“Tepo Seliro”: Basis Kultural Membendung Arus Ideologi Transnasional

“Tepo Seliro”: Basis Kultural Membendung Arus Ideologi Transnasional

- in Narasi
418
0
“Tepo Seliro”: Basis Kultural Membendung Arus Ideologi Transnasional

Istilah tepo seliro memang berasal dari sosiologi masyarakat Jawa. Namun demikian, spirit tepo seliro sebenarnya tidak hanya dimonopoli oleh orang Jawa. Spirit tepo seliro dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia. Secara harfiah, tepo seliro dimaknai sebagai sikap tenggang rasa. Yakni sikap toleran pada perbedaan identitas dan pandangan yang ada di masyarakat.

Sedangkan secara maknawiyah, tepo seliro ialah paradigma berpikir individu atau masyarakat yang berorientasi pada terciptanya tata kehidupan sosial, politik dan keagamaan yang harmonis, rukun dan damai. Caranya ialah dengan menumbuhkan sikap empati dan simpati, yakni berusaha merasakan penderitaan orang lain.

Secara sosiologis, tepo seliro ialah sebuah deklarasi pengakuan bahwa semua manusia pada dasarnya sama dan sejajar. Sedangkan secara psikologis, tepo seliro ialah sebuah perasaan saling memiliki antarindividu dalam masyarakat yang memungkinkan terjalinnya ikatan emosional antarindividu atau antarmasyarakat dalam sebuah bangsa atawa negara.

Tepo seliro, dengan demikian merupakan basis kultural yang potensial dijadikan tameng menangkal arus ideologi transnasional. Seperti kita tahu, penyebaran ideologi transnasional lebih banyak beroperasi di wilayah psikologis individu dan sosiologis masyarakat. Di ranah psikologis, paham transnasional berusaha mendekonstruksi watak dasar manusia Indonesia yang egaliter, humanis, toleran dan pluralis menjadi manusia yang arogan, asosial dan anarkistis.

Dekonstruksi Watak

Paham radikal transnasional mendorong manusia menjadi pribadi yang soliter (tidak terhubung dengan realitas sosial), arogan (mau menang sendiri) dan anarkistis (tidak patuh pada pemerintahan yang sah). Ketika individu terpapar ideologi radikal transnasional, ada kemungkinan ia akan menjadi destruktif. Pola dekonstruksi watak ini terjadi di alam bawah sadar dan terjadi melalui proses yang tidak instan. Tujuannya ialah mencerabut individu dari akar sejarah dan identitas aslinya.

Sedangkan di ranah sosiologis, paham radikal transnasional berusaha memecah-belah masyarakat dengan narasi provokatif, berita palsu dan ujaran kebencian. Upaya memecah-belah masyarakat melalui isu-isu sosial, politik dan agama merupakan bagian dari skenario besar menggembosi tatanan masyarakat dan negara.

Langkah awal yang biasa mereka lakukan ialah mengadu-domba sesama umat islam dengan membesar-besarkan perbedaan ritual keagamaan. Selanjutnya mereka akan mengadu-domba antarsesama warganegara dengan membonceng isu ekonomi, hukum, politik, sosial dan agama yang tengah menjadi kontroversi publik. Terakhir, mereka akan melemahkan kepercayaan publik pada pemerintah dan mengadu-domba keduanya sehingga terjadi kekacauan sosial (social chaos).

Strategi itu sudah banyak dilakukan oleh gerakan radikal-transnasional di sejumlah negara. Misalnya di Suriah. Kelompok radikal-transnasional mengadu-domba muslim sunni dan muslim syi’ah agar bertikai. Selanjutnya, mereka memfitnah pemerintah bertindak zalim pada rakyatnya. Puncaknya, mereka mengemas perang dan kekerasan seolah-olah sebagai sebuah perjuangan suci membela Islam. Padahal, apa yang terjadi tidak lebih dari sebuah drama perebutan kekuasaan politik.

Filosofi Tepo Seliro

Upaya men-Suriah-kan Indonesia itu juga tampak beberapa tahun ini. Para pengusung ideologi radikal-transnasional gencar mengadu-domba masyarakat dan mendelegitimasi otoritas pemerintah. Tujuannya ialah mengimpor konflik yang terjadi di banyak negara muslim ke Indonesia. Kita tentu tidak ingin itu terjadi. Negara ini terlalu berharga untuk digadaikan kepada pada para pembuat onar bersenjatakan ideologi transnasional.

Untuk itu, kita perlu mengembangkan filosofi tepo seliro sebagai basis kultural menangkal ideologi transnasional. Filosofi tepo seliro ini harus kita ejawantahkan dalam seluruh lini kehidupan publik, mulai dari sosial, politik hingga keagamaan. Di ranah sosial, tepo seliro idealnya mewujud pada sikap masyarakat untuk saling toleran dan inklusif. Paradigma toleransi dan inklusivisme perlu dibangun agar kohesivitas sosial tetap solid. Di tengah masyarakat yang kohesivitas sosialnya terjaga, paham atau gerakan radikal transnasional dipastikan akan kehilangan ruang untuk berkembang.

Di ranah politik, tepo seliro hendaknya diwujudkan dalam perilaku politik yang menjunjung etika dan moral. Tepo seliro dalam berpolitik ialah menjadikan politik sebagai alat perjuangan sosial, bukan semata sebagai alat meraih kekuasaan. Dengan begitu, kita tidak akan mudah terjebak pada praktik politik kotor seperti politik identitas yang memecah belah. Harus diakui, praktik politik identitas yang populer belakangan ini turut menyumbang andil pada tumbuh suburnya paham dan gerakan radikal-transnasional.

Terakhir, dalam konteks keagamaan tepo seliro idealnya mewujud pada pola pikir dan praktik beragama yang moderat dan pluralis. Dalam artian menghormati perbedaan agama dan aliran serta berkomitmen untuk memperlakukan entitas atau kelompok yang berbeda dengan adil dan setara. Tepo seliro dalam beragama merupakan kunci menangkal segala bibit radikalisme di tubuh agama.

Facebook Comments