Mencermati dinamika politik dunia Islam adalah hal yang menarik. Bagaimana tidak? Awalnya, dunia Islam menganut sistem kekhalifahan yang bernuansa teokrasi. Setelah kekhalifahan itu berakhir (ditandai dengan runtuhnya khilafah Usmaniyyah di Turki), mayoritas dunia Islam dikuasai oleh kolonialis Barat.
Unik dan menariknya, pasca lepas dari kolonilaisme dan menjadi negara merdeka sebagian besar negara muslim justru memilih menjadi nation state alias negara bangsa, alih-alih negara agama. Ada setidaknya empat faktor mengapa sebagian besar negara muslim justru memilih konsep nation state ketimbang negara agama.
Pertama, adanya trauma umat Islam atas penerapan sistem khilafah yang dirasa terlalu elitis dan tidak menjamin adanya kesetaraan hak antarmanusia. Kedua, kolonialisme Barat membuat dunia Islam belajar bahwa nasionalisme, demokrasi, dan tata pemerintahan modern itu jauh lebih efektif ketimbang sistem khilafah-teokratis.
Ketiga, perkembangan dunia Islam pasca runtuhnya kekhalifahan menunjukkan arah yang condong pada modernisme ketimbang kembali pada masa lalu (khilafah). Munculnya para pemikir modern menyumbang andil pada diseminasi wacana nation state dan demokrasi di dunia Islam. Terakhir, harus diakui bahwa institusi khilafah memang sudah rapuh. Tidak lagi tersisa kekuatan untuk bangkit pasca dunia Islam lepas dari kolonialisme. Alhasil, mayoritas negara muslim yang baru saja merdeka lantas mengadaptasi nasionalisme ala Barat sebagai fondasi pembentukan negaranya.
Lantas, bagaimana sebenarnya wacana nation state atau negara bangsa ini diperbincangkan dalam Al Qur’an? Untuk itu kita perlu melihat sejumlah ayat yang secara eksplisit maupun implisit membahas tentang nation state. Ada setidaknya dua ayat dalam Al Qur’an yang bisa dijadikan rujukan untuk membahas wacana nation state.
Melacak Wacana Nation State dalam Alquran
Pertama, al Qur’an Surat An Nisa ayat 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Bisa dilihat bahwa pada ayat pertama, Al Quran sama sekali tidak menyebut kata daulah apalagi daulah islamiyyah. Ayat pertama hanya berbicara tentang ketaatan terhadap pemimpin atau pemerintahan (ulil amri). Ulil amri sebagaimana dijelaskan oleh para ahli fiqih siyasah adalah pemerintah atau pemimpin yang diangkat dan diakui oleh sebagian besar umat (rakyat).
Bagi para ahli fiqih siyasah klasik maupun modern, makna ulil amri ini tidak melulu merujuk pada khalifah yang diangkat secara turun-temurun. Melainkan juga pemimpin atau pemerintah yang dipilih dengan cara demokratis.
Kedua, Al Quran Surat Ali Imron ayat 159 yang artinya “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Ayat kedua ini menyiratkan pesan tentang pentingnya musyawarah dalam urusan duniawi seperti ekonomi, politik, dan sejenisnya. Musyawarah jika dikontekstualisasikan dengan era modern sejalan dengan prinsip demokrasi yang dianut oleh negara-negara berpaham nation state.
Konsep musyawarah dalam negara demokrasi modern tentu lebih kompleks. Musyawarah tidak lantas diartikan dua atau tiga orang berkumpul untuk membahas urusan negara atau politik. Di sistem demokrasi modern, konsep politik keterwakilan yang dijalankan melalui proses Pemilu yang demokratis juga bisa disebut sebagai manifestasi dari syura alias musyawarah.
Jika kita melihat uraian di atas, adaptasi nation state sebagai sistem politik dan bernegara di dunia Islam sebenarnya bukan hal yang menyalahi ajaran Islam. Dengan kata lain, relasi agama dan negara dalam bingkai Islam itu tidak bersifat konfliktual alias berseberangan. Agama dan negara dalam ajaran Islam adalah dua entitas yang saling membutuhkan dan melengkapi.
Cara pandang mutualistik itulah yang diyakini oleh para pendiri bangsa ketika merumuskan negara Republik Indonesia ini. Mereka tidak mengarahkan Indonesia menjadi negara Islam, namun juga tidak lantas menjadikan Indonesia sekuler. Disahkannya Pancasila adalah konsensus bangsa yang menandai rekonsilasi dan negosiasi hubungan agama dan negara. Cara pandang mutualistikd inilah yang harus dipertahankan oleh para generasi penerus bangsa saat ini. Apalagi di tengah maraknya narasi untuk membenturkan agama dan negara seperti mencuat belakangan ini.