Membebaskan Agama dari Pemahaman Ekstrem dan Perilaku Ekslusif

Membebaskan Agama dari Pemahaman Ekstrem dan Perilaku Ekslusif

- in Keagamaan
2
0
Membebaskan Agama dari Pemahaman Ekstrem dan Perilaku Ekslusif

Pemahaman syariat sering kali menjadi subjek diskusi yang hangat dalam masyarakat terutama media sosial. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa interpretasi syariat yang sempit kerap menjadi akar dari berbagai permasalahan sosial dan konflik.

Pandangan interpretasi syariat yang sempit sering kali berujung pada penghakiman sepihak, diskriminasi, bahkan tindakan radikal. Untuk mengatasi masalah tersebut, dekonstruksi pemahaman syariat menjadi langkah penting untuk menciptakan ruang interpretasi yang lebih inklusif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.

Di banyak masyarakat, pemahaman syariat sering kali terbatas pada aspek-aspek hukum yang rigid. Sebagai contoh konkret, penghakiman terhadap seseorang berdasarkan cara berpakaian yang dianggap tidak “islami” atau pemaksaan aturan tertentu yang seolah-olah merupakan satu-satunya interpretasi yang benar. Syariat seolah dipersempit menjadi kumpulan aturan formal yang diisolasi dari konteks sosial, budaya, dan sejarah.

Tentu saja, pemahaman yang sempit memiliki dampak yang beragam. Seperti diskriminasi terhadap perempuan yang tidak mengenakan hijab atau yang menggunakan hijab namun kurang sesuai dengan standar tertentu, seperti hijab yang menutupi dada. Selain itu, pembatasan kebebasan berekspresi dengan dalih “melindungi akidah” sering kali mengabaikan hak-hak individu yang juga dijunjung dalam nilai-nilai keislaman.

Pemahaman yang sempit dapat memicu tindakan radikal. Ketika suatu kelompok merasa bahwa interpretasi mereka adalah satu-satunya yang benar, mereka cenderung menganggap pihak lain sebagai “kafir” atau “sesat.”. Beberapa kelompok sering mempromosikan narasi “kemurnian akidah” yang eksklusif.

Kampanye menjaga “kemurnian” akidah ini tidak jarang digunakan untuk mendukung agenda politik tertentu, seperti mobilisasi partai berbasis agama hingga radikalisasi individu yang berujung pada aksi teror. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman syariat yang sempit tidak hanya berbahaya secara teologis, tetapi juga secara sosial dan politik.

Dekonstruksi berarti membongkar kerangka pemahaman syariat yang kaku untuk membuka ruang bagi interpretasi yang lebih komprehensif. Syariat tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan budaya. Banyak aturan dalam syariat yang dirumuskan pada masa awal Islam, yang tentu saja dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat Arab saat itu.

Dengan memahami kondisi tersebut, kita dapat menggali esensi dari syariat keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan, tanpa terjebak pada aturan literal yang mungkin tidak relevan lagi di masa sekarang. Dekonstruksi juga dapat mempengaruhi kebijakan publik yang berkaitan dengan agama. Contohnya, dalam persoalan riba. Beberapa pihak masih berpegang pada dalil syariat yang secara tekstual melarang riba dalam segala bentuknya. Namun, dengan pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan kondisi ekonomi modern, kita dapat memahami bahwa tujuan utama dari larangan riba adalah untuk menghindari eksploitasi dan ketidakadilan. Oleh karena itu, pengembangan sistem keuangan berbasis syariah yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan ekonomi global dapat dianggap sebagai bentuk implementasi syariat yang lebih sesuai dengan prinsip kemaslahatan.

Beberapa contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari dapat memberikan gambaran jelas mengenai dampak pemahaman syariat yang sempit. Pertama, diskriminasi berbasis pakaian. Di beberapa komunitas, perempuan yang tidak mengenakan hijab sering dianggap kurang beriman.

Stigma ini tidak hanya menyakitkan secara personal, tetapi juga menciptakan polarisasi sosial. Kedua, penolakan terhadap keragaman pendapat. Ketika ada ulama atau akademisi yang menawarkan interpretasi baru terhadap syariat, mereka kerap dicap “liberal” atau “sesat,” meskipun pendekatan mereka didasarkan pada metodologi yang kuat. Ketiga, eksklusivitas tempat ibadah. Beberapa masjid menolak memberikan ruang kepada kelompok tertentu hanya karena perbedaan mazhab. Hal ini bertentangan dengan nilai Islam yang inklusif.

Untuk mengatasi masalah ini, ada beberapa langkah yang dapat diambil. Pertama, pendidikan agama yang kontekstual. Kurikulum pendidikan agama perlu memasukkan konteks sejarah dan budaya dalam memahami syariat. Dengan cara ini, siswa diajak untuk berpikir kritis dan tidak terjebak dalam dogma sempit.

Kedua, dialog antar-kelompok. Normalisasi perjumpaan lintas identitas dan pemahaman ideologi dapat mengurangi kecurigaan dan konflik. Misalnya, forum diskusi yang melibatkan berbagai mazhab dan organisasi keagamaan dapat menciptakan saling pengertian.

Ketiga, peningkatan literasi agama. Kampanye literasi agama melalui media sosial dapat membantu masyarakat memahami syariat dalam perspektif yang lebih luas. Konten-konten yang menjelaskan esensi syariat dan relevansinya dengan kehidupan modern perlu diperbanyak.

Dekonstruksi pemahaman syariat bukan berarti mengabaikan nilai-nilai agama, tetapi justru memperkaya cara kita memahaminya. Dengan interpretasi yang inklusif, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, di mana keragaman diterima sebagai kekayaan, bukan ancaman. Kerukunan bangsa hanya dapat terwujud jika kita tidak hanya mengedepankan aspek hukum dan keamanan, tetapi juga membangun pemahaman yang holistik.

Facebook Comments