Menghormati Penerima Zakat, Menjaga Keharmonisan Sosial

Menghormati Penerima Zakat, Menjaga Keharmonisan Sosial

- in Narasi
1552
0

Tak semua orang dilimpahi harta berkecukupan. Sebagian orang harus hidup serba keterbatasan dan kekurangan. Kala banyak orang hidup dalam kemewahan dan bisa membeli apa pun yang diinginkan, ada orang-orang yang untuk sekadar makan dan minum sehari-hari saja harus mengandalkan uluran tangan orang lain. Di sinilah, agama lalu membangun sistem berzakat dan bersedekah sebagai ladang memupuk kepedulian dan mengupayakan keadilan dan pemerataan.

Zakat menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya menciptakan keadilan sosial. Mereka yang diberi kecukupan dan bahkan kelebihan harta, diwajibkan membayar zakat untuk dibagikan pada mereka yang membutuhkan, sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 60. “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah….

Zakat tak sekadar tentang membagi sebagian harta benda pada yang butuh. Bagi pemberi zakat, di samping menjadi bentuk ketaatan pada Allah Swt. membayar zakat menjadi bentuk pembersihan jiwa atau penyucian diri dari sifat kebakhilan. Firman Allah dalam at-Taubah ayat 103, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka… Di samping itu, zakat juga menjadi bentuk syukur seorang hamba atas segala nikmat Allah Swt. Sebab, baik nikmat dalam badan maupun nikmat harta benda, keduanya perlu disyukuri.

Adab berzakat

Zakat, sebagai bentuk ibadah dan kepedulian pada sesama, terdapat adab dalam pelaksanaannya. Adab berzakat membuat kita mendalami ibadah zakat lebih mendalam, sehingga berzakat benar-benar bisa membawa manfaat dan keberkahan. Dalam buku Rahasia Puasa & Zakat (2015) terjemahan dan penjelasan dari Asrar As-Shaum dan Asrar az-Zakat karya Al-Ghazali, dijelaskan ada beberapa “tugas” batiniah yang harus dilakukan orang dalam mengeluarkan zakat.

Di antara beberapa adab berzakat tersebut ialah, mempercepat pengeluaran zakatnya sebelum waktu yang diwajibkan. Antusiasme mematuhi perintah Allah Swt. perlu diwujudkan dengan segera menyampaikan kegembiraan pada hati fakir-miskin. Di samping itu, untuk menghindari hambatan yang bisa muncul sewaktu-waktu yang menghalanginya berbuat kebajikan. Di sini, terlihat bagaimana kegembiraan fakir–miskin menjadi hal yang mesti diperhatikan. Hidup harmonis dan saling berbagi kebahagiaan menjadi hal tak terpisahkan dari spirit zakat.

Adab zakat selanjutnya adalah merahasiakannya untuk menghindari perasaan riya (pamer). Kita tahu, di antara hikmah zakat adalah mengikis sifat kebakhilan dalam hati dan memperlemah kecintaan pada harta. Maka, jika orang berzakat sekadar untuk mendapatkan penghargaan masyarakat luas, maka amalannya sia-sia. Dijelaskan dalam buku Rahasia Puasa & Zakat (2015), apabila tak ada jalan lain kecuali zakat itu diketahui seseorang, maka menyerahkannya pada seorang perantara lebih baik daripada diketahui si miskin secara langsung.

Atau, kita bisa membagikan secara terbuka, jika kita rasa situasi itu bisa mendorong orang banyak menirunya, atau jika si peminta memintanya di hadapan khalayak. Itu pun kita mesti bisa benar-benar menjaga diri dari perasaan riya. Dijelaskan lebih lanjut dalam buku tersebut bahwa memberi sedekah secara langsung pada penerima di hadapan umum bisa menyingkap tirai penutup rasa malu si miskin. Dari sana, perasaannya bisa terganggu karena tampak di hadapan orang banyak sebagai orang yang butuh bantuan.

Sampai di sini, kita melihat betapa pentingnya menjaga perasaan dan menghargai penerima zakat. Bahwa hidup bersama butuh rasa saling menghargai dan menghormati tanpa memandang sebelah mata hanya karena perbedaan status sosial, pangkat, jabatan. Adegan menyerahkan zakat bahkan perlu dirahasiakan, atau perlu lewat perantara guna menjaga perasaan penerima zakat. Hal ini semakin dipertegas dalam adab berzakat berikutnya, yakni tidak merusak zakat dengan terus menyebut-nyebut pemberian dan mengganggu perasaan si penerima. Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan al mann (menyebut-nyebutnya) dan al adza (menyakiti perasaan si penerima)…” (QS Al Baqarah; 264).

Ada ulama yang menyebut al-mann adalah menyebut-nyebutnya dan al-adza adalah memberi secara terang-terangan. Ada pula yang berpendapat, al-mann adalah meminta imbalan atas tenaganya, dan al-adza ialah mengejek kemiskinannya. Ada pula yang mengatakan al-mann ialah bersikap sombong karena telah memberi sedekah, dan al-adza adalah membentaknya dan mengecak karena telah meminta. Terlepas dari perbedaan tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa berzakat tak baik jika disertai sikap membanggakan diri, apalagi disertai merendahkan penerima zakat.

Menurut Al-Gazali, al-mann bersumber dari dalam hati. Bermula ketika orang merasa dirinya telah berbuat kebajikan pada si miskin dan berjasa padanya. Butuh sikap tawadhu dalam berzakat dan kesadaran bahwa apa yang dilakukan bukan hal yang perlu dibangga-banggakan. Al-Gazali bahkan berpandangan, yang terjadi sebenarnya si miskinlah yang telah berbuat kebajikan pada pemberi zakat sebab mau menerima darinya hak Allah Swt. yang menyucikannya serta menyelamatkannya dari api neraka. Berkat si miskinlah pemberi zakat terlepas dari tanggungjawab di hadapan Allah Swt.

Melihat uraian tersebut, kita tersadar pentingnya menjaga nilai-nilai penghormatan dan pengargaan pada sesama dalam berzakat. Bahwa posisi kita, apakah sebagai pemberi atau penerima zakat, sebenarnya hanyalah bagian dari perjalanan hidup yang sepenuhnya di bawah kekuasaan Allah Swt. Menjadi pemberi zakat bukan berarti kita pantas berbangga diri. Menjadi penerima zakat tak berarti hina. Hidup harmonis, saling menghargai dan peduli satu sama lain dalam ikatan persaudaraan adalah yang utama. Wallahu a’lam..

Facebook Comments