Membentengi Anak dari Radikalisme

Membentengi Anak dari Radikalisme

- in Budaya
2008
0

Hal yang sangat mencolok dewasa ini, termasuk di tanah air, adalah anak-anak yang semestinya mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari keluarga untuk masa depannya yang lebih baik, justru dieksploitasi untuk kepentingan tertentu. Salah satu yang menghebohkan adalah ekslpoitasi anak dalam medan pertempuran. Seakan ada asumsi bahwa kaderisasi sejak dini untuk menjadi pejuang yang tangguh dan pantang surut dari pola pikir dan pemahamannya merupakan unsur yang sangat penting.

Sebagaimana baru-baru ini menghebohkan, anak-anak mulai ditonjolkan sebagai pejuang, pahlawan bahkan disesaki dengan simbol-simbol yang semestinya tidak pantas dikenalkan misalnya pakaian ISIS, baret ISIS dan simbol-simbol lainnya yang dianggap sebagai kebanggaan. Tidak hanya dipersenjatai, anak-anak sejak kecil telah didoktrin dengan pemahaman yang ekstrim dan diajari bersikap keras bahkan membenci terhadap sesama.

Sungguh sebuah ironi karena anak-anak tidak lagi diajarin bagaimana menjadi muslim yang sejati, bagaimana menghapal Qur’an, bagaimana menghitung yang baik, bagaimana mengenal alam di sekitarnya, serta bagaimana bersikap sopan santun terhadap orang tua dan tetangga di sekitarnya. Kini sebaliknya anak-anak diajari untuk buta terhadap alam sekitarnya dan tidak lagi ditempa dengan akhlaqul karimah dan perilaku-perilaku terpuji lainnya yang harus diajarkan sejak dini kepada setiap anak.

Rasulullah SAW saat masih kecil telah dikenal sebagai al-amin dan as-siddiq karena beliau bersikap jujur dan dipercaya. Beliau juga dikenal sangat santun dan ramah dengan semua teman sebayanya, bahkan Muhammad kecil sering kali menjadi orang yang terpilih sebagai leader dalam kegiatan apapun karena semua temannya sangat mencintai dan menyukainya.

Perilaku Rasulullah SAW ini tentulah tidak terlepas dari pendidikan pamannya, Abu Tholib, yang mengasuhnya sejak ditinggal ayahnya, Abdullah bin Abdul Muttalib dan ibunya Aminah. Karena itu, Muhammad kecil menghabiskan masa kecil bersama pamannya di mana ia menerima pengetahuan dan pendidikan perilaku yang mencerminkan bahwa ia adalah berasal dari keluarga yang terhormat dan terpandang. Walaupun beliau yatim piatu, tetapi perilakunya tidak jauh dari karakter dan asal usulnya sebagai orang terpandang. Ini bisa dilihat bagaimana Rasulullah mencintai cucu-cucunya dan anak-anak kecil yang ada di sekitarnya

Apa yang bisa diteladani dari sirah Nabi tersebut? Menghindarkan seorang anak dari perilaku dan tindakan yang tidak perpuji tentu harus melalui pendidikan dan pengawasan yang begitu ketat terhadap anak. Demikian pula menghindarkan anak dari pergaulan yang ekstrim terletak pada bagaimana keluarga memilih lingkungan yang baik serta bagaimana memberikan pendidikan yang terbaik sehingga anak tersebut tidak terjerumus ke dalam paham kekerasan dan ekstrim. Jika kedua orang tua secara langsung memberikan pendidikan yang keras dan mempersiapkan anak-anaknya untuk menjadi orang-orang yang ekstrim atau bahkan menjadi teroris, maka sudah barang tentu anak itu akan tumbuh dengan pribadi yang keras, ekstrim atau bahkan menjadi teroris. Pertanyaannya apakah Islam mengajarkan bagaimana membina seseorang menjadi teroris? Tentu tidak.

Di sinilah pentingnya keluarga untuk membentengi anak-anaknya dengan berusaha menjauhinya dari lingkungan pergaulan kelompok ekstrim sehingga terbebas dari pengaruh ajaran dan paham yang keliru. Sebaliknya jika keluarga justru terbawa arus, maka bukan saja orang tua yang akan menjadi ekstrim tetapi juga akan menularkan kepada anak-anaknya di kemudian hari.

Keluarga adalah benteng utama. Semoga kita dan anak-anak kita tidak termasuk orang-orang yang ekstrim dan radikal apalagi dengan membawa nama agama.

Facebook Comments