Membongkar Polemik Al Zaytun : Dari Penistaan Agama Hingga Jaringan NII

Membongkar Polemik Al Zaytun : Dari Penistaan Agama Hingga Jaringan NII

- in Analisa
900
0
Membongkar Polemik Al Zaytun : Dari Penistaan Agama Hingga Jaringan NII

Pondok Pesantren (Ponpes) AL Zaytun di Indramayu terus menjadi sorotan dan menuai kontroversi yang cukup Panjang. Dari isu penistaan hingga keterkaitan Ponpes ini dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) semakin mencuat di permukaan. Melengkapi isu tersebut, persoalan pendanaan Ponpes yang konon pendirinya, Panji Gumilang, memiliki ratusan rekening turut menjadi sorotan publik.

Jika memang desas-desus obrolan publik terkait Al Zaytun itu adalah benar bagaimana Riwayat akhir Ponpes ini? bagaimana nasib ribuan santri yang tengah belajar di Ponpes ini dengan niat untuk menimba ilmu keagamaan?

Sekelumit Sejarah Al Zaytun

Pondok Pesantren Al Zyatun atau Ma’had Al Zaytun adalah sebuah pondok pesantren yang didirkan pada 13 Agustus 1996. Pembukaan awal pembelajaran dilaksanakan pada 1 Juli 199 yang diresmikan secara langsung pada 27 Agustus 1999 oleh Presiden B.J Habibie. Pesantren ini terletak di desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang dipimpin oleh Abdussalam Panji Gumilang.

Pada tahun 2005, The Washington Times menjuluki pesantren ini sebagai pesantren terbesar se-Asia Tenggara yang berdiri di atas lahan 1.200 hekter dengan jumlah santri pada tahun 2011 sebanyak 7000 santri. Mereka yang menimba ilmu di pesantren ini tidak hanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga dari negara lain seperti Malaysia, Brunei Darsussalam, Singapura, Filipina, Pakistan, Afganistan, Irak, Turki, Timor Leste hingga Arab Saudi.

Secara kurikulum pesantren ini layaknya pesantren lainnya mengacu pada Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Satuan Pendidikan yang ada di pondok ini dimulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD hingga perguruan tinggi. Selain jenjang Pendidikan formal, pesantren ini juga membekali santrinya dengan Pendidikan keterampilan seperti computer, Pendidikan pertanian terpadu, hingga kegiatan ekstra kurikuler lainnya.

Di lingkungan Pondok berdiri Masjid yang diberi nama Masjid Rahmatan Lilalamin yang dapat menampung 100 ribu jamaah. Di samping, secara fasilitas, pondok ini sudah memiliki Gedung-gedung pembelajaran yang diberi nama para Khalifturrasyidin hingga Soekarno dan Soeharto.

Al Zaytun memiliki cita-cita ideal untuk memperbaiki kualitas Pendidikan umat. Tercermin dari mottonya, Al Zaytun diharapkan menjadi pesat Pendidikan pengembangan budaya toleransi dan perdamaian. Pendidikan toleransi memang cukup kental dengan menanamkan santri untuk menghormati perbedaan termasuk kepada agama lain.

Awal Mula Kontroversi Al Zaytun

Al Zaytun mulai menyita perhatian publik secara luas. Di tengah masyarakat muslim merayakan perayaan Idul Fitri, beredar video yang memperlihatkan Pimpinan Al Zaytun beserta pengurus dan santrinya melaksanakan shalat I’d hari Raya Idul Fitri dengan shaft yang renggang dan shaf shalat yang bercampur antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, tidak hanya itu, di tengah Jemaah dikabarkan ada satu orang non-muslim yang ikut dalam barisan shaf tersebut.

Pasca viral video tersebut bermunculan video-video lainnya yang mengundang kontroversi. Pengucapan salam dengan Bahasa Ibrani hingga menyanyikan lagu Yahudi di acara Wisuda. Muncul pula adzan versi Al Zaytun yang dianggap tidak lazim dengan muadzin menghadap ke jamaah.

Rentetan kontroversi itu membuka kran obrolan dan dugaan publik yang semakin kencang dengan membongkar dosa-dosa Al Zaytun. Adanya isu bahwa Al Zaytun mengajarkan penebusan dosa dengan uang, aliran dana yang tidak jelas hingga dugaan terafiliasi NII. Untuk yang terakhir ini, ada dugaan pesantren ini dengan Al Zaytun merupakan desas-desus lama yang tidak pernah diurai secara jernih.

