Menggalakkan Kembali Konsep Kewarganegaraan di Tengah Potensi Konflik Antara “Nasionalisme Merah” dan “Nasionalisme Putih”

Menggalakkan Kembali Konsep Kewarganegaraan di Tengah Potensi Konflik Antara “Nasionalisme Merah” dan “Nasionalisme Putih”

- in Narasi
50
0

Transnasionalisasi adalah memang salah satu ancaman di Indonesia yang tak mudah lemah dalam hal ideologi dan pergerakan. Setelah Islam ala salafi-wahabi, Hizbut Tahrir, dan bahkan IS, yang semuanya menjadikan “dunia seberang” sebagai pusat keagamaan, dan otomatis pula pusat politik-budaya-ekonomi, orang Indonesia pun berpotensi untuk menghadapi gelombang transnasionalisasi yang sudah bertransformasi sedemikian rupa. Bukan karena banyak dari gerakan semacam JI sudah kembali ke pangkuan Bumi pertiwi, namun kondisi global seolah menuntut juga kecenderungan-kecenderungan seperti itu untuk ber-“khumul”-ria.

Transnasionalisasi, orang tak bisa memungkiri, memang adalah ibarat sebilah pedang bermata dua. Di satu sisi, resistensi atasnya pun tak jarang juga dapat bersifat transnasional—meskipun pada dasarnya resistensi itu dapat dan sudah pernah dilancarkan secara mandiri. Taruhlah, dahulu, perkembangan Islam liberal yang membawakan isu besar semacam pluralisme dan HAM, ketika berupaya menjadi antithesis dari Islam konvensional yang lazim ditabalkan sebagai Islam transnasional, mereka juga tak dapat lepas dari negara-negara Barat.

Pada kasus mutakhir, transnasionalisasi itu berjalan secara lembut, kadangkala berbungkus pula dengan kepercayaan-kepercayaan yang bersifat sufistik (yang memang juga sudah lama dicengkeram oleh sebagaian orang Indonesia), yang ketika orang sembrono dalam menghadapinya, akan berpotensi berbalik. Transnasionalisasi yang mutakhir ini terlihat sangat getol dalam berebut klaim atas tegaknya negara Indonesia. Dengan melihat berbagai narasi yang beredar, transnasionalisasi mutakhir itu tampak dalam gerakan Islam ala habaib (khususnya yang cukup getol dalam membela kemapanan mereka dalam menghadapi problematisasi nasab yang pernah ramai).

Dengan demikian, sampailah sekarang orang pada tahap sejarah Indonesia dimana nasionalisme ternyata dapat dibedakan: “nasionalisme merah” (yang selama ini telah menghiasi sejarah Indonesia sejak pra hingga pasca-kemerdekaan) dan “nasionalisme putih” yang terdiri dari “pertobatan” kalangan yang dahulu dikenal sebagai kalangan antinasionalisme dan gerakan transnasional jenis baru yang terpaksa (dan ini sangat kentara!) bergaya nasionalis.

Namun, masih beruntunglah bangsa Indonesia yang, di samping terdiri dari golongan yang terjejali konsep “cinta” yang salah-kaprah, juga terdiri dari golongan yang tak menganggap keberadaan mereka sebagai salah satu dari rukun iman. Maka, secara konstitusional, perlulah orang menggalakkan kembali konsep “kewarganegaraan” sebagai bagian dari cara keberagamaan—dan tentu saja hal ini adalah tugas dari pemerintah.

Tentu orang akan bertepuk sorai ketika menyaksikan seorang raja semacam Mangkunegara IV, yang hidup di awal abad ke-19, cukup lantang dalam melawan upaya-upaya transnasionalisasi Islam dengan menyebut para “sayyid” itu sebagai seorang yang belum becus, pengung atau goblok, ketika memiliki perangai yang seolah-olah berada di atas norma-norma Bumi Jawa yang semestinya dihormati dan dijunjung lebih tinggi daripada Bumi Yaman, mengingat mereka juga membuang hajat di tanah Jawa.

Maka, resistensi kultural, dalam menghadapi gelombang transnasionalisasi semacam itu, diperlukan juga ketegasan bahasa hukum, dalam hal ini konstitusi, yang otomatis melibatkan pemerintah. Upaya strukturalisasi itu cukup penting mengingat corak keislaman transnasional bergerak pada wilayah di atas hukum, kepercayaan-kepercayaan, dimana ketika resistensi atasnya hanya semata bersifat kultural hanya akan seperti menonton film dengan tema-tema antikomunisme yang pada akhirnya juga mendapatkan keuntungan dari komunisme itu sendiri.

Facebook Comments