Mengevaluasi Diri dengan Pancasila, Resolusi Tahun 2025

Mengevaluasi Diri dengan Pancasila, Resolusi Tahun 2025

- in Kebangsaan
0
0
Mengevaluasi Diri dengan Pancasila, Resolusi Tahun 2025

Ada yang menyebutkan bahwa Pancasila bagaikan sebuah piramida yang mana puncak tertingginya adalah sila pertama. Dari sila pertama ini kemudian lahir sila kedua dan seterusnya. Artinya sila sebelumnya merupakan sumber dari sila sesudahnya. Jadi setiap sila tidak bisa terpisah dan berhubungan secara koheren. Oleh sebab itu, Pancasila ini disebut sebagai sistem filsafat dan juga Pancasila merupakan pandangan hidup (weltanschauung). Artinya Pancasila bukanlah hal yang baru.

Islam dan Pancasila sama-sama mengusung moderasi dalam berbagai hal. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, Pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu sangatlah moderat. Karenanya Pancasila maupun Negara Republik Indonesia jangan ditarik ‘ke kanan’ dan ‘ke kiri’, tetapi letakkanlah di posisi tengah agar tetap menjadi rujukan bersama kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mengamalkan Islam dengan benar sama saja dengan mengimplementasikan sila-sila dalam Pancasila. Bertentangan dengan Pancasila, secara tidak langsung bertentangan dengan ajaran seluruh agama. Sebab sila-sila dari Pancasila diambil dari ajaran-ajaran agama yang umum. Semua agama berarti menekankan pentingnya hal-hal yang disebutkan dalam Pancasila. Seandainya Pancasila tidak sesuai dengan ajaran setiap agama yang ada di Indonesia, harusnya Pancasila sudah diprotes oleh berbagai kalangan. Artinya jika, ada yang protes mengenai Pancasila, maka mungkin dia belum memahami betul tentang agamanya sendiri.

Aspek adab dan akhlak di dalam agama secara umum kebanyakan sama. Perbedaan yang signifikan di antara semua agama adalah perihal peribadatan saja. Masalah adab, moral dan yang berhubungan dengan makhluk kesemuanya hampir sama. Secara garis besar agama adalah perilaku beradab terhadap Tuhan dan terhadap makhluk. Oleh sebab itu agama yang sebenarnya adalah moderat.

Jika dilihat kembali, pada Piramida Pancasila dengan puncak adalah sila pertama yang semakin ke bawah semakin lebar, hal itu menunjukkan bahwa sila pertama ruang lingkupnya sempit. Seakan-akan di dalam sila pertama ruang lingkupnya adalah ruang lingkup pribadi antara penganut agama dan Tuhannya saja. Kemudian pada sila ke dua semakin melebar, artinya ruang lingkup pengimplementasiannya semakin luas. Bukan ranah pribadi. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah sesuatu yang dimulai dari masing-masing pribadi yang berhubungan dengan sekitar. Kemudian semakin ke bawah semakin melebar.

Adab, Moral dan Keadilan yang Semakin Memudar

Bila kita mengikuti teori piramida Pancasila tersebut, kita akan tahu bahwa jika masayarakat kita tidak bisa mewujudkan salah satu sila di Pancasila, artinya sila yang sebelumnya bermasalah dan harus dibenahi secara menyeluruh dan totalitas. Sebab keberadaan suatu sila merupakan pancaran dari sila sebelumnya.

Misalkan di masyarakat kita tidak terwujud sebuah hidup yang mencerminkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, artinya ada yang bermasalah dengan sila ke empat. Dan seterusnya seperti itu. Kenyataannya di Indonesia, “persatuan Indonesia” belum terwujud sempurna. Artinya ada masalah dengan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

Dan kalau dipikir lagi, “kemanusiaan yang adil dan beradab” pun belum terwujud. Berarti ada masalah dengan sila pertama di dalam tubuh masyarakat kita. Namun masyarakat kita ini, mayoritas dikenal sebagai orang yang taat beragama. Artinya, dalam proses belajar agama di masyarakat kita, belum tuntas dan belum beragama dengan sejatinya ajaran agama.

Hal tersebut terjadi bisa saja karena pembelajaran agama yang tidak tuntas dan setengah-setengah. Atau bisa juga karena ada pemahaman menyimpang dalam menafsiri dan mengambil hukum agama. Sehingga antara perilaku beradab terhadap Tuhan dan perilaku beradab terhadap sesama menjadi tidak seimbang. Mungkin saja, agama dianggap sebagai perilaku beradab terhadap Tuhan saja. Padahal kenyataannya adalah beradab terhadap manusia dan makhluk adalah termasuk agama dan termasuk perilaku beradab pada Tuhan.

Bukan tidak mungkin, pembelajaran agama yang tidak menyeluruhh dan setengah-setengah bisa atau pembelajaran yang terdistorsi oleh penyimpangan dalam menafsiri ayat-ayat Tuhan bisa memicu aksi teror. Sebab, pembelajaran yang seperti ini lebih condong pada nafsu pribadi. Ia tidak bisa menerka esensi sejati dari ajaran agama dan hanya menduga sesuai nafsu pribadi masing-masing. Sedangkan mereka sendiri tidak bisa melihat bahwa yang dilakukan hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka saja dan merasa telah menjalankan agama dengan sebenarnya.

Perlu diperhatikan lagi bahwa agama adalah beradab terhadap Tuhan dan terhadap makhluk. Keadilan adalah agama. Kemanusiaan adalah ajaran agama. Beradab adalah ajaran dari agama. Jika perilaku kita tidak adil, tidak berprikemanusiaan dan tidak beradab, artinya kita tidak pantas mengatakan bahwa perilaku tersebut adalah ajaran agama. Maka, kesalahan kecil dalam memahami ajaran agama bisa saja memberikan dampak sosial buruk yang sangat besar.

Facebook Comments