Polemik Al Zaytun sejatinya bukan barang baru. Tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mencium gelagat aneh. Penelitian pun dilakukan dan hasilnya menyatakan ada keterkaitan kepemimpinan dan finansial antara Al Zaytun dengan NII KW 9. Namun, Panji Gumilang terus menegaskan isu tersebut sebagai fitnah, tanpa ada klarifikasi. Menurutnya, sejarah NII sudah tuntas pada tahun 1962. Sementara secara finansial, dana Al Zaytun didapatkan dari iuran siswa dan usaha ekonomi pesantren serta bantuan dari para sahabatnya.

Pada pertengahan Juni 2023, masyarakat Indramayu yang mengatasnamakan Forum Solidaritas Dharma Ayu melakukan aksi demontrasi di depan pondok pesantren Al Zaytun. Mereka menuntut pondok pesantren ini dibubarkan dan Panji Gumilang ditangkap. Aksi masyarakat ini didorong oleh kabar kebolehan berhubungan seks bebas dengan menebus dosa sebesar 2 juta rupiah. Tokoh-tokoh agama semisal Buya Yahya, Abdul Somad dan Rizieq Shihab tidak ketinggalan bersuara. Mereka menyatakan Al Zaytun mengajarkan ajaran sesat dan meminta penutupan pondok pesantren tersebut.

Membongkar “Jejak NII” dalam Sejarah Al Zaytun

Mantan Pengurus territorial NII di Indramayu, Ken Setiawan, mengaku tidak heran dengan polemik Al Zaytun yang sekarang. Sudah sejak lama ia menyuarakan bahaya Al Zaytun. Namun, ia masih heran kenapa pesantren yang jelas terafiliasi dengan NII ini masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Menurut Ken yang juga Pendiri NII Crisis Center ini bahwa Al Zaytun dalam ajarannya mengadopsi ajaran NII yang dipadukan dengan “ajaran Isa Bugis dan lembaga kerasulan”. Diketahui dua ajaran ini telah dinyatakan sebagai aliran sesat pada tahun 1980-an. Dalam dakwanya mereka memadukan anatra al-Quran dan Injil dan beberapa ajaran agama lain. Perpaduan ini menurut Ken bukan menandaskan Al Zaytun sebagai kelompok yang toleran terbuka, tetapi untuk menutup ideologi yang sesungguhnya untuk mendirikan negara dalam negara.

Mantan Aktivis NII pada 1996-2001, Sukanto juga menyoroti polemik Al Zaytun. Ia menyebutkan bahwa Al Zaytun merupakan pusat kaderisasi gerakan NII KW 9. Orang yang diutus menjadi perekrut ada yang pernah menimba ilmu di Al Zaytun. Bahkan sepertiga santri pondok pesantren itu merupakan anak dari warga NII.

Hal senada juga ditegaskan oleh Imam Suprianto, salah satu pendiri Yayasan Pesantren Indonesia yang menaungi Al Zaytun. Imam melaporkan Panji Gumilang karena secara sepihak mencoretnya dari Yayasan tersebut. Imam melanjutkan gugatannya dengan menuduh Panji terafiliasi dengan NII. Ia mengakui mengenal Panji di Universitas Muhammadiyah Jakarta dalam kegiatan pembinaan kader NII.

Sejak saat itu, isu NII dan Al Zaytun terus bergulir. Aktivis NII lainnya seperti Sukanto bahkan menuding Panji sebagai Imam NII KW 9 yang memiliki cakupan wilayah Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Banten pada 1996. NII KW 9 memiliki struktur serupa negara yang dilengkapi dengan majelis permusyawaratan rakyat, presiden, dan menteri.

Namun, isu Panji Gumilang dan NII tidak sampai menyentuh jalur hukum terkait keterlibatannya dalam jaringan NII. Panji memang pernah di penjara selama 10 bulan terkait pemalsuan dokumen, bukan karena keterlibatan dalam jaringan NII.

Dugaan Panji dan NII masih berlanjut. Pada tahun 2011, dua anak buahnya Salamin dan Mujono Agus Salim diciduk polisi terkait kasus makar karena ingin mendirikan NII. Putusan hakim menyatakan keduanya dengan hukuman tiga tahun karena terbukti pemufakatan jahat melakukan makar. Dalam dakwaan tersebut, ada dokumen yang menyebutkan bahwa keduanya dibaiat oleh Panji Gumilang untuk masuk NII pada tahun 1990.

Dalam dokumen itu pula terungkap bahwa Salamin pernah ditunjuk menjadi Kepala Bagian Keuangan Provinsi Jawa Tengah NII pada 2005. Dia memiliki tugas menghimpun dana untuk disetorkan ke pondok pesantren Al Zaytun. Sementara, Mujono disebut ditunjuk oleh Panji sebagai Ketua Keresidenan yang bertugas merekrut santri dan mengajak mereka menyumbang untuk Al Zaytun.

