi pada tahun 1921. Korban dari Jamaah haji juga dialami dari rombongan Iran pada tahun 1986.

Banyak khazanah keislaman melalui ratusan ribu buku-buku langka dan manuskrip. Bahkan manuskrip hasil dikte dari Nabi Muhammad kepada sahabatnya dan khulafaur rasyidin dimusnahkan. Situs sejarah dan makam-makan para sahabat pun dihancurkan karena dianggap sebagai sumber syirik.

Hubungan Wahabi, Takfiri dan Terorisme

Sebagai sebuah pemikiran Wahabi tentu tidak bisa digolongkan sebagai ideologi terorisme. Namun, sebagai daya dorong yang melahirkan tindakan kekerasan dan teror seperti yang pernah terjadi di masa lalu sangat memungkinkan. Paham takfiri dan menyesatkan kelompok lain dalam memahami perbedaan manhaj menjadi inspirasi gerakan salafi-jihadis.

Namun, tentu tidak semua gerakan Wahabi melahirkan kekerasan dan terorisme. Di Arab Saudi sendiri perang melawan terorisme juga menjadi agenda Kerajaan Arab Saudi. Tentu harus mampu melihat dari mana paham ini bisa melahirkan inspirasi gerakan kekerasan.

Pemahaman Wahabi yang bernuansa takfiri diadopsi oleh gerakan salafi-jihadis dan memang sudah lepas dari jangkauan sumber asalnya Arab Saudi. Kerajaan Arab Saudi sendiri juga berjuang melawan terorisme dari buah pemikiran takfiri yang banyak digunakan oleh kelompok salafi-jihadis di berbagai negara.

Sumber pemikiran takfiri salafi-jihadis walaupun mirip dengan Wahabi bersumber dari gerakan aktivis Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutb melalui manifestonya yang menggelegar dari dalam penjara. Pengkafiran dan bahkan label jahiliyah terhadap seluruh masyarakat muslim modern saat itu menandai gerakan jihadis yang sangat luar biasa.

Relasi antara sumber Wahabi dan Ikhwanul Muslimin tentu tidak bisa dilepaskan. Walaupun pada akhirnya, Kerajaan Arab Saudi sendiri memiliki sikap tegas untuk melawan Ikhwanul Muslimin. Namun, patut juga dicatat bahwa kelahiran kelompok salafi di Ikhwanul Muslim pada mulanya tidak bisa dilepaskan dari proses wahabisasi Mesir melalui intelektual pembaharu di sana.

Gerakan salafi-jihadis modern yang melahirkan kelompok Al-Qaeda memiliki corak yang sama dalam pemikiran takfiri yang dibingkai dalam pemikiran tahkim ala khawarij. Pemikiran ini kemudian dikembangkan tentang pemerintahan Islam di tangan Qutb yang terispirasi pemikir Pakista Al-Maududi. Garis pemikiran dari Wahabi ke arah salafi-jihadis sebenarnya masih satu rumpun walaupun dalam praktek gerakan sudah bermetamorfosa dan menyerap banyak pemikiran dan ijtihad yang lain.

Dua Bentuk Salafi-Wahabi

Penyebutan salafi-wahabi sebenarnya memang tidak bisa dilepaskkan dari pengaruh Wahabi dan perkembangannya dengan gerakan salafi di Mesir sebagaimana dijelaskan di atas. Karena itulah, salafi-wahabi sudah menjadi istilah untuk mengindentifikasi sebuah pemikiran dan gerakan puritanisme yang ultra konservatif.

Namun, salafi-wahabi dapat dikategorikan dalam dua hal. Pemerintah Jerman beberapa tahun yang lalu pernah berurusan dengan gerakan Salafi-Wahabi di negaranya. Ia sempat melarang gerakan penyebaran ini karena dianggap sebagai inspirasi lahirnya kekerasan.

Dalam catatan pemerintah Jerman memang tidak semua kelompok salafi adalah radikal dan menjadi teroris. Namun, hampir semua pelaku teroris berasal dari kelompok salafi radikal ini. Dalam catatan yang dilakukan oleh pemerintah Jerman, kelompok salafi terbagi dua.

