Menghadapi Ancaman Radikalisasi dengan Pendidikan Nasionalis dan Religius

Menghadapi Ancaman Radikalisasi dengan Pendidikan Nasionalis dan Religius

- in Narasi
4
0
Menimbang Pendidikan Anak: Benarkah Kurikulum Tahfizh Tersimpan Virus Intoleransi?

Pendidikan merupakan salah satu aspek vital dalam pembentukan karakter anak. Namun, di tengah arus globalisasi dan berbagai bentuk pengaruh eksternal, pendidikan anak di Indonesia kini menghadapi tantangan serius. Salah satu ancaman besar yang mengintai adalah radikalisasi, yang disebarkan oleh kelompok-kelompok teroris melalui propaganda mereka.

Kelompok radikal ini memiliki strategi yang sangat sistematis dan terfokus, yakni menargetkan anak-anak dan orang tua dengan ideologi mereka. Kelompok teroris kerap berupaya “membajak” anak-anak melalui definisi yang mereka buat tentang “anak salih” yang eksklusif dan penciptaan dikotomi seperti “sekolah sekuler vs sekolah sunnah”. Taktik ini berpotensi menempatkan anak dalam kondisi yang sangat rentan terhadap radikalisasi.

Anak-anak sebagai kelompok yang paling rentan dan mudah dipengaruhi menjadi target utama dalam upaya kelompok radikal untuk menanamkan ideologi ekstrem mereka. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menciptakan gambaran ideal tentang anak yang “salih”, namun dengan pengertian yang sangat eksklusif dan terdistorsi. Dalam perspektif kelompok radikal, “anak salih” tidak hanya dipandang sebagai anak yang taat beragama, tetapi lebih dari itu, mereka berusaha memaksakan interpretasi tertentu tentang ajaran agama yang mereka yakini, sambil mengesampingkan keragaman pandangan yang ada dalam masyarakat.

Melalui narasi ini, kelompok teroris berusaha menarik minat anak-anak dan remaja, menanamkan mereka dengan ideologi yang menyudutkan dan membatasi ruang berpikir mereka. Mereka menggunakan jargon dan terminologi yang seolah-olah bersifat suci dan ideologis, namun pada kenyataannya hanya menjadi alat untuk mempengaruhi pemikiran anak-anak tersebut, menjauhkan mereka dari nilai-nilai universal seperti toleransi, kemanusiaan, dan kebangsaan.

Di sisi lain, kelompok radikal tidak hanya menargetkan anak-anak, tetapi juga orang tua mereka. Mereka menciptakan dikotomi antara “sekolah sekuler” dan “sekolah sunnah”, yang menurut mereka adalah perbedaan tajam antara pendidikan yang dianggap “benar” dan “salah”. Propaganda semacam ini sangat efektif karena sering kali menyentuh kekhawatiran orang tua tentang pendidikan agama anak-anak mereka. Kelompok teroris memanfaatkan ketidakpastian ini untuk meyakinkan orang tua bahwa hanya pendidikan berbasis ajaran mereka yang bisa menghasilkan anak yang “salih” menurut versi mereka.

Taktik ini mengandung dua dampak besar. Pertama, ia memperkenalkan polarisasi dalam dunia pendidikan, seolah-olah ada satu-satunya cara yang benar untuk mendidik anak, yaitu mengikuti ajaran tertentu yang mereka ajukan. Kedua, ia menanamkan rasa curiga terhadap institusi pendidikan lainnya yang dianggap “sekuler” atau tidak sejalan dengan ajaran yang mereka perjuangkan. Tindakan ini memecah belah masyarakat, memperburuk kesenjangan sosial, dan memperburuk ketegangan dalam kehidupan beragama di Indonesia.

Pendidikan yang bertujuan membentuk anak menjadi individu yang bertanggung jawab, beradab, dan berbudi pekerti luhur adalah fondasi utama untuk membentengi mereka dari pengaruh negatif seperti radikalisasi. Dalam hal ini, model pendidikan Nusantara menjadi pilihan yang sangat relevan. Pendidikan Nusantara, yang meliputi sekolah dan pesantren, berupaya mencetak anak-anak yang tidak hanya nasionalis, tetapi juga religius, dengan mengintegrasikan nilai-nilai kebangsaan dan agama yang moderat.

Sekolah dan pesantren di Indonesia telah lama berperan dalam mencetak generasi penerus yang mengutamakan kebangsaan dan ketaatan terhadap agama. Melalui sistem pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan, persatuan, dan keberagaman, anak-anak dibimbing untuk memahami pentingnya hidup dalam harmoni meskipun ada perbedaan pandangan agama dan budaya. Pendidikan semacam ini menanamkan prinsip-prinsip dasar seperti toleransi, saling menghargai, dan kebersamaan, yang sangat penting dalam membangun masyarakat yang damai dan sejahtera.

Sekolah-sekolah nasional dan pesantren, dengan dukungan kurikulum yang inklusif, dapat memberikan pengajaran yang tidak hanya berfokus pada aspek akademis, tetapi juga karakter moral dan spiritual anak. Model pendidikan ini dapat menjadi benteng yang kuat untuk melawan radikalisasi dengan menanamkan pemahaman yang lebih luas tentang kedamaian, saling menghargai, dan pentingnya memperkuat integritas bangsa.

Pada setiap tanggal 23 Juli, Indonesia merayakan Hari Anak Nasional yang juga mengingatkan kita akan pentingnya memberikan perlindungan bagi anak-anak terhadap segala bentuk pengaruh negatif, termasuk pengaruh radikalisasi yang dapat merusak masa depan mereka. Hari Anak Nasional seharusnya menjadi momentum untuk mendorong upaya kolektif dalam memastikan bahwa pendidikan yang diterima oleh anak-anak Indonesia bukan hanya mengedepankan aspek intelektual, tetapi juga mengajarkan mereka untuk menjadi individu yang mampu berkontribusi pada masyarakat secara positif. Pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan dan agama yang moderat, seperti yang ditawarkan oleh pendidikan Nusantara, menjadi solusi yang tepat untuk mencetak anak-anak yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga bijaksana dalam menghadapi tantangan zaman.

Ancaman radikalisasi yang menargetkan anak-anak melalui propaganda kelompok teroris adalah kenyataan yang harus kita hadapi bersama. Anak-anak, sebagai generasi penerus bangsa, memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, aman, dan penuh kasih sayang. Melalui pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan dan agama yang moderat, seperti yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah dan pesantren di Indonesia, kita dapat melindungi anak-anak kita dari pengaruh negatif yang bisa merusak masa depan mereka. Hari Anak Nasional menjadi pengingat bahwa kita semua memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak, untuk memastikan mereka tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga nasionalis dan religius.

Facebook Comments