Kamuflase Purifikasi Akidah; Metamorfosis Terorisme di Tengah Momentum “Zero Attack Terrorism”

Kamuflase Purifikasi Akidah; Metamorfosis Terorisme di Tengah Momentum “Zero Attack Terrorism”

- in Narasi
0
0
Kamuflase Purifikasi Akidah; Metamorfosis Terorisme di Tengah Momentum “Zero Attack Terrorism”

Kolumnis New Yorker, Lawrence Wright dalam sebuah tulisannya menyebut bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, terorisme mengalami metamorfosis. Ia menyebut bahwa saat ini kita tengah menghadapi bentuk atau corak baru terorisme. Jika di masa lalu, gerakan terorisme dilatari oleh sentien kebencian terhadap Barat yang menjadi representasi kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.

Hari ini, terorisme mengalami metamorfosis ke arah yang semakin canggih dan kompleks. Kian ke sini, kita melihat bahwa terorisme tidak hanya dilandasi oleh sentimen kebencian terhadap Barat, namun juga dilatari oleh motif untuk memurnikan ajaran Islam. Jargon “kembali ke Quran dan Sunnah”, “Islam kaffah”, “negara syariah”, dan sejenisnya kini menjadi tagline baru bagi kelompok ekstremis.

Mereka tidak lagi menjadikan Barat sebagai satu-satunya simbol kemaksiatan yang harus dilawan dan dihancurkan. Namun, kini mereka (kaum ekstremis) juga menarget saudara sesama muslim sendiri yang berbeda pandangan sebagai musuh yang harus diperangi.

Analisis Wright itu kiranya valid dan relevan untuk melihat bagaimana arah perkembangan gerakan terorisme di Indonesia. Kita melihat sendiri dalam beberapa tahun belakangan, gerakan ekstremisme dan terorisme telah mengalami sejumlah pergeseran. Persis seperti dikatakan Wright, kelompok teror justru tidak lagi menjadikan kebencian terhadap Barat (Amerika Serikat dan Eropa) sebagai satu-satunya landasan ideologis mereka.

Pergeseran Target Terorisme

Hal ini bisa kita lihat dari perubahan target atawa sasaran teror dalam beberapa tahun terakhir. Di awal merebaknya teror di Indonesia, yakni di awal era 2000-an, sasaran utama terorisme adalah simbol-simbol kekuatan Barat. Misalnya, kantor kedutaan, atau hotel jaringan internasional yang dimiliki warga Amerika Serikat atau Eropa. Atau setidaknya, tempat yang menjadi arena berkumpulnya ekspatriat atau turis asing.

Namun, belakangan sasaran teror justru bergeser ke fasilitas publik milik negara. Terutama kantor atau pos polisi dan kantor pemerintah lainnya. Selain kantor polisi dan instansi pemerintah, sasaran teror lain adalah tempat ibadah non-muslim. Tidak hanya itu, kaum ekstremis juga kerap menyerang acara-acara kebudayaan yang mengangkat kearifan lokal Nusantara. Sasaran teror tidak lagi warga asing (Barat), namun justru warga lokal yang mayoritas beragama Islam.

Fenomena yang terjadi di Indonesia belakangan ini kian memvalidasi tesis Wright tentang metamorfosis terorisme tersebut. Kini, agenda terorisme bukan lagi sekadar balas dendam terhadap imperialisme Barat seperti digaugkan oleh JI, Al Qaidah, atau Taliban. Orientasi terorisme kini juga untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap telah tercemar.

Dalam konteks Indonesia, yang dianggap mencemari akidah Islam itu adalah ideologi bangsa, yakni Pancasila dan praktik kebudayaan lokal Nusantara. Maka, bisa disimpulkan bahwa jargon purifikasi akidah itu pada dasarnya adalah kamuflase dari ekstremisme dan terorisme. Misi mereka seolah tampak mulia, yakni memurnikan ajaran Islam.

Namun, di balik itu, mereka sebenarnya tengah menyusun skenario untuk mengubah bentuk negara, mengganti ideologi bangsa, dan mendirikan sistem pemerintaha baru yang diklaim islami. Meski kemasannya beda, namun hakikat terorisme tetap sama; permisif pada cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Inilah yang patut diwaspadai bersama.

Melawan Kamuflase Terorisme

Kamuflase purifikasi akidah ini bisa dilawan dengan mengajak umat kembali ke hakikat agama (Islam). Dalam kolomnya berjudul “Hilirisasi Agama” Guru Besar UIN Surabaya, Masdar Hilmy menegaskan bahwa agama (Islam) tidak boleh terjebak pada formalitas. Formalitas beragama ini cenderung hanya fokus pada ekspresi simbolik agama, bukan pada esensi agama itu sendiri.

Agenda memurnikan akidah yang dimanifestasikan ke dalam skenario mendirikan negara Islam adalah salah satu bentuk formalitas beragama. Klaim bahwa pemerintahan berdasar syariah akan menyelesaikan problem kebangsaan seperti kemiskinan, korupsi, kebodohan, dan sebagainya pada dasarnya irasional. Nyatanya, justru banyak negara Islam yang tergolong sebagai negara miskin dan terbelakang.

Selain mencegah formalism beragama, Hilmy juga menegaskan bahwa Islam seharusnya tampil sebagai kekuatan yang mendukung transformasi dan pembangunan bangsa. Kontribusi agama dalam pembangunan bangsa penting untuk membangun kesadaran umat bahwa agama dan negara bisa bersinergi. Dengan begitu, narasi konfliktual yang mempertentangkan antara agama (Islam) dan negara (Pancasila) tidak akan laku di tengah umat.

Status zero attack terrorism yang kita raih dari tahun 2023 hingga 2024 ini kiranya tidak membuat kita jemawa. Di tengah nihilnya aksi teror, kaum ekstremis tetap gencar mengonsolidasikan kekuatannya di bawah tanah. Salah satunya dengan membangun citra baru melalui jargon purifikasi akidah. Purifikasi akidah ini ibarat stale coffe in the new cup (kopi basi yang disajikan dalam cangkir baru).

Meski cangkirnya mengkilap, kopi basi tetap saja membikin kita muntah. Demikian pula dengan agenda purifikasi agama. Meski dari luar tampak mulia, namun agenda itu sarat dengan kecenderungan untuk berperilaku intoleran, arogan, dan pro-kekerasan.

Facebook Comments