Belakangan ini makin sering orang melontarkan kabar yang belum tentu kebenarannya terutama melalui media sosial. Parahnya makin banyak pula orang yang termakan dengan isu murahan apalagi menyangkut isu pembelaan identitas. Tanpa dasar informasi yang cukup, tanpa referensi yang jelas dan tanpa konfirmasi sumber yang valid semua dilahap menjadi pra sangka yang dianggap sebuah kebenaran.
Salah satu isu yang mudah dilahap adalah kabar yang bernuansa sentiment keagamaan. Kabar pembakaran Vihara di Balai Tanjung, misalnya, sontak menjadi menu favorit perbincangan di media sosial. Satu informasi dilempar tanpa sumber yang jelas, beribu postingan disebarkan tanpa konfirmasi dan klarifikasi yang memadai. Media sosial pun menjadi ruang pembodohan yang masif dan arena dari proses kristalisasi sentiment keagamaan yang berpotensi merobek persaudaraan kebangsaan.
Itulah pra sangka. Dalam bahasa agama biasa disebut dengan su’u dzan. Dan hari ini media sosial dan dunia maya pada umumnya telah menjadi arena baru aktualisasi perluasaan su’u dzan. Jika dahulu su’u dzan dilakukan di ruang sosial komunitas terbatas, saat ini su’u dzan begitu liar bergerak dan memiliki dampak luas. Su’u dzan disebarkan dengan didasari oleh perasaan kebencian dan diterima dengan didasari kekurangan informasi.
Dibandingkan pemberitaan yang resmi dari media mainstream, proses pra sangka yang kerap muncul di media sosial, hari ini, justru mendapatkan atensi utama. Pra sangka di media sosial malah menjadi dasar pengetahuan yang mempengaruhi pola pikir dan cara pandang kita melihat peristiwa. Peristiwa yang sejatinya sangat kasuistik dan lokal diterjemahkan dalam narasi yang general menjadi ancaman, kebencian, dan hasutan kepada masyarakat secara umum.
Secara sederhana, inilah yang dinamakan narasi, sebentuk cerita aktual, berita faktual dan nyata yang secara sengaja dipilih dan diulang-ulang untuk membentuk sebuah persepsi tertentu sesuai kepentingan si pelontar isu. Sebagai narasi, secara kasat mata, tak jarang pula ditemukan, prasangka di dalamnya yang diolah sedemikian rupa baik dengan bumbu sentimen agama, etnik, ras dan kelompok kepentingan yang diharapkan menjadi cara berpikir konflik dan perspektif “dalam ancaman”. Masyarakat digiring dalam nuansa penuh ketegangan dan dalam kondisi seolah terancam. Pada gilirannya, narasi ini ingin mengajak pada aktualisasi konflik di ruang sosial.
Kondisi ini sangat meresahkan. Soliditas kebangsaan kita sedang diuji oleh sebuah pra sangka yang memilih bentuk rupa dalam narasi sikap saling curiga, menganggap yang lain sebagai ancaman, paranoid, dan menganggap orang lain membahayakan. Karena itulah, pra sangka lebih tepatnya su’u dzon baik di dunia nyata maupun di dunia maya sesungguhnya tidak bermanfaatkan, justru berdampak buruk.
Pra sangka selamanya tetap menjadi pra sangka dan tidak berubah menjadi kebenaran. Islam pun menaruh perhatian terhadap bahaya pra sangka. Dalam al-Qur’an : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Al-Hujuraat: 12). Begitu bahayanya pra sangka sehingga perbuatan ini diilustrasikan sangat dramatis bahkan menjijikkan seakan memakan daging suadaranya yang mati.
Dalam kehidupan nyata, prasangka hanya melahirkan orang yang selalu berpikir pesimis dan menjauhkan pemiliknya dari kesuksesan. Orang yang selalu penuh pra sangka tidak pernah merasa bangkit karena selalu diselimuti perasaan was-was dan curiga, dan selalu merasa dalam ancaman. Bagaimana seharusnya menyikapi banyak su’u dzon khususnya yang berkeliaran di dunia maya tentang suatu peristiwa?
Pertama, selalu berpikir positif.
Ada mutiara hikmah yang sangat menyejukkan yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah tatkala ia mengomentari sebuah perkataan yang diucapkan oleh orang yang berbeda pendapat dengannya. Ia berkata : “ungkapan ini masih bersifat jeneral (umum). Orang yang lurus niatnya akan memahami dan membawanya ke arah yang positif, sedang yang lain bisa jadi memahaminya dengan cara yang keliru.” Ingat orang dengan niat dan corak berpikir positif selalu membawa kabar, berita, informasi ke arah positif. Sementara yang selalu menanamkan kecurigaan dan pra sangka akan tergiring pada kekeliruan. Berpikir positif itu sangat penting!
Kedua, cek sumber informasi.
Ada pesan yang sangat bermafaat yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim “sebuah kata kadang memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, jika disebutkan oleh dua orang yang berbeda pula. Salah seorang meniatkan kebaikan, sementara yang lain menginginkan keburukan. Dalam menjelaskan status hukum kata tersebut, maka pendekatan track record sumber dan biografi orang yang menyebutkannya perlu dilakukan. Ingat jangan menelan begitu saja tetapi lihat sumber beritanya. Peristiwa yang sama tetapi di bibir orang yang kredibilitasnya diragukan akan berbeda hasil informasinya. Karena itulah, jangan pernah malas untuk menelusuri sumbernya.
Ketiga, kedepankan semangat persaudaraan.
Dengan beragam isu di dunia maya dengan narasi yang menghasut dan menyerang pihak dan kelompok lain, benteng utama sejatinya adalah menganggap yang lain sebagai saudara. Semangat persaudaraan berbangsa harus dikedepankan untuk menghindari pengaruh pra sangka. Hal ini senada dengan Sabda Rasul : “Hindarilah oleh kalian prasangka buruk, sebab ia termasuk kedustaan besar, janganlah kalian saling menyindir, saling mencari-cari kesalahan, saling memendam rasa dendam, saling berselisih, dan saling bertengkar, namun jadilah kalian orang-orang yang bersaudara.”