Menyoal Tudingan Presiden Jokowi Firaun

Menyoal Tudingan Presiden Jokowi Firaun

- in Faktual
464
0
Menyoal Tudingan Presiden Jokowi Firaun

Beberapa hari ini linimasa media sosial diwarnai viralnya video pernyataan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun yg menyebut Jokowi sebagai Firaun. Sontak, pernyataan Cak Nun yang dikenal sebagai budayawan dan tokoh agama itu pun menuai reaksi publik.

Tudingan Jokowi sebagai Firaun tentu bukan hal sepele. Dalam tradisi Islam, Firaun identik sebagai penguasa yang zalim, menindas, bahkan memperbudak rakyatnya. Tidak hanya itu, Firaun juga dikenal sebagai sosok yang arogan dan sombong. Saking sombongnya, Firaun sampai mendaku diri sebagai Tuhan.

Lantas, apakah pernyataan Cak Nun yang menyebut Jokowi sebagai Firaun itu sudah tepat. Mari kita uraikan dengan rasional satu per satu.

Pertama, Firaun jelas merupakan raja di era Mesir kuno yang mewarisi kekuasaan secara turun-temurun. Sedangkan Presiden Jokowi merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat melalui proses Pemilu yang demokratis.

Kedua, di dalam Alquran Firaun digambarkan sebagai sosok zalim dan menindas. Ia juga sosok yang keji. Bahkan, ia sempat memerintahkan membunuh semua bayi laki-laki yang baru saja dilahirkan pasca bermimpi kekuasaannya akan direbut.

Sementara Presiden Jokowi sampai saat ini masih setia pada konstitusi dan hukum. Ia menjalankan fungsinya sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara dengan tetap mengedepankan demokrasi.

Ketiga, Firaun sebagaimana diceritakan oleh Alquran adalah sosok yang menolak dakwah Nabi Musa lantaran menganggap dirinya Tuhan. Ia menjalankan kekuasaan dengan tangan besi lantaran meyakini dialah pemilik dunia ini.

Sedangkan Presiden Jokowi sama sekali tidak pernah menunjukkan kecenderungan otoriter. Apalagi sampai mengaku sebagai Tuhan.

Dari rekam jejaknya, Cak Nun memang kerap vokal pada kebijakan pemerintahan Jokowi. Hal itu tentu wajar dalam sistem demokrasi. Namun, kali ini tampaknya pernyataan Cak Nun itu cenderung offside alias melampaui batas. Ia tidak sedang mengkritik presiden. Namun, lebih ke arah mengumbar cacian dan kebencian.

Tahun Politik dan Pentingnya Menjaga Stabilitas Sosial

Sebagai budawayan dan tokoh agama yang dikenal kharismatik, Cak Nun idealnya bisa menempatkan diri sebagai sosok independen. Apalagi di tahun politik yang panas ini. Cak Nun hendaknya bisa menjadi semacam oase yang menjekukkan, alih-alih api yang membikin gerah.

Jika ditinjau dari leksikon sosiologi, tokoh agama, budayawan, dan seniman seperti Cak Nun itu pada dasarnya ialah cultural broker alias pialang budaya. Ia berperan menjembatani antara pemerintah dan masyarakat. Jika ada program pemerintah yang belum dipakai oleh masyarakat, maka tugas cultural broker adalah menjelaskannya.

Sebaliknya, jika ada inspirasi umat terhadap pemimpin atau pemerintah yang belum terwujud, maka fungsi cultural broker adalah menyuarakannya. Peran ganda itulah yang idealnya dimainkan oleh Cak Nun di tengah tahun politik yang panas ini. Bukan justru mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyerang salah satu pihak.

Pelajaran penting bagi rakyat atau umat Islam di tahun politik ini ialah agar kita tidak mudah terprovokasi dan dibenturkan satu sama lain. Memasuki tahun politik yang panas, narasi adu domba akan sering mengemuka.

Serangan-serangan verbal terhadap elite politik juga akan kian santer mewarnai ruang publik kita. Disinilah pentingnya masyarakat menjaga akal sehat dan kewarasannya. Terutama dalam menyikapi opini di media sosial.

Tidak kalah penting dari itu ialah mari kita berkontestasi politik secara etis dan menjunjung moralitas. Dukung-mendukung kekuatan politik adalah hal biasa dalam demokrasi. Namun, jangan sampai hasrat kita mendukung elite tertentu membuat kita tega melecehkan nurani dengan mengumbar kebencian pada individu atau kelompok tertentu.

Facebook Comments