Menimbang Bahaya Foreign Terrorist Fighter

Menimbang Bahaya Foreign Terrorist Fighter

- in Narasi
406
0
Menimbang Bahaya Foreign Terrorist Fighter

Indonesia adalah salah satu negara paling tegas menyikapi foreign terrorist fighter (FTF). Pada Desember 2019 lalu, muncul polemik terkait pemulangan FTF atau ISIS eks warga negara Indonesia yang berada di Suriah dan Turki. Sedikitnya ada sekitar 689 FTF yang terlunta-lunta di kedua negara tersebut di mana sebelumnya mereka telah memutuskan untuk meninggalkan tanah air sejak beberapa tahun. Keputusan pemerintah final, tidak akan memulangkan FTF tersebut ke Indonesia.

Menurut Resolusi Dewan Keamanan PBB, Foreign Terrorist Fighter (FTF) adalah orang-orang yang melakukan perjalanan ke negara lain dari masyarakat atau kebangsaan lain untuk melakukan perbuatan, perencanaan atau persiapan atau partisipasi dalam aksi teroris atau menyediakan atau menerima pelatihan teroris, termasuk dalam suatu konflik bersenjata. Data un.org, pada 2016 tercatat sedikitnya 30.000 FTF yang berada di Suriah dan Irak. Tercatat pula usia pada FTF dari 18-29 tahun. FTF ini dipandang menjadi ancaman serius bagi negara asal mereka apabila kembali. Bahkan, keberadaan mereka juga tidak hanya menjadi ancaman jangka pendek tetapi juga berisiko untuk keamanan jangka panjang.

Sejumlah referensi menyebutkan bahwa alasan seseorang tertarik untuk menjadi FTF dan bergabung dengan ISIS karena ideologi, kesejahteraan dan kebebasan. Ideologi ISIS dianggap para FTF sebagai sebuah jalan untuk menuju perang akhir zaman, terlebih diberi embel-embel nuansa ajaran keagamaan. Hal lain, dalam ideologi ISIS juga menyematkan sebuah misi untuk membentuk kekhilafahan. Namun begitu, FTF mayoritas mereka termotivasi oleh ideologi.

Selain itu, orang-orang yang telah bepergian ke zona konflik bisa menciptakan ketidakstabilan yang sangat besar bagi negara asalnya, termasuk komunitas dan keluarga mereka. Apalagi, selama mengikuti pelatihan bersama kelompok teroris, FTF diajarkan bagaimana mereka mengekploitasi keluhan sosial ekonomi, perasaan keterasingan, marginalisasi, diskriminasi atau viktimisasi, ketimpangan dan ketidakadilan. Artinya, para FTF ditanamkan pemikiran bahwa mereka adalah korban dari suatu sistem pemerintahan dan negara sehingga harus bangkit melakukan perlawanan, bahkan dengan cara angkat senjata.

Tepat kiranya Prof. Mahfud MD menyebut bahwa mereka merupakan teroris lintas batas atau FTF. Dan pemerintah tidak ingin mereka menjadi ‘virus’ bagi 267 juta jiwa rakyat Indonesia di tanah air. Dan rakyat Indonesia patut juga mewaspadai kelompok yang pro khilafah karena mereka lebih rentan terpengaruh padangan yang dibawa FTF.

Sekadar catatan, sejak jatuhnya kekhalifahan ISIS pada musim panas 2017, terungkap jihadis di Inggris sebanyak 23.000 dalam pengawasan aparat keamanan. Dan pada Oktober 2017, setidaknya ada 425 orang foreign terrorist fighter. Pada periode yang sama, diperkirakan 271 kembali ke Prancis dan 300 orang kembali ke Jerman. Faktanya, selama 2017 sejumlah serangan meletus di Eropa. Ambil contoh teror di Westminster, Manchester Arena dan London Bridge.

Data kepolisian Uni Eropa (Europol) mencatat ada ratusan narapidana terorisme dibebaskan pada 2018. Kasus terbanyak adalah Spanyol dengan 329 kasus, Inggris 329 kasus, Prancis 327 kasus dan Belgia 301 kasus. Pada 2018, sebanyak 61 persen putusan untuk kasus-kasus di Uni Eropa dinyatakan sebagai teror jihadis. Dari 199 pelaku teror yang dipenjara pada 2015, sebanyak 57 persen akan dibebaskan pada 2023. Keterlibatan mereka beragam mulai dari perencanaan serangan, keanggotaan di kelompok teroris ataupun mendanai terorisme. Di Prancis ada sekitar 45 dari 500 narapidana terorisme bebas pada 2020. Di Inggris jumlahnya 50 orang. Ini semua, patut diwaspadai. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Facebook Comments