Mengutuk Terorisme Tanpa Apologi, Bisakah?

Mengutuk Terorisme Tanpa Apologi, Bisakah?

- in Narasi
959
0
Mengutuk Terorisme Tanpa Apologi, Bisakah?

Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, bom bunuh diri menimpa negeri ini. Minggu (28/3/2021) kira-kira pukul 10:20 WITA, sebuah ledakan bom bunuh diri terjadi di depan Gereja Ketedral Makassar. Data sementara ada 14 orang korban luka. Mereka terdiri dari jemaat gereja dan penjaga keamanan geraja.

Kita mengutuk perbuatan biadab ini. Di tengah pendemi yang membuat semua lapisan masyarakat kesusahan, masih saja ada oknum-oknum tertentu yang tega melakukan tidakan yang tidak berperikemanusian itu.

Akan tetapi, seperti biasanya, di tengah kutukan dari berbagai pihak, masih saja ada pihak tertentu yang justru bersikap apologis bahkan terkesan menyangkal (deniel).

Beberapa jam setelah kejadian, banyak narasi yang bermunculan di media sosial, agar tindakan teror bom bunuh diri ini jangan dikaitkan dengan agama apa pun.

Memang betul, tidak ada agama yang melegitimasi tindakan teror. Tetapi, bukankah yang melakukan tindakan teror itu adalah orang-orang yang beragama juga?

Dalam kondisi duka seperti ini. Sikap apologis –apalagi sejak dini, seolah ada sikap penyangkalan bahwa itu bukan bagian dari agama kami –saya kira bukanlah sikap yang tepat. Sikap apologis dan penyangkalan justru melukai korban secara khusus, dan agama yang jadi sasaran bom bunuh diri itu secara umum.

Sikap yang harus dilakukan adalah memberikan dukungan, simpati dan empati kepada para korban. Mengutuk sebesar-besarnya para pelaku. Meminta agar polri bisa mengusut motif dan siapa dalang di belakang itu semua.

Sikap apologis dan penyangkalan bukan kali ini saja dilakukan. Setiap ada kasus tindakan terorisme pasti disertai dengan sikap apologis dan penyangkalan dari pihak-pihak tertentu. Bahkan sering terjadi, yang muncul justru narasi play victim dari agama tertentu.

Menguntungkan Para Teroris

Merebaknya sikap apologi “mereka bukan kami” “teroris tidak punya agama” yang dinarasikan oleh sebagian pihak justru memiliki dampak negatif. Sikap ini selain bagian dari cuci tangan, sikap ini juga bisa melahirkan kecurigaan antara sesama pemuluk agama.

Mengapa tidak diakui saja bahwa ada sebagian pemeluk agama yang menggunakan agamanya untuk melakukan aksi-aksi teror. Sikap keterbukaan, mengakui apa adanya, bahwa ada sebagian pemeluk agama kami yang melakukan itu, justru lebih elegan ketimbang sikap apalogi dan denial itu.

Sikap apologi dan denial justru menguntungkan kaum radikalis dan para teroris. Alih-alih mendapat kutukan dan laknatan, mereka justru mendapat dukungan secara tidak langsung dari sikap apalogis dan daniel itu.

Mengutuk aksi teror bom bunuh diri, tetapi diikuti dengan sikap apologi, adalah pengutukan yang tidak tulus. Ini ada sikap dua kaki. Satu kaki berdiri mengutuk para teroris, tetapi satu kaki yang lain justru memberi sinyal pembelaan kepada teroris.

Bersatu Melawan Teroris

Sikap yang ideal dalam kondisi seperti ini adalah keterbukaan. Terbuka dan mengakui bahwa teror –dalam bentuk apapun dia –adalah tindakan terkutuk.

Belajar dari dari kesalahan sejarah bukanlah sikap yang hina. Mau meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat oleh kawan seagama justru adalah sikap kepahlawanan.

Hanya dengan sikap terbuka, mau minta maaf, yang akan melahirkan sikap ketulusan. Tulus mengutuk para pelaku teror. Tulus memberi simpati dan empati. Tulus membantu para korban. Tulus membangun kembali psikologis para korban –mungkin akibat tarauma teror.

Dengan ketulusan juga kita bisa naik secara bersama-sama dalam level: bersatu melawan terorisme. Terorisme adalah musuh bersama. Ia adalah musuh kemunusiaa.

Siapa pun pelakunya, apakah dari agama saya atau dari agama kamu, apakah ia datang dari kelompok kami mapun kelompok merek, dia tetap harus dikutuk. Oleh sebab itu, sikap menyangkal dan apologi justru akan merenggangkan persatuan kita untuk melawan para terorisme. Daniel dan apologi hanya akan memperkeruh suana.

Facebook Comments