Menggugat Klaim Heroisme Semu S.M. Kartosoewirjo

Menggugat Klaim Heroisme Semu S.M. Kartosoewirjo

- in Narasi
41
0
Menggugat Klaim Heroisme Semu S.M. Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, sebuah nama yang problematik dan kontroversial dalam lintasan sejarah Bangsa Indonesia. Melalui organisasinya Negara Islam Indonesia NII), ia berupaya merealisasikan formalisasi syariat di Indonesia pasca kemerdekaan.

Cornelis Van Dijk (1983) dalam bukunya Darul Islam sebuah Pemberontakan, mengatakan, obsesinya itu membuatnya merancang banyak aksi pemberontakan dari Jawa Barat (1949) yang dipimpin oleh Kartosoewirjo, hingga di Sulawesi Selatan (1950) yang dikomando oleh Kahar Muzakkar. Akibat kekacauan itu, Kartosoewirjo dihukum mati pada 5 September 1962, yang didatangi langsung oleh sahabatnya, sekaligus presiden Indonesia waktu itu, Ir. Soekarno.

Puluhan tahun pasca kematiannya, banyak simpatisan dan murid-murid ideologis NII mencoba menyanggah narasi sejarah Kartosoewirjo. Menurut mereka, Kartosoewirjo selalu dicitrakan dalam sejarah Indonesia sebagai seorang pemberontak karena memimpin gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang menentang pemerintah Republik Indonesia.

Mereka menganggap citra pemberontakan itu terlalu berlebihan dan Kartosoewirjo seharusnya dipandang sebagai seorang patriot yang ingin memperjuangkan ideologi Islam.

Menurut mereka, Kartosoewirjo membawa pesan-pesan yang dibawa oleh gurunya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, yaitu visi kepemimpinan Indonesia di bawah syariat Islam. H.O.S. Tjokroaminoto adalah sosok pertama yang menyuarakan kemerdekaan Indonesia pada medio awal abad ke-20. Salah satu gagasannya adalah optimalisasi resepsi ajaran Islam sebagai fondasi pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan.

Ide Islamisme ala H.O.S. Tjokroaminoto

Kelompok simpatisan NII mengatakan bahwa sanad perjuangan penegakkan syariat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjuangan politik H.O.S. Tjokroaminoto. Ia memang dikenal sebagai perintis fondasi aktivisme Islam sebagai anti-tesis kolonialisme. Tetapi, Islam ala Tjokroaminoto tidak berdiri sendiri. Ia merancang apa yang disebutnya sebagai sosialisme Islam.

Dalam bukunya Islam dan Sosialisme (2008), H.O.S. Tjokroaminoto menegaskan bahwa Islam pada dasarnya adalah tonggak dari sosialisme itu sendiri. Ia mengutip Q.S. Al-Baqarah: 213 bahwa manusia itu bersaudara yang mana menjadi dasar bagi sosialisme Islam. Lebih lanjut ia menggarisbawahi bahwa sosialisme Islam lebih memfokuskan pada hubungan antar satu manusia dengan manusia lainnya, tidak hanya sebatas pertemanan tetapi persahabatan.

Ia juga tak menampik operasionalisasi sistem demokrasi dalam tatanan kenegaraan dengan beberapa catatan. Ia menyanggah sistem perwakilan dalam demokrasi, misalnya. Menurutnya, di bawah negara sosialis demokratis, rakyat memiliki suara langsung di dalam masalah-masalah negara, tidak dibatasi sistem perwakilan.

H.O.S. Tjokroaminoto mempunyai tiga murid besar, yaitu Soekarno, Semaun, dan R.M. Kartosoewirjo. Soekarno seringkali mengakui pengaruh besar Tjokroaminoto dalam membentuk pemikirannya tentang nasionalisme dan perjuangan politik. Dari Tjokroaminoto, Soekarno belajar tentang pentingnya persatuan nasional, kesetaraan, dan perlunya sebuah ideologi yang dapat mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.

Di rumah yang penuh diskusi intelektual itu, Soekarno diperkenalkan pada berbagai pandangan politik—dari Islam, sosialisme, hingga nasionalisme—yang kemudian membentuk dasar pemikirannya sebagai pemimpin besar bangsa.

Semaun, seorang tokoh kiri dan pelopor gerakan buruh di Indonesia, juga merupakan murid Tjokroaminoto. Ia belajar tentang ketidakadilan ekonomi dan pentingnya memperjuangkan hak-hak kaum buruh dari gurunya ini. Pemikiran Semaun kemudian berkembang ke arah Marxisme, tetapi nilai-nilai perlawanan terhadap penindasan yang ia pelajari dari Tjokroaminoto tetap melekat dalam perjuangannya.

Selain itu, Tjokroaminoto juga membimbing Kartosoewirjo. Meskipun pada akhirnya Kartosoewirjo mengambil jalan yang berbeda dengan Soekarno dan memilih jalur pemberontakan, hal ini menunjukkan betapa besarnya spektrum pemikiran politik yang dibuka oleh Tjokroaminoto kepada murid-muridnya. Ia memberikan ruang kepada mereka untuk berpikir bebas, menemukan ideologi mereka masing-masing, dan memperjuangkan Indonesia sesuai dengan visi yang mereka yakini.

