Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

- in Narasi
12
0
Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan hal inilah diantara oknum kejahatan beragama yang berbahaya. Sudah banyak bukti kasus-kasusnya. Sejarah dan pemberitaan kerap kali mengkonfimasi akan hal tersebut. Manakala ormas radikal bersemayam tentu akan mampu mengikis dan lambat laun mampu meruntuhkan bangunan persatuan.

Kelompok yang terjangkit penyakit tersebut biasanya merasa kelompoknya paling benar, memecah persaudaraan, serta mengkafirkan terhadap kelompok lainnya yang tak sejalan. Lebih parahnya lagi, kesesatan pemahaman beragama tersebut seringkali menjadi pemicu tindakan intoleransi, radikalisme, dan atau terorisme.

Telah banyak dipaparkan mengenai faktor-faktor pemicu dan munculnya intoleransi dan radikalisme yang beberapa diantaranya berasal dari faktor luar. Namun, perlu diketahui bahwa ada beberapa indikasi yang menunjukkan suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang, dalam merespon faktor-faktor radikalisasi yang berasal dari luar individu, sehingga terbentuk individu yang radikal. Doktrin dari ormas berhaluan radikalisme yang mengancam bangunan kebhinekaan.

Para oknum dibalik ormas radikal sebagaimana kita ketahui, menjadikan agama sebagai wadah ideologi ekstrem yakni sistem kepercayaan di mana merasa kelompoknya yang paling benar. Atas dasar itu, mereka membangun sebuah pemahaman yang menganggap diri mereka “benar” dan yang lain “salah”. Mereka yang mendasarkan pemahamannya akan hal tersebut, membentuk identitas diri melalui musuh mereka. Akibatnya, mereka menyebut pihak lain kafir dan sah bagi mereka untuk membunuh selain kelompoknya.

Pada umumnya manusia memiliki sesuatu pengetahuan dalam dirinya yang terbentuk dari lingkungan, sekolah, pengetahuan yang ia pelajari yaitu pre-understanding (pengetahuan dasar). Pengetahuan dasar tersebut mempengaruhi keyakinan seseorang, dan semakin seseorang memasukkan atau melibatkan pikiran (keyakinan-keyakinan) yang sifatnya subjektif kedalam identitasnya (keegoisan). Menurut Eckhart Tolle semakin jauh mereka dari dimensi spiritual yang ada dalam dirinya.

Dalam otak anggota ormas rasdikal terjangkit egoism beragama dan sektarianisme, para pelaku secara tidak sadar mengidentifikasi dengan (benak mereka) di mana mereka menyamakan kebenaran dengan pikiran. Mereka mengaku sebagai pemilik tunggal dari kebenaran dalam suatu usaha yang tidak disadari, untuk melindungi identitas mereka. Dengan dalih melindungi identitas, mereka merasa sah untuk menyakiti orang lain yang mereka anggap musuh mereka.

Dapat dikatakan bahwa para anggota ormas radikal tersebut, mereka sedang terjebak dengan egonya. Mereka lupa akan esensi dari beragama yang salah satunya untuk mempersatukan. Lalu, yang perlu ditanyakan adalah apa tujuan mereka beragama? menjadi hal yang tak mudah ketika tujuan mereka menyamakan paham yang berkembang menjadi paham yang mereka yakini, yaitu atas dasar pemikiran yang mereka anggap benar.

Sebagian sekte, kelompok keyakinan, atau gerakan keagamaan pada dasarnya adalah entitas-entitas kolektif karena mengidentifikasi diri mereka secara kaku dengan posisi mental mereka. Seperti halnya para pengikut ideologi politik yang tertutup bagi penafsiran alternatif atas penafsiran yang ada.

Inilah yang terjadi pada kelompok-kelompok radikal, di mana mereka tehanyut dalam kampanye Islam yang murni, tetapi malah justru mengotorinya. Mereka sibuk mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan mereka.

Tingginya egoisme kolektif dan sektarianisme membuat mereka menolak perbedaan dan beranggapan bahwa hanya kelompok mereka yang paling benar (truth claim). Bahkan, lebih kejinya pembunuhan orang yang bertentangan dengan ajaran mereka. Oknum-oknum seperti ini bahkan menganggap darahnya halal. Kira-kira itulah egoisitas kolektif yang terbangun ketika seseorang atau kelompok melibatkan pikiran (keyakinan-keyakinan) yang sifatnya subjektif kedalam identitasnya.

Perlu adanya pemahaman filosofis dan moderasi beragama yang mendasar mengenai toleransi dan pentingnya kesadaran. Kesadaran akan betapa spiritual-nya seseorang atau kelompok, tidak terkait dengan apa yang mereka yakini ataupun identitas mereka. Bahkan, di salah satu ayat Al-Qur’an, Allah telah berfirman bahwa tiada hak bagi manusia untuk menduga-duga, dan bahwa hanya Allah yang mengetahui siapa yang mendapat hidayah dan siapa yang tersesat. Manusia tidak memiliki hak atas manusia lainnya, dan pula manusia tidak berhak menyalahkan agama, oleh karena agama tidak berdiri sendiri.

Facebook Comments