Pada salinan dokumen dakwaan tersebut ada kesimpulan yang bisa ditarik bahwa ada afiliasi Al Zaytun dengan NII yang memiliki pimpinan yang sama, yaitu Panji Gumilang. Namun, pasca kejadian itu isu pun mereda. Panji bisa bernafas lega. Al Zaytun kemudian menampilkan dan dikenal menjadi pesantren yang mengedepankan perdamaian dan toleransi.

Panji terus menegaskan bahwa NII sudah tidak mati. NII memang ada dalam sejarah yang diproklamasikan pada tahun 1949 dan terus diperjuangkan hingga 1962. Setelah tahun itu NII sudah selesai dan bahkan pendirinya sudah menganjurkan pengikutnya kembali ke bumi pertiwi Indonesia.

Apakah pernyataan Panji ini sebagai penegasan untuk menutupi adanya gerakan bawah tanah NII yang terus berlangsung dalam wujud NII KW 9?

Bahayakah NII?

NII merupakan gerakan politik yang patut diwaspadai karena memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam sejarah memang NII telah selesai, tetapi bermetamorfosa dalam gerakan bawah tanah dan aktif melakukan perekrutan. Bukti baru-baru ini kejadian di Garut, Lampung dan Sumbar menunjukkan eksistensi gerakan ini.

NII dianggap gerakan yang mengganggu kedaulatan negara yang memiliki idelogi ekstrem bahkan terorisme. Mantan aktivisi NII, Ken Setiawan bahkan menyebut induk terorisme di Indonesia adalah NII. Pelaku aksi teror di Indonesia mayoritas adalah alumni NII yang telah tergabung dalam jaringan teror.

NII merupakan gerakan yang mendorong dan menginspirasi gerakan dan sel teroris di Indonesia. Jamaah Islamiyah (JI) yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir pada tahun 1990-an merupakan bagian dari transformasi NI Ike JI. Cita ideologi NII untuk mendirikan negara Islam masih mandarahdaging yang mendorong lahirnya gerakan makar dalam bentuk terorisme.

Sebagai sebuah ideologi, NII yang lahir dari kandung DI/TII tidak pernah mati. Satu putra pendiri DI/TII, Sarjono Kartosoewiryo, saat menyatakan ikrar setia bagi Pancasila pada 2019 di Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan HAM, anggota NII saat ini berdasarkan data resmi masih ada sekitar 2 juta dan tidak termasuk yang belum terdata.

Pertanyaannya, apakah NII sudah benar-benar mati dan selesai sebagaimana penegasan Panji Gumilang? Atau NII telah berwujud dalam gerakan lain? Apakah gerakan NII telah usai dan tidak melakukan perekrutan dan indoktrinasi?

Sikap Pemerintah terhadap Al Zaytun

Al Zaytun kembali menjadi drama politik yang tak kunjung usai. Dugaan keterlibatan dengan jaringan NII hingga kasus pelengkap baru-baru ini tentang penistaan agama menyeruak dan menyita perhatian pemerintah.

Para Mantan NII telah bersuara dengan menegaskan keterkaitan Al Zaytun dengan NII sebagaimana ditegaskan Ken Setiawan, Sukanto dan Al Chaidar. MUI pun telah mengklaim mempunyai hasil penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara Al Zaytun dengan NII.

Menko Polhukam mengaku memiliki bukti dokumen yang mengungkapkan keterkaitan Al Zaytun dengan NII. Ia menegaskan bahwa kemunculan pesantren itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh NII sebagai satu organisasi yang memiliki paham radikalisme dan dilarang di Indonesia. Karenanya, ia akan berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus terkait isu radikalisme tersebut.

BNPT telah memberikan pernyataan adanya dugaan afiliasi Al Zaytun dengan paham radikalisme NII. Namun, BNPT belum bisa melakukan tindakan tegas masih menunggu perkembangan keputusan politik yang ada. Temuan itu sifatnya hanya sejarah yang dianggap temuan sementara. Selama mereka tidak bertentangan dengan aturan hukum, tidak mengajarkan kekerasan, termasuk dengan ideologi negara tentu masih dalam koridor wajar.

Tentu saja, isu Al Zaytun ini harus dituntaskan agar tidak mengambang dan terus menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Bukan sekedar penistaan agama, keterkaitan antara Al Zaytun dengan NII patut didalami karena ideologi radikalisme NII memiliki potensi yang dapat menggerakan ekstremisme. Bukan sekedar penistaan agama, tetapi negara harus jeli melihat adakah ideologi NII yang masih dipertahankan dan diajarkan dalam pesantren ini?

Facebook Comments