Ini terlihat jelas dalam pidatonya yang terkenal, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Kalimat ini mencerminkan keyakinannya bahwa perjuangan tidak bisa hanya dilakukan dengan satu cara saja, tetapi memerlukan perpaduan antara pengetahuan, spiritualitas, dan strategi politik yang matang.

Artinya, sanad formalisasi syariat itu tidak benar-benar turun dari Tjokroaminoto. Sosialisme Islam ala Tjokroaminoto menunjukkan komitmennya pada nilai substantif Islam dalam bermasyarakat dan bernegara. Tampaknya, tiga pesan itu terdistorsi dalam pikiran Kartosoewirjo. Alih-alih mengkolaborasikan ilmu, iman, dan politik, ia justru memilih jalur singkat yang pragmatis, yaitu revolusi dengan tameng formalisasi syariat.

Narasi Heroik “Prematur” terhadap R.M. Kartosoewirjo

Salah satu narasi untuk mengangkat citra heroik Kartosoewirjo adalah dengan mendelegitimasi peran Soekarno dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno digambarkan sebagai pengkhianat karena berbohong soal penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta yang lekat pada visi NII, yaitu syariat Islam.

Alasan Soekarno adalah ingin membendung ancaman masyarakat Indonesia Timur yang ingin berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi alasan ini ditentang simpatisan NII. Dengan mengutip beberapa sumber, mereka mengatakan bahwa klaim Soekarno itu adalah kebohongan demi memenangkan visi ideologisnya yaitu nasionalisme sekuler.

Padahal, Soekarno tidak dapat dikatakan “mengkhianati” Piagam Jakarta. Keputusan untuk menghapus tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” merupakan hasil dari kompromi politik demi menjaga kesatuan bangsa yang baru merdeka, yang terdiri dari berbagai kelompok agama, etnis, dan budaya.

Dalam rangka mempertahankan keutuhan nasional, Soekarno dan tokoh lainnya, termasuk Hatta, memilih untuk menegakkan prinsip dasar negara yang lebih inklusif, yaitu Pancasila. Penghapusan tersebut bukanlah bentuk penolakan terhadap nilai-nilai Islam, melainkan sebuah upaya untuk menjaga persatuan bangsa dalam situasi genting.

Situasi genting itu diabaikan oleh NII. Alih-alih merencanakan persatuan, mereka justru menuduh agen nasionalisme sekuler mengaburkan sejarah dengan mencitrakan perjuangan Islam ala Kartosoewirjo sebagai aksi pemberontakan. Label pemberontak pada Kartosoewirjo akhirnya melekat setelah puluhan tahun pasca ia dieksekusi mati.

Citra pemberontak itu mereka anggap sebagai narasi baru yang dikonstruksi oleh kaum nasionalis sekuler. Padahal, kajian tentang NII sudah banyak dilakukan oleh peneliti dari luar Indonesia yang tentu tidak terafiliasi oleh kepentingan politik nasional.

Chiara Formichi misalnya dalam artikelnya Pan-Islam and Religious Nationalism: The Case of Kartosuwiryo and Negara Islam Indonesia (2010) mengurai, setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Kartosuwiryo tidak puas dengan arah kebijakan republik yang dipimpin oleh Sukarno yang cenderung sekuler. Pada tahun 1948, ia mulai mempersiapkan pemberontakan dengan membentuk Darul Islam (DI), yang pada akhirnya berkembang menjadi gerakan bersenjata melawan pemerintah Indonesia.

Gerakan ini, yang berpuncak pada deklarasi Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 1949, mendapat dukungan di beberapa daerah, termasuk Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Kartosuwiryo dan pendukungnya melihat republik sebagai pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip Islam, dan mereka bersikeras bahwa negara harus didasarkan pada hukum Islam. Namun, gerakan ini akhirnya berhasil ditekan oleh pemerintah Indonesia, dan Kartosuwiryo dieksekusi pada tahun 1962.

Mengutip dari tulisan Kartosoewirjo di koran Fadjar Asia pada 3 November 1928 berjudul Islamisme, Nasionalisme, dan Internasionalisme I, ia menuntut bahwa jiwa patriotisme harus merujuk pada prinsip tauhid. Ia lalu menggagas konsep ‘mono-humanisme’, yaitu persatuan umat manusia sebagai satu umat. Konsep ini jelas bertolak belakang dengan aspirasi suara masyarakat Nusantara yang sangat beragam.

Barangkali jika R.M. Kartosoewirjo mau turun gunung dan berdialog secara diplomatis dengan para perancang kemerdekaan yang lain, ia akan dianggap sebagai bagian dari tokoh penting kemerdekaan. Sayangnya, ia lebih memilih memenuhi ego politik-ideologisnya.

Akhirnya, kita harus sepakat bahwa kekerasan atas nama agama, siapapun aktornya, termasuk NII, tidak dapat diterima sebagai bagian dari perjuangan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Facebook Comments