Mencegah Radikalisasi Kaum Milenial Melalui Media Sosial

Mencegah Radikalisasi Kaum Milenial Melalui Media Sosial

- in Narasi
807
0

Tiba-tiba anak muda itu meledakkan diri di depan Gereja Katedral, Makassar. 20 orang pun menjadi korban dengan luka-luka. Dan selang beberapa hari, seorang perempuan muda bernama Zakia Aini (26) juga menyerang Mabes Polri dengan menodongkan pistol. Beberapa waktu kemudian, perempuan teroris yang masih terlihat amatir itu dilumpuhkan oleh polisi. Di ketahui, pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral dan penyerang Mabes Polri itu adalah pemuda-pemudi yang menganut ideologi keras (radikalisme dan terorisme).

Tentu, kejadian itu cukup mengejutkan. Namun, yang tak kalah mengejutkannya lagi—yang menjadi diskusi di banyak forum-forum akademis kini—adalah adanya fakta baru yang semakin memperkuat tentang keterlibatan kaum muda (milenial) dalam aksi-aksi terorisme. Fakta ini dikhawatirkan oleh banyak pihak, pasalnya, selain karena kaum muda (milenial) adalah anak bangsa yang akan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa di masa depan, asalan lainnya adalah karena dalam beberapa kurun waktu 10 tahun terakhir penyebaran dan pelibatan kaum muda dalam aksi-aksi terorisme terbilang cukup masif.

Pada 2019, pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott, Jakarta, Juli 2009, yakni Dani Dwi Permana, masih berusia 18 tahun. Teroris yang menyerang pos lalu lintas Cikokol, Tanggerang, Sultan Azianzah, berusia 22 tahun. Pada 2019, Rabbial Muslimin, anak muda berusia 18 tahun , dilaporkan menerobos masuk Mapolrestabes Medan dan melakukan akasi bom bunuh diri (Bagong Suyantu, Kompas, 5 April 2021). Fakta tersebut sejalan dengan temuan BNPT (2020) yang menyebutkan bahwa 80 persen anak muda rentan terpapar radikalisme karena kurang berpikir kritis.

Metode perekrutan atau pelibatan kaum muda ke dalam dunia terorisme dan radikalisme itu dilakukan dengan banyak cara. Di era digital seperti saat ini, seperti dikatakan Bagong Sunyanto, metode yang dipakai untuk melakukan perekrutan generasi muda adalah dengan cara memanfaatkan teknologi informasi yang beberapa tahun terakhir mencapai puncak kejayaannya. Apa yang dikatakan Bagong ini, sangat relevan dengan apa yang diunkapkan oleh Menag Yaqut. Menurut Menag Yaqut, dalam konteks kekinian, ruang yang paling berpengaruh bagi proses radikalisasi (penanaman ideologi radikal kepada masyarakat) adalah media sosial.

Grenberg (2016) juga mengonfirmasi, kelompok teroris seringkali menggunakan media sosial yang sedang digandrungi masyarakat luas untuk menebar ideologinya. Sasaran yang sering terjadi oleh kelompok teroris di internet adalah anak-anak muda yang aktif menghabiskan waktu luang di media sosial. Demikian juga Martin Rudner (2017) memakai istilah “electronic jihad” ketika menganalisis cara Al Qaeda menggunakan internet sebagai salah satu instrumen untuk menggaet simpati dan dukungan anak-anak muda yang terbiasa menghabiskan waktu berselancar di dunia maya (dalam Teroris Melenial, Bagong Sunyanto, Kompas 5 April 2021).

Urgensi Dakwah Moderasi Beragama di Media Sosial

Dari ulasan di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa, merebaknya radikalisme dan terorisme yang menjangkiti anak muda, itu semua tidak bisa dilepaskan dari menjamurnya penggunaan media sosial di kalangan anak muda itu sendiri. Oleh karena itu, di sinilah kemudian dakwah moderasi beragama di media sosial menemukan momentumnya. Artinya, dalam hal ini, dakwah-dakwah keagamaan yang turut serta mewarnai media sosial kita, juga harus mampu menghadirkan narasi perlawanan terhadap narasi-narasi radikal yang kampenyekan oleh kelompok teroris, serta juga mampu menanamkan sikap moderasi beragama di kalangan anak muda guna mencegah kaum milenial ikut serta menjadi simpatisan teroris dan dan gerakan-gerakan radikalisme.

Facebook Comments