Pertama,kelompok yang berorientasi spiritual-individual dengan hanya mengidamkan praktek zaman Rasululah sebagai tuntunan ritual dan moral. Slogan dari kelompok ini adalah kembali ke al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman yang tekstual-skriptual dan formal-simbolik.

Kedua, kelompok yang berorientasi sosial-politik yang ingin menegakkan teokrasi dengan menolak konstitusi duniawi dan yang berlaku hanya kontsitusi Allah yakni syariat Islam. Kelompok kedua inilah yang menampilkan Islam sebagai ideologi politik dan berorientasi jihadis. Mereka siap menggunakan kekerasan untuk mencapai visi negara Islam sesuai interpretasi mereka. Kelompok ini kemudian dikategorikan sebagai salafi jihadis baik ingin merubah dengan jalur politik maupun dengan jalur kekerasan.

Dalam pengalaman pemerintah Jerman, kelompok yang kedua ini mempromosikan ideologi menggulingkan tatanan konstitusional, mendukung jihad bersenjata dan membentuk tempat perekrutan dan pengumpulan para jihadis yang ingin berangkat ke suriah dan irak. Sudah banyak kelompok salafi yang menjadi radikal dan memutuskan pergi ke Suriah dan irak pada masa kejayaan ISIS waktu itu. Tercatat 300 warga Jerman berangkat ke Suriah dari kelompok salafi ini. Dan hampir semua teror dan percobaan teror mengatasnamakan Islam di Jerman dilakukan oleh kelompok salafi radikal.

Ahlu Sunnah Wal Jamaah Menolak Wahabi

Jika secara garis besar aliran Islam terpolarisasi dalam kelompok sunni-syiah aliran dan pemikiran wahabi yang lahir di Arab Saudi adalah bagian dari kelompok sunni. Namun, Muktamar Ulama Ahlusunnah wal Jamaah se-Dunia yang digelar di Chechnya pada tahun 2019 menolak dan mengeluarkan sekte Wahabi Salafi dari sunni.

Salah satu dari 11 rekomendasi yang dikeluarkan oleh muktamar tersebut memberikan alasan bahwa sunni adalah Asy’ariyah dan Maturidiyyah sehingga secara pemikiran dan manhaj berbeda dengan sekte Wahabi. Sebagaimana ditegaskan oleh Syeikh Al-Azhar menyebutkan bahwa salafi-wahabi telah menyebarkan virus takfir yang menodai kelompok ahlu sunnah wal jamaah.

Akibat ideologi takfir dari wahabi negara muslim di Timur Tengah kerap berkecamuk dalam perang saudara dan bertikai dalam pembunuhan atas nama Islam. Takfir telah melahirkan konsepsi jihad yang salah yang telah menjerumuskan umat Islam dalam kebencian dan kedengkian.

Di Indonesia secara tegas penolakan Wahabi pernah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh yang melarang aktifitas dan penyebaran pemikiran Wahabi. Larangan ini sebagai akibat dari keresahan masyarakat yang melihat corak pemikiran ini sering mengkafirkan, membid’ahkan dan menyesatkan praktek amalan masyarakat yang sudah lama.

Terakhir, baru-baru ini di Madura ribuan warga menolak ajaran Wahabi yang telah meresahkan dan memecah belah masyarakat. Keberadaan mereka justru menjadi pemicu lahirnya saling pengkafiran dan pelabelan sesat di tengah masyarakat. Kondisi ini tentu sangat menggangu terhadap kerukunan.

Di Indonesia kelompok Wahabi dakwah memang masih menyebarkan dakwahnya. Tentu sebagai bagian dari kebebasan beragama mereka mendapatkan jaminan. Namun, kebebasan beragama tidak menjadi dasar dari pembiaran terhadap sesuatu yang bisa memecah belah masyarakat. Tidak ada kata kebebasan untuk membuat kegaduhan. Ketika itu terjadi negara harus turun tangan.

Facebook Comments