Mengatasi pandemi di negara majemuk seperti Indonesia tentu tidak mudah. Bagaimana tidak? Selain mengendalikan penyebaran wabah, pemerintah juga dihadapkan pada perbedaan pandangan yang terjadi di masyarakat akibat perbedaan latar belakang agama dan budaya. Seperti kita tahu, masyarakat Indonesia terdiri atas entitas agama, suku dan budaya yang beragam. Perbedaan agama, suku, dan budaya itu nyatanya juga berpengaruh pada perbedaan cara pandang dalam menyikapi pandemi.
Misalnya, di kalangan umat Islam saja masih terjadi perdebatan seputar vaksinasi. Ada sebagian ulama dan kiai yang menganjurkan bahkan mewajibkan vaksinasi sebagai bagian dari ikhtiyar menjaga kehidupan (nyawa). Namun, ada juga sebagian ulama dan kiai yang tegas menolak vaksin dengan beragam alibi. Ada yang masih termakan hoaks konspiratif bahwa vaksin ialah senjata untuk mengendalikan populasi umat Islam. Atau bahkan ada ulama dan kiai menolak vaksinasi lantaran tidak percaya pandemi benar-benar terjadi.
Di saat yang sama, perbedaan budaya juga berpengaruh pada sikap dan respons masyarakat dalam menghadapi pandemi. Misalnya, di komunitas suku Badui Dalam dan Luar, sampai hari ini tidak ada kasus penularan Covid-19. Hal itu terjadi karena mereka memegang teguh ajaran kearifan lokal bahwa ketika ada wabah penyakit, mereka tidak diperbolehkan keluar dari wilayahnya. Ajaran kearifan lokal ini mirip dengan konsep pembatasan sosial yang menjadi strategi dunia melawan pandemi corona. Dan, terbukti kearifan lokal itu efektif membentengi masyarakat Badui dari penularan corona. Sayangnya, nilai kearifan lokal melawan wabah itu tidak dipraktikkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Di banyak wilayah masih ditemui praktik-praktik pelanggaran prokes dan pembangkangan aturan pemerintah.
Sikap abai prokes dan membangkang aturan pemerintah itu seolah kian tervalidasi oleh adanya upaya radikalisasi masyarakat oleh oknum kelompok tertentu. Radikalisasi di masa pandemi tentu tidak hanya merujuk pada praktik kekerasan atau terorisme semata. Lebih dari itu, radikalisasi di masa pandemi juga mencakup upaya memprovokasi publik untuk melawan pemerintahan yang sah dan upaya membenturkan antarsesama anak bangsa melalui narasi-narasi provokatif.
Kemajemukan Sebagai Modal Mengatasi Pandemi
Penyebaran hoaks dan provokasi seputar pandemi dan vaksinasi yang gencar mendominasi ruang publik kita belakangan ini tidak diragukan merupakan bagian dari skenario radikalisasi tersebut. Hoaks tentang pandemi dan vaksinasi misalnya sengaja didesain untuk memprovokasi publik agar abai pada prokes dan membangkang aturan pemerintah. Kaum radikal sengaja berselancar di atas isu pandemi untuk melemahkan kepercayaan masyarakat pada pemerintahnya. Di titik inilah kita perlu merawat kemajemukan di masa pandemi dengan mencegah narasi radikalisasi dan menguatkan toleransi.
Kemajemukan agama, suku, dan budaya kiranya tidak menjadi penghalang bagi upaya penanganan pandemi jika masing-masing entitas mempraktikkan toleransi. Kita boleh berbeda dalam agama, suku dan budaya. Namun dalam soal menghadapi pandemi kita idealnya satu suara dibawah komando negara. Virus ini tidak mengenal perbedaan agama, suku, ras dan budaya. Sebaliknya, corona bisa menginveksi siapa saja. Ketika kita sibuk berdebat dan mengumbar arogansi atas nama superioritas agama, suku, ras dan budaya, virus corona secara masif meluluhlantakkan kehidupan kita.
Maka, kemajemukan bangsa ini idealnya menjadi modal dan kekuatan kita dalam mengatasi pandemi. Dalam konteks ini, setiap entitas agama dan budaya idealnya berkontribusi secara aktif dan langsung dalam penanganan pandemi. Setiap entitas agama dan budaya kiranya bisa menggali ajaran, nilai dan kearifan yang dimilikinya dan memberikan andil nyata dalam penanganan pandemi. Di saat yang sama, jika ada pertentangan antara kebijakan pemerintah dengan ajaran agama atau kearifan lokal tertentu, maka idealnya masyarakat lebih mengedepankan dialog dan komunikasi persuasif.
Meredam arus radikalisasi di satu sisi dan memperkuat aspek toleransi di sisi lain merupakan strategi menjadikan kemajemukan sebagai modal mengatasi pandemi. Pandemi yang berkepanjangan jelas membutuhkan stamina bangsa yang kuat untuk menghadapinya. Tidak hanya stamina secara fisik dan mental, namun juga stamina sosial. Maka, alangkah meruginya bangsa ini jika staminanya terkuras untuk mengurusi debat nir-subtansi yang lebih mengedepankan arogansi. Sudah saatnya kita menyatukan persepsi sekaligus memperkuat toleransi demi mengakhiri pandemi.