Dalam sebuah wawancara, mantan teroris Ali Imron pernah berkata bahwa ia bisa meradikalisasi seseorang hanya dalam waktu beberapa menit saja. Metodenya adalah dengan mengajak diskusi dan melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak. Misalnya, “kamu lebih milih Nabi Muhamad atau presiden Indonesia?“. Atau pertanyaan “kamu lebih percaya Al Qur’an atau buku-buku filsafat?”. Juga pertanyaan “lebih sakral mana, Islam atau Pancasila“.
Model pertanyaan yang demikian itu sengaja dipakai untuk menggiring sang target agar mudah diradikalisasi. Tentu, setiap muslim jika dihadapkan pada pertanyaan, Islam atau Pancasila? Jawabannya pasti memilih Islam.
Padahal, sebenarnya secara logika pertanyaan itu sudah salah sejak awal. Menyuruh seseorang memilih Islam atau Pancasila itu sebuah penggiringan opini bahwa seolah-olah Pancasila itu tidak sesuai ajaran Islam. Padahal, nyatanya tidak demikian. Pancasila dan Islam tidak bisa dihadap-hadapkan, apalagi dianggap bertentangan satu sama lain.
Dalam leksikon ilmu sosial, model penggiringan opini itu disebut dengan istilah fetakompli. Istilah ini berasal dari bahasa Perancis, fait accompli yang artinya tidak ada pilihan. Nalar fetakompli adalah sebuah upaya menggiring opini dan persepsi seseorang agar mau tidak mau setuju dengan pendapat yang disodorkan.
Kaum pengasong khilafah, utamanya HTI gemar sekali memakai nalar fetakompli ini untuk mencuci otak para target indoktrinasinya. Bayangkan saja, jika ada siswa SMA atau mahasiswa tingkat awal disodori pertanyaan “milih presiden atau rasulullah?”.
Pasti dia akan menjawab memilih Nabi Muhammad. Padahal, pertanyaan itu hanya sebuah langkah awal untuk mempropagandakan ideologi khilafah. Selanjutnya, mereka para pengasong khilafah itu akan membangun persepsi bahwa siapa pun yang menolak khilafah adalah kaum anti Islam yang harus dimusuhi dan dilawan.
Melawan Logika Fetakompli
Logika atau nalar fetakompli yang demikian ini jelas berbahaya. Apalagi yang mewujud pada narasi “menolak khilafah berarti anti-Islam”. Pola perbandingan yang ekstrem, dengan narasi “menolak khilafah berarti menolak Islam” adalah sebuah penyesatan yang luar biasa. Bagaimana tidak?
Diskursus khilafah dalam Islam itu luas tidak sempit apa yang diimajinasikan ole HTI. Dalam sejarah, setidaknya dikenal tiga model khilafah, yakni khilafah nabawiyyah, yakni sistem pemerintahan yang didirikan dan dijalankan oleh Rasulullah ketika di Madinah.
Usia sistem ini tidak lama, yakni hanya 10 tahun. Lalu ada khilafah ala minhaji nubuwwah yang dipraktikkan oleh khulafaurrasyidun. Ketiga, model khilafah teokrasi yang dipraktikkan pasca khulafaurrasyidun sampai runtuhnya Turki Usmani.
Khilafah yang dikehendaki HTI berbeda dengan tiga model khilafah yang pernah diterapkan di dunia Islam. Khilafah HTI adalah sistem pemerintahan yang dijalankan sesuai UU yang disusun oleh Hizbut Tahrir. Dalam sejarahnya, agenda khilafah HT ini kerap menjadi penyebab munculnya konflik sosial, terorisme, dan perang saudara di banyak negara muslim.
Menolak agenda khilafah HTI, bukan menolak ajaran Islam, melainkan menolak cara pemaksaan dan kekerasan untuk mendirikan sebuah entitas politik. Menolak khilafah HTI adalah menolak tindakan subversif alias pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Menolak khilafah HTI adalah menolak pada cita-cita utopis yang memanipulasi sejarah Islam. Di titik ini, kita bisa mematahkan argumen para simpatisan HTI bahwa menolak khilafah berarti menolak Islam.
Dalam konteks Indonesia yang multikultur dan multireliji, Pancasila sebagai sebuah ideologi politik jauh lebih rasional dan relevan ketimbang khilafah ala HTI. Pancasila yang memberi ruang pada demokrasi memungkinkan setiap pergantian kekuasaan berjalan aman dan damai. Di level nasional maupun lokal, suksesi kekuasaan dengan mekanisme demokrasi terbukti berjalan kondusif dan aman.
Adanya fenomena golput tentu harus diakui. Namun, itu bukan berarti bahwa demokrasi mengalami delegitimasi apalagi gagal. Di semua negara demokrasi, fenomena golput pasti tidak terhindarkan. Golput adalah fenomena yang multifaktor, dan tidak bisa disederhanakan sebagai bentuk kegagalan demokrasi.
Model negara bangsa NKRI yang berusia tujuh dekade lebih ini merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu. Mengeliminasi NKRI pada dasarnya sama dengan menghapus kontribusi ulama pada sejarah kemerdekaan bangsa. NKRI yang berbasis pada Pancasila dan sistem demokrasi itulah yang harus kita rawat bersama. Terutama di tengah kencangnya arus propaganda khilafah.
Disinilah pentingnya peran para tokoh agama dan masyarakat untuk membentengi umat dari racun radikalisme. Umat di level akar rumput selama ini menjadi kelompok paling rentan terpapar ideologi radikal. Ghiroh beragama yang tinggi namun tidak diimbangi literasi agama dan sejarah menjadi celah masuknya propaganda radikalisme.
Penguatan literasi agama menjadi hal yang urgen dan relevan dilakukan. Literasi keagamaan itu bukan sekadar mendorong umat agar rajin beribadah dan mendalami ilmu keislaman. Lebih dari itu, literasi keagamaan kiranya mampu membangun kesadaran untuk menjaga keselarasan antara Islam, Pancasila, dan demokrasi.