Peluang Rekonsiliasi Pasca Pilkada 2024, Belajar dari Kasus India

Peluang Rekonsiliasi Pasca Pilkada 2024, Belajar dari Kasus India

- in Narasi
0
0

Di beberapa negara multikultur, fenomena intoleransi agama yang mengarah pada konflik sering kali menjadi ancaman besar bagi stabilitas sosial. Tensi ini dapat terjadi ketika perbedaan identitas, baik itu berdasarkan agama, etnis, atau ideologi, diserang melalui narasi politis. Tidak main-main. Dampaknya merusak hingga akar rumput.

Sampel yang valid adalah India. Negara dengan populasi terbesar kedua di dunia itu telah lama menyimpan konflik antar kelompok Hindu dan Muslim yang terus terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Bahkan hingga kini.

Pada awal tahun 2022 sebuah kelompok ekstrimis Hindu bahkan menyerukan ancaman genosida kepada umat Islam di India. Saat itu, pihak yang berwenang setempat mampu mengambil tindakan tegas, seorang biksu yang dianggap sebagai provokator ditangkap.

Di India, politik identitas juga menjadi isu besar. Partai-partai politik nyaris selalu menggunakan simbolisme agama dan etnis untuk meraih dukungan, yang pada gilirannya memperburuk polarisasi di kalangan masyarakat.

Secara politis, diskriminasi ini menyimpan benang merah sejarah. Pertikaian misalnya terjadi dalam ranah politik pada tahun 1940’an antara Islam vis a vis Hindu dalam bentuk perseteruan antara Partai Kongres India (INC) dengan British Raj. Konflik itulah yang salah satunya kemudian memicu berpisahnya dua negara; India dan Pakistan.

INC kemudian konsisten dijadikan kendaraan politik oleh politisi India untuk menaikkan pamor kekuasaannya. Misalnya, Perdana Menteri Indira Gandhi yang mengeksploitasi isu agama untuk mengembalikan INC ke puncak kekuasaan India pada periode 1980’an.

Rajiv Gandhi menggunakan pola yang sama dengan menjadikan INC mayoritas Hindu. Bagai api dalam sekam, tensi itu meledak pasca Modi dan BJP berkuasa pada 2014. Setahun setelah BJP berkuasa, masa pendukung Modi membunuh sekitar 49 peternak Muslim karena menjual dan menyembelih sapi yang tak sesuai dengan ajaran Hindutva.

Perhatian internasional muncul ketika Modi meloloskan kebijakan yang terkesan diskriminatif bagi Islam pada 2019 dengan mengesahkan amandemen UU kewarganegaraan yang hanya mempercepat migran bagi non-Muslim dari Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan.

Bibit tensi antar agama sangat terasa di Indonesia, terutama di momen-momen politik. Seperti halnya momen politik di India, Pilkada sering kali menonjolkan garis perbedaan antar calon yang bersaing, baik itu terkait ideologi politik, latar belakang etnis, maupun agama. Hal ini berpotensi memicu polarisasi, bahkan perpecahan di kalangan masyarakat, terutama di akar rumput yang masih rentan terhadap manipulasi isu identitas.

Bedanya, jika konflik di Indonesia nyaris selalu diorkestrasi oleh elit, sedangkan di Indonesia konflik rentan lahir di akar rumput. Salah satunya diprakarsai oleh kelompok-kelompok radikal ekstremis.

Setelah Pilkada 2024, Indonesia berpotensi menghadapi situasi serupa dengan India, di mana polarisasi politik dapat berkembang menjadi perpecahan sosial yang lebih dalam. Bedanya, memang konflik di India diorkestrasi oleh elit kemudian menjalar di bawah. Sedangkan potensi konflik di Indonesia sering kali pecah di akar rumput.

Pemilu dan Pilkada seringkali membuat masyarakat tersegregasi dalam kelompok-kelompok yang cenderung saling bermusuhan. Sentimen SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) sering kali dimanfaatkan oleh politisi untuk menarik simpati kelompok tertentu. Akibatnya, hubungan antarwarga menjadi tegang, bahkan saling mencurigai.

Lihat saja di media sosial, betapa narasi yang saling menjatuhkan satu sama lain banyak tersebar di berbagai platform. Dengan budaya digital masyarakat kita yang cenderung “sumbu pendek”, konflik bisa tersulut secara cepat dan masif.

Ketika sentimen kebencian ini dibiarkan tanpa intervensi yang tepat, maka akan ada potensi perpecahan yang lebih dalam, yang dapat merusak tatanan sosial dan keharmonisan.

Berkaca dari India, Indonesia punya potensi besar untuk rekonsiliasi. Segregasi politik di Indonesia tidak disetir oleh diskriminasi SARA oleh kelompok elit India. Ini yang menjadi poin penting karena residu konflik bisa hilang seiring dengan selesainya momen politik. Bukan seperti India yang residu konfliknya terus dipelihara untuk menegaskan identitas Hindu di sana.

Oleh karena itu, rekonsiliasi pasca Pilkada dapat dimulai dari tingkat dasar, yaitu melalui interaksi antarwarga yang lebih harmonis dan terbuka. Dialog antar kelompok, baik itu berbasis agama, etnis, maupun orientasi politik, harus digalakkan.

Untuk menunjang rekonsiliasi itu, peran tokoh agama dan organisasi masyarakat sipil sangat penting. Tokoh agama yang memiliki pengaruh luas di masyarakat dapat menjadi garda terdepan dalam mengajak umat untuk tidak terjerumus dalam kebencian atau kekerasan. Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya toleransi dan hidup berdampingan meskipun berbeda adalah langkah yang sangat vital. Gerakan-gerakan damai dan rekonsiliasi harus terus digalakkan melalui media sosial, seminar, dan diskusi terbuka yang mendorong kesadaran akan pentingnya persatuan.

Dari sisi elit, pemimpin politik harus menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pemimpin yang terpilih di Pilkada harus bekerja untuk merangkul semua pihak, baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung. Tokoh agama dapat mengakselerasi komunikasi yang inklusif dan sikap terbuka untuk meredakan ketegangan pasca pemilu.

Kunci untuk sukses dalam rekonsiliasi ini terletak pada keterlibatan seluruh elemen masyarakat, dari pemimpin politik, tokoh agama, hingga masyarakat sipil di akar rumput. Hanya dengan kolaborasi ini Indonesia dapat mencegah potensi perpecahan dan memperkuat fondasi persatuan yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia.

Facebook Comments