Telah lumrah dalam kebudayaan Jawa terdapat banyak “koan”atau kata-kata yang memang tak menuntut sebuah pembuktian inderawi maupun penalaran sebagai sebuah cara untuk memahaminya. Taruhlah dalam sesanti yang ditinggalkan oleh RMP. Sosrokartono, “Guru muride pribadi, Murid gurune pribadi.” Ataupun dalam ungkapan yang senafas, “Bapake anake, Anake bapake.” Maka dari itu, pengetahuan dalam kebudayaan Jawa adalah lebih bersifat eksperiental dari pada eksperimental dan kognitif. Bahkan dalam Serat Wedhatama, saking eksperientalnya, seseorang mesti mengalah terhadap orang yang mengandalkan bentuk pengetahuan yang eksperimental ataupun kognitif.
Si pengung nora nglegewa
Sangsayarda denira cacariwis
Ngandhar-andhar angendhukur
Kandhane nora kaprah
Saya elok alanka longkanipun
Si wasis waskitha ngalah
Ngalingi marang si pinging
Si goblok yang tak sadar
Semakin berkobar dalam berkoar
Sungguh liar kesasar
Segala ujarnya ambyar
Semakin menonjol ketololannya
Si pintar yang waspada mengalah
Menutupi kegoblokannya si goblok
Eksperientalisme memang seolah menjadi karakteristik utama dalam kebudayaan Jawa. Orang memang tak dapat bardebat dalam hal ini. Tak tersebab alasan bahwa perdebatan itu adalah sesuatu yang buruk, namun hal ini terkait erat dengan sesuatu yang memang belum dialami. Jadi, sepintar-pintarnya orang akan tetap saja tampak goblok ketika ia belum pernah mengalami.
Orang boleh mengatakan bahwa anak itu akan meniru atau berguru pada orangtuanya. Namun, dalam kebudayaan Jawa, ternyata orangtua itu belajar pula pada anaknya. Terlebih ketika piranti epistemologis tertinggi dalam kebudayaan Jawa adalah rasa, dimana ukuran segala sesuatu ditentukan olehnya.
Rasa dalam kebudayaan Jawa dapat diumpamakan sebagai anak. Jadi, ketika orang mendidik anaknya pada dasarnya ia sedang mendidik rasa-nya sendiri. Tak salah ketika orang Jawa menyebut anak mereka sebagai “wohing ati” atau buah hati yang memang merupakan manifestasi dari rasa-nya sendiri.
Mengatakan bahwa anak adalah perwujudan dari rasa (orangtua)-nya sendiri, sama pula mengatakan bahwa kondisi anak yang entah bagaimana pun ternyata adalah kenyataan dari rasa (orangtua) yang, karena sudah dewasa dan sadar akan segala batasan, terpaksa direpresi.
Dalam kebudayaan Jawa setidaknya terdapat empat jenjang rasaatau evolusi rasa yang secara tak kasat mata masih dilalui oleh setiap orang (Radikalisme dan Ukuran Kaping IV, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org/author/heru-harjo-hutomo). Karena itulah, ungkapan bahwa orangtua juga belajar pada anak mereka sama pula dengan ungkapan bahwa kenyataannya orang tengah momong atau ngemong rasa-nya sendiri. Bukankah hanya bentuk relasi antara orangtua dan anak yang dapat melampaui perhitungan kalkulatif?
Dengan demikian, pada dasarnya mengupayakan terciptanya toleransi dan inklusivitas yang sejati, atau tumbuh secara alamiah dan tanpa paksaan, adalah sama halnya dengan mendidik anak sendiri sedini mungkin yang merupakan cerminan dari rasa kita. Jadi, ketika anak itu kelak tumbuh menjadi orang intoleran ataupun orang radikal seumpamanya, bisa jadi rasa kita sebagai orangtua memang belum manggon atau beriak. Sebab, tak mungkin rasa kita benar-benar dewasa ketika membiarkan sang anak, misalnya, menghina dan menghakimi temannya yang berbeda keyakinan sebagai kafir. Bukankah dengan menghina dan menghakimi orang lainnya yang berbeda keyakinan kita sadar bahwa penghinaan dan penghakiman itu akan dapat berbalik, yang otomatis akan juga memperkeruh atau membuat tak enak rasa kita sendiri?
Maka, saya kira, kunci dalam menyikapi perbedaan bukanlah terletak pada pembuktian inderawi maupun pertimbangan nalar, tapi kunci itu adalah terletak pada rasa. Bukankah toleransi kerap disebut pula sebagai “tenggang-rasa” dimana dalam kebudayaan Jawa disebut sebagai “tepa sarira” yang secara harfiah bermakna mengenal diri (sendiri)?