Istilah islamisme berkaitan dengan konsep dan gerakan yang mendambakan kebangkitan kembali kejayaan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, terutama dalam bidang politik (Berman, 2003). Sebagai sebuah konsep atau gagasan tentu saja islamisme bukan Islam itu sendiri melainkan lahir dari ijtihad yang mengimajinasikan pemerintahan ilahi. Karena itulah Bassam Tibi mengatakan konsep dan gerakan ini tidak berkaitan dengan iman pokok Islam, tetapi lebih pada politik yang diislamisasi.
Islamisme merupakan gerakan yang melakukan politisasi agama untuk memperjuangkan tatanan politik yang dipercaya sebagai ajaran Islam. Ideologisasi Islam menjadi ciri khas islamisme dengan mengimpikan hukum negara harus sesuai dengan syariat Islam dalam tafsir mereka (Shepard, 1996).
Dalam wujud gerakannya islamisme mempunyai bentuk dan strategi yang berbeda-beda. Meskipun sama-sama mempunyai satu tujuan politik, tetapi praktiknya mereka sangat variatif sesuai produk pemikiran dan ijtihad pendirinya. Beberapa mujtahid islamisme misalnya, Hassan Al-Banna, Taqiyuddin An-Nabhani, Sayyid Quth, Al-Maududi dan lainnya. Mereka mempunyai konsep berbeda dan turunan organisasi yang berbeda yang sudah menyebar ke berbagai negara yang selanjutnya sering disebut dengan ideologi trans-nasional.
Bagaimana di Indonesia? Pengalaman islamisme di Indonesia bukan hal baru. Islamisme tumbuh sejak awal berdirinya bangsa ini dengan lahirnya gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang mempunyai visi dan tujuan politik yang sama dengan gerakan islamisme di berbagai negara. Pecahan organisasi ini cukup beragam sebelum akhirnya bertemu dengan ideologi dan gerakan trans-nasional.
Selain gerakan dari dalam negeri, islamisme yang diimpor dari negara lain juga mulai tumbuh di Indonesia. Bentuknya memang sangat beragam ada yang menjelma menjadi partai politik, menjelma gerakan dakwah, menjelma menjadi ormas dan tentu ada gerakan militan kekerasan yang sering menebar teror di Indonesia.
Islamisme dan Rezim Politik : Perkawinan dan Perlawanan
Geliat Islamisme di Indonesia sangat tergantung pada kebijakan rezim yang berkuasa. Perlakuan rezim menentukan terhadap ruang, peluang, dan tantangan gerakan ini. Pada masa Orde Lama gerakan NII menjadi musuh negara yang tidak diberikan ruang karena dampak gerakan kekerasannya di berbagai negara serta ideologinya yang mengganggu kedaulatan ideologi negara.
Begitu pula pada masa Orde Baru, gerakan Islamisme diminimalisir dan dijinakkan baik dengan pendekatan regulasi dan represi. Geliat gerakan ini tidak kelihatan, tetapi banyak memainkan operasi di bawah tanah. Bukan tidak ada, tetapi mereka sejatinya sedang melakukan hibernasi gerakan dan konsolidasi di tingkat akar rumput.
Menjelang berakhirnya Orde Baru ada sedikit angin segar dengan kebijakan negara mengakomodasi kelompok Islam, walaupun tetap tidak permisif terhadap gerakan Islamisme garis keras. Puncaknya, era reformasi membuka kran kebebasan yang seluas-luasnya bagi gerakan apapun, termasuk gerakan Islamisme untuk tampil di permukaan sebagai bagian dari hak kebebasan di alam demokrasi.
Atas nama demokrasi, gerakan bawah tanah bermunculan dari yang bentuk politik-ideologis hingga gerakan ekstrem. Bukan hal tabu, jika gerakan ini di ruang publik menggelorakan ideologi yang bertentangan dengan falsafah negara. Gerakan trans-nasional dari berbagai variannya masuk ke Indonesia beradu strategi dan ruang publik merebut simpati umat.
Dalam perkembangan baru ini, Ricklefs (2012) mencatat bukan lagi rezim politik yang mendorong perubahan dalam budaya dan agama, tetapi dinamika keagamaan yang membentuk kebijakan rezim. Penguasa pasca reformasi juga dianggap membutuhkan islamisme sebagai bagian dari kepentingan politik. Bukan hal tabu jika gerakan Islamisme seperti HTI pada masanya mendapatkan karpet merah untuk menggaungkan Khilafah di stadion kebanggaan Republik ini dengan disiarkan televisi nasional.
