Mengenali Empat Strategi Kamuflase Neo-HTI dalam Mengelabuhi Aparat dan Umat

Mengenali Empat Strategi Kamuflase Neo-HTI dalam Mengelabuhi Aparat dan Umat

- in Narasi
152
0
Mengenali Empat Strategi Kamuflase Neo-HTI dalam Mengelabuhi Aparat dan Umat

Perang melawan ideologi khilafah tampaknya belum akan usai. Meski dalam setahun terakhir kira berhasil menekan angka terorisme ke titik nol kasus, namun di saat yang sama, propaganda ideologi radikal dan kekerasan masih saja menjadi ancaman serius bagi eksistensi bangsa.

Ketika pemerintah membubarkan dan melarang organisasi Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI pada tahun 2017 lalu, kita cukup optimistik organisasi itu benar-benar musnah. Realitasnya ternyata sebaliknya. Ormas HTI menang tidak lagi eksis. Gedungnya disegel pemerintah, izinnya dicabut, lembaganya dibekukan. Namun, apakah HTI benar-benar mati?

Nyatanya tidak. Justru, HTI bertransformasi ke dalam berbagai strategi gerakan. Antara lain, pertama membentuk organisasi dengan nama baru namun agendanya sama, yakni mendirikan khilafah Islamiyyah. Beberapa organisasi baru yang diketahui merupakan reinkarnasi HTI antara lain;

Lajnah Fa’aliyyah, Komunitas Ro’yatul Islam (Karim), dan sejumlah nama lainnya. Sama halnya dengan HTI yang menyusup ke kampus dan sekolah melalui kegiatan rohis atau lembaga dakwah kampus, sejumlah organisasi itu pun melakukan hal serupa. Mereka menyusup ke lembaga pendidikan, menguasai badan atau institusi keagamaan di dalamnya dan mendoktrin serta merekrut anggota baru.

Seperti biasa mereka melakukannya dengan senyap, tanpa banyak kegaduhan, namun efektif menjaring pengikut. Kelompok-kelompok ini aktif berjaring di lembaga pendidikan, baik sekolah maupun universitas dengan kedok kegiatan keagamaan. Pihak sekolah dan universitas pun kerap kecolongan atas manuver kelompok tersebut.

Kedua, para simpatisan dan anggota HTI menyusup ke sejumlah lembaga pemerintah, ormas keagamaan, dan institusi sipil lainnya. Ini adalah bagian dari strategi jangka panjang HTI untuk menguasai posisi strategis baik dalam pemerintahan maupun swasta. Mereka sengaja menyusup ke lembaga pemerintah maupun swasta dengan tujuan menjadikan institusi tersebut sebagai kendaraan mereka dalam mewujudkan agenda terselubungnya, yakni mendirikan khilafah.

Ketiga, para simpatisan HTI bertransformasi menjadi konten kreator dengan mengusung tema-tema ekonomi dan sosial. Seperti membuat podcast yang mengangkat tema keuangan atau kewirausahaan (entrepreneurship). Namun, di dalamnya diselipkan pesan-pesan yang menjurus pada penegakan negara Islam (khilafah).

Transformasi para simpatisan HTI menjadi content creator di media sosial ini adalah bagian dari strategi propaganda khilafah di dunia maya. Sasaran mereka adalah kelompok milenial dan generasi Z sebagai populasi terbesar netizen di Indonesia. Itulah mengapa sekarang mereka kerap mempropagandakan gaya hidup hijrah, khilafah dan sebagainya dengan pendekatan populer dan digital friendly.

Keempat, para pengasong khilafah kini bertransformasi dari sisi pendekatan. Kini mereka tidak lagi secara frontal mengampanyekan khilafah, karena akan mudah diendus aparat keamanan. Sebagai teknik kamuflase, mereka kerap menyamarkan istilah khilafah dengan istilah lain sebagai “one ummah” atau “wahdatul ummah”. Padahal, secara subtansi istilah itu sama dengan khilafah. Kamuflase ini kerap kali mengecoh aparat maupun masyarakat sipil.

Mengenali pola transformasi dan kamuflase HTI ini penting agar kita tidak terkecoh. Mereka bisa mengatasnamakan ormas apa saja, menyusup kemana saja, dan menggelar acara dimana saja dengan dalih acara keagamaan. Seperti yang terjadi belakangan ini ketika para eksponen HTI menggelar acara bertajuk Metamorfoshow; It’s Time to be One Ummah”.

Acara tersebut sedianya merupakan peringatan Isra Miraj. Namun, nyatanya ijin yang diajukan ke kepolisan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pola yang demikian ini sangat khas gerakan HTI. Mereka mau dan tega melakukan apa saja, termasuk memanipulasi bahkan menipu aparat keamanan. Jangankan menipu, cara kekerasan pun akan mereka halalkan untuk mewujudkan agenda pendirian khilafah.

Acara bertajuk Metamorfoshow barangkali adalah bentuk baru dari propaganda khilafah yang menyasar kalangan milenial akhir dan generasi Z. Acara yang memadukan antara talkshow, pertunjukan musik, dan komedi tunggal itu berhasil menggaet 1200an peserta. Jumlah yang fantastis. Sulit membayangkan bagaimana HTI adaptif pada pertunjukan musik dan komedi, namun itulah yang terjadi.

Arkian, kita harus mengakui bahwa HTI belum mati. Setidaknya ubtuk saat ini. Maka, perjuangan melawan penyebaran ideologi khilafah tidak berhenti pada kebijakan membubarkan HTI. Pasca pembubaran, ada tugas lain yang tidak kalah beratnya. Yakni memastikan ruang publik kita steril dari propaganda khilafah yang berkamuflase ke dalam banyak bentuk.

Ibarat perang, kita harus mengenali startegi musuh. Apa senjata musuh, berapa kekuatan mereka dan bagaimana mereka menyusun strategi. Demikian juga dalam perang ideologi melawan khilafah ini. Kita harus memahami betul startegi DNA manuver pada pengasongnya, karena mereka lihai berkamuflase, memanipulasi, dan menyusup ke mana saja.

Facebook Comments