Membangun Ruang Publik yang Sehat, Menjadikan Indonesia sebagai Rumah bagi Semua Pemeluk Agama

Membangun Ruang Publik yang Sehat, Menjadikan Indonesia sebagai Rumah bagi Semua Pemeluk Agama

- in Narasi
57
0
Membangun Ruang Publik yang Sehat, Menjadikan Indonesia sebagai Rumah bagi Semua Pemeluk Agama

Indonesia, sebagai negara yang berdiri di atas keberagaman, menghadapi tantangan besar dalam upaya membangun ruang publik yang sehat dan inklusif. Ruang publik di sini bukan hanya terbatas pada fisik, tetapi juga dimensi sosial di mana seluruh elemen masyarakat dapat merasakan kebebasan untuk hidup, beraktivitas, dan mengekspresikan identitasnya.

Tentu saja, Indonesia yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika sudah menegaskan bahwa keragaman bukan ancaman, melainkan kekayaan yang harus dijaga dan dihargai. Namun, dalam praktiknya, kenyataan di lapangan sering berbicara lain. Intoleransi dan persekusi terhadap kelompok-kelompok minoritas tertentu masih sering kita jumpai.

Sebut saja, misalnya, peristiwa penolakan pembangunan sekolah Kristen di Parepare, Sulawesi Selatan oleh sekelompok masyarakat yang menamakan diri sebagai Forum Masyarakat Parepare Peduli (FM2P), baru-baru ini yang mana hal itu menunjukkan dengan jelas dari masih adanya resistensi terhadap gagasan hidup berdampingan dalam keragaman.

Fenomena ini menunjukkan betapa masih rentannya ruang publik kita dari upaya-upaya homogenisasi kelompok mayoritas, meskipun prinsip-prinsip dasar negara seperti Pancasila dan UUD 1945 sudah dengan jelas mengatur bahwa setiap warga negara berhak mendapat perlakuan yang adil tanpa memandang latar belakang agama, etnis, atau kepercayaannya.

Hak kesetaraan ini bukan hanya soal dapat berbicara tanpa rasa takut, tetapi juga soal bagaimana kebebasan tersebut bisa diwujudkan tanpa melanggar hak dan martabat orang lain. Dalam konteks ini, penolakan terhadap pembangunan sekolah Kristen di Parepare menjadi salah satu contoh bagaimana ruang publik kita masih belum sepenuhnya terbuka bagi semua.

Penolakan tersebut tidak hanya menyinggung isu intoleransi agama, tetapi juga memperlihatkan bagaimana pandangan-pandangan sektarian masih kuat mengakar di masyarakat. Meskipun sudah ada banyak langkah maju dalam upaya mempromosikan toleransi, banyak komunitas masih cenderung melihat “yang lain” sebagai ancaman.

Hal itu tentu sangat berbahaya bagi pembangunan kohesi kebangsaan kita. Karena peristiwa seperti itu akan memperlemah semangat kebangsaan kita yang menjadi fondasi utama berdirinya Indonesia. Bagaimana mungkin kita bisa menyatukan 270 juta penduduk yang berbeda-beda jika kebencian dan prasangka masih dominan dalam interaksi sosial?

Menyikapi peristiwa semacam itu, pemerintah daerah harus mengambil langkah tegas untuk menegakkan hukum dan peraturan yang melindungi kebebasan beragama dan hak minoritas. Tidak boleh ada kompromi ketika hak asasi, termasuk hak untuk menjalankan pendidikan sesuai keyakinan mereka, dilanggar atas dasar alasan yang tidak rasional.

Dalam jangka panjang, upaya membangun ruang publik yang sehat harus dimulai dari dasar: membentuk pola pikir yang inklusif dan pluralistik di kalangan masyarakat. Peristiwa penolakan pembangunan sekolah Kristen di Parepare ini harus menjadi peringatan bagi kita semua bahwa PR untuk menciptakan ruang publik yang sehat masih jauh dari selesai.

Indonesia bisa menjadi rumah bagi semua hanya jika kita mampu menghapus prasangka, dan menggantinya dengan sikap saling menghargai dalam keberagaman. Ruang publik yang sehat adalah ruang di mana semua warga negara, tanpa kecuali, merasa memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa ini.

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia seharusnya menjadi contoh bagaimana pluralisme bisa menjadi kekuatan yang menyatukan, bukan memecah belah. Tugas ini memang berat, tetapi dengan komitmen bersama, tidak ada yang tidak mungkin. Kita harus terus bekerja keras untuk menjadikan Indonesia sebagai rumah bagi semua, di mana setiap orang, apa pun latar belakangnya, bisa merasa aman, diterima, dan dihargai dalam ruang publik.

Facebook Comments