Kepentingan kekuasaan dan ideologi Islam pada satu sisi bertemu dalam kepentingan yang sama. Geliat Islamisme tumbuh subur pasca reformasi dengan beragam afiliasi, strategi, dan metode gerakan. Pemerintah kurang peduli terhadap ideologi yang mereka miliki, tetapi atas nama kebebasan dan kepentingan politik mereka tumbuh, dimanfaatkan dan bahkan “dipelihara” dalam konteks kepentingan politik tertentu.
Gerakan ini dengan kaderisasi dari level lembaga pendidikan hingga pemerintahan begitu menjamur. Ideologi yang mereka miliki yang jelas bertentangan dengan ideologi negara tidak dihiraukan negara dan masyarakat. Hampir lebih satu dekade pasca reformasi islamisme ini mendapatkan ruang nyaman.
Bulan madu islamisme dan kepentingan politik elite terasa mulai dipersempit. Puncaknya pemerintah Joko Widodo (Jokowi) memberikan alarm dan tindakan tegas terhadap gerakan ini yang dianggap memiliki ideologi yang bertentangan dengan falsafah negara. Tentu, ketegasan negara ini membuat mereka terperosok secara organisasi, tetapi secara nyata kaderisasi yang satu dekade dilakukan tidak berhenti begitu saja.
Pemerintahan Jokowi seakan melakukan bersih-bersih dari level bawah hingga kader islamisme yang sudah “kadung” di pemerintahan. Tentu itu bukan kebijakan populer di tengah meningkat sentimen politik identitas dan populisme Islam yang kuat. Narasi pemerintah anti islam, rezim dzalim dan islamofobia adalah bagian resiko yang harus ditanggung dalam membersihkan islamisme yang dianggap akan menjadi penyakit kronis bagi ideologi negara.
Masa Depan Islamisme : Menunggu Momentum 2024?
Tesis awal mengatakan bahwa gerakan islamisme di Indonesia sangat tergantung pada kebijakan rezim. Ketika berhadapan dengan rezim yang permisif akan berbeda dengan rezim yang represif. Kebijakan itu akan berpengaruh terhadap eksistensi gerakan islamisme, namun sejatinya tidak menghilangkan gerakan ini. Pada masa Orde Lama yang represif gerakan ini tidak hilang, begitu juga pada masa Orde Baru gerakan ini tidak sirna, tetapi sedang melakukan hibernasi, konsolidasi dan kaderisasi.
Pada kebijakan yang tidak memihak, islamisme akan cenderung “berpuasa gerakan” di level publik, tetapi memilih gerakan senyap dengan konsolidasi dan kaderisasi. Pada saatnya nanti ketika muncul rezim yang permisif atau akomodatif terhadap gerakan ini mereka sudah mempunyai modal dan kader yang handal. Pada pemerintahan saat ini gerakan ini hanya dibubarkan secara organisatoris, tetapi masih nyaman pada level kaderisasi dan ideologisasi. Mirip pada masa Orde Baru, gerakan ini sedang tiarap menunggu momentum.
Apa momentumnya? Pemerintah Jokowi yang tidak permisif dan tegas terhadap gerakan ini akan berakhir pada tahun 2024. Ibarat pegas yang ditekan, pantulannya akan kembali tinggi ketika tekanan itu hilang. Seperti tekanan politik pada Masa Orde Baru yang memunculkan luapan gerakan islamisme pasca reformasi. Bukan tidak mungkin pantulan gerakan ini akan muncul meluap pasca pemerintahan Jokowi jika bertemu dengan rezim yang permisif terhadap gerakan yang bertentangan dengan ideologi negara.
Metode simbiosis mutualistik politik mungkin akan berjalan. Kepentingan elite politik bisa jadi akan memanfaatkan gerakan ini yang kecewa terhadap pemerintahan saat ini. Bukan tidak mungkin islamisme akan memihak pada tokoh tertentu yang dinilai akan memberikan angin segar bagi gerakan mereka di masa mendatang. Tentu pertaruhan 2024 adalah ruang islamisme untuk bernegoisasi.
Atas kepentingan semuanya, tentu politik kenegaraan dan kebangsaan tidak boleh digadaikan dengan politik kekuasaan semata. Politik sesaat tidak boleh dimenangkan atas kepentingan negara dan kedaulatan bangsa ini. Persatuan harus tetap diprioritaskan di atas kepentingan kontestasi. Pada akhirnya, tentu akan berpulang pada kenegarawanan elite politik dan kedewasaan politik masyarakat.