Mengembalikan Kohesi Sosial Pasca Pilkada

Mengembalikan Kohesi Sosial Pasca Pilkada

- in Narasi
35
0

Di desa tempat tinggal saya, ada pameo begini “pemilihan lurah/kepala desa itu bisa bikin dua tetangga yang tembok rumahnya nempel, jadi bertengkar. Padahal, lurahnya sudah berganti, tapi bertengkarnya masih langgeng“. Pameo itu berisi sindiran atas fenomena orang yang dekat secara sosial, bahkan keluarga, namun harus bertengkar, bermusuhan, karena beda pilihan politik. Ironisnya, pertengkaran itu berlangsung lama, bahkan ketika kepemimpinan sudah berganti periode, permusuhan itu masih tetap ada.

Pameo itu juga ingin menunjukkan bahwa permusuhan di akar rumput akibat kontestasi politik itu lebih awet dan kompleks sehingga sulit diurai. Beda halnya dengan permusuhan di level elite yang nisbi mudah diakhiri dengan rekonsiliasi. Jalan rekonsilasi di level akar rumput ini cenderung terjal dan berliku. Tersebab, di level akar rumput, politik itu acapkali irasional, dan lebih emosional. Para pendukung cenderung baper alias bawa perasaan dalam dukung-mendukung.

Maka, menjadi wajar jika momentum politik praktis seperti Pilkada selalu mendatangkan kecangungan sosial. Teman yang tadinya akrab, menjauh karena perbedaan politik. Tetangga yang tadinya hangat, menjadi dingin karena beda kubu. Keluarga yang tadinya intim, tiba-tiba renggang, karena beda dukungan.

Dengan kata lain, momentum politik praktis selalu menyisakan residu berupa segregasi sosial dan polarisasi politik. Segregasi sosial bisa dilihat dari relasi antarindividu dan kelompok dalam masyarakat yang kian renggang. Di desa saya misalnya, jamaah yasinan ibu-ibu pun sempat pecah, karena beda dukungan politik dalam Pilkada.

Sedangkan polarisasi politik bisa diidentifikasi dari masih kencangnya arus kebencian dan caci-maki di media sosial antar kubu-kubu politik yang bersaing di Pilkada. Segregasi sosial dan polarisasi politik sebagai residu kontestasi Pilkada tentu tidak boleh disikapi permisif. Segregasi dan polarisasi bisa mengarah ke konflik sosial yang lebih besar. Bisa dikatakan, masyarakat saat ini tengah mengalami semacam stress sosial pasca Pilkada. Yakni kondisi ketika secara psikologis masyarakat belum stabil akibat kontestasi Pilkada yang sengit.

Di tengah kondisi yang demikian, penting kiranya kita mengembalikan kohesi sosial di tengah masyarakat. Kohesi sosial ini urgen untuk mencairkan kecanggungan, bahkan ketegangan sosial, yang muncul akibat kontestasi Pilkada. Namun, mengembalikan kohesi sosial, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan keterlibatan semua elemen masyarakat. Mulai dari elite politik, tokoh agama atau masyarakat, media massa, dan tentunya partisipasi masyarakat itu sendiri.

Para elite politik di masa pasca Pilkada ini seharusnya mengedepankan model komunikasi yang simpatik. Yang menang idealnya tidak menampilkan komunikasi dan bahasa tubuh yang menunjukkan kesombongan. Begitu pula, pihak yang kalah pun idealnya mampu menunjukkan sikap ksatria. Mengakui kekalahan dan menghormati kemenangan lawan tanpa mendelegitimasinya.

Komunikasi dan bahasa tubuh para elite politik, utamanya yang ikut berkontestasi langsung dalam Pilkada sangat berpengaruh dalam meredam gejolak sosial politik di level akar rumput. Sikap atau ucapan elite yang provokatif menyikapi hasil Pilkada, bisa diterjemahkan ke dalam aksi vandalisme dan kekerasan oleh simpatisan di tingkat bawah.

Selanjutnya, di masa pasca Pilkada ini, para tokoh agama dan masyarakat idealnya memanfaatkan otoritas sosial dan kulturalnya untuk menebar pesan damai. Di masyarakat Indonesia yang religius, fatwa pemuka agama itu kerapkali lebih didengar ketimbang seruan pemerintah atau pejabat. Maka, peran para tokoh agama atau masyarakat dalam meredam gejolak konflik Pasca Pilkada dan mengembalikan kohesi sosial ini menjadi sangat urgen.

Tidak kalah pentingnya, media massa juga berperan untuk menutup celah munculnya retakan sosial dan mengembalikan masyarakat ke dalam relasi yang harmonis. Pemberitaan terkait Pilkada di media massa idealnya menghindari narasi-narasi provokatif yang rawan memecah belah bangsa. Demikian juga, media sosial idealnya juga disterilkan dari konten-konten kebencian dan permusuhan. Di era banjir informasi seperti sekarang, apa yang tersaji di media massa dan media sosial berkontribusi pada terbentuknya opini publik, bahkan perilaku masyarakat.

Terkahir, peran aktif masyatakat di akar rumput untuk menetralisasi ketegangan dan kecanggungan sosial juga sangat penting. Kebekuan relasi yang terjadi akibat Pilkada harus segera dicairkan. Dan hanya masyarakat itu sendirilah yang bisa mencairkannya.

Caranya dengan mengaktifkan kembali ruang publik yang mungkin sempat mengalami gangguan selama berjalannya Pilkada. Acara keagamaan, seperti yasinan, tahlilan, pengajian, dan sebagainya yang mungkin sempat diwarnai kecanggungan idealnya segera dinormalisasi kembali. Pilkada sudah usai, kontestasi sudah berakhir, menjadi absurd jika kita masih merawat permusuhan dan perpecahan. Apalagi sesama tetangga, kawan, atau keluarga.

Facebook Comments