Deradikalisasi dari Bangku Sekolah

Deradikalisasi dari Bangku Sekolah

- in Narasi
770
0
Deradikalisasi dari Bangku Sekolah

Pandemi Covid-19 telah memorakporandakan tatanan kehidupan, tak terkecuali pendidikan. Imbasnya, sekolah-sekolah tutup. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi jalan pintas agar kegiatan belajar-mengajar tetap berlangsung. Konsekuensinya, siswa kini kian “merunduk”. Siswa kian lama memegang gawai –sebagai satu-satunya sarana kegiatan pembelajaran. Pembelajaran konvensional yang mengandalkan sepenuhnya sentuhan guru, sejenak terganti dengan kecanggihan layar sentuh ponsel pintar di mana pada tempo yang sama menyediakan segudang informasi: negatif maupun positif.

Momentum PJJ, ketika siswa lebih dibebaskan untuk menggunakan gawai, boleh jadi membawa dampak buruk. Yakni, salah satunya, selain rawan terpapar pornografi, perjudian; tak kalah mengkhawatirkannya, terpapar virus radikalisme dan intoleran. Keterbukaan informasi dan kemudahan akses tersebut bila tidak disikapi dengan arif, berkemungkinan besar membawa pengguna gawai terseret arus kemudaratan pada jiwa serta nalar. Apalagi, bila pengguna gawai merupakan generasi muda usia sekolah. Amat riskan gampang terpapar oleh segala bentuk informasi mengingat belum cakapnya mengelola informasi yang menderas di jagat maya.

Salah besar bila tolok ukur siswa terpapar virus radikalisme dan intoleransi, dengan otomatis menjadi seorang teroris. Boleh dikata nyaris tak ada teroris yang ditangkap selama ini, masih berseragam putih abu-abu. Lantaran dapat dikata terpapar, bisa dengan hanya ia bersetuju dengan tindakan kekerasan atas nama agama semisal menyerang tempat ibadah kelompok minoritas. Sikap persetujuan atau pengiyaan bisa dijadikan bukti sahih bahwa siswa tersebut telah terpapar virus intoleransi. Simplikasi tersebut tidaklah berlebihan mengingat kekerasan semacam itu, tidak dapat dibenarkan; bertolak belakang dari ajaran agama itu sendiri berupa ajakan perdamaian.

Selain itu, dampak yang lebih mengerikan, yakni lahirnya generasi yang berpandangan ekstrem. Mereka adalah bibit potensial kelompok radikal dan sasaran empuk gerombolan teroris. Celakanya, generasi radikal ini juga yang akan menjadi penerus bangsa yang majemuk. Karena itu, sekolah bisa dianggap gagal menjalankan peran vitalnya dalam mendidik generasi muda untuk berpunya pandangan terbuka (inklusif) terhadap liyan (the others).

Bahwa telah banyak sekolah terpapar intoleransi bukanlah isapan jempol. Sudah jauh-jauh hari, kita menemukan banyak fakta miris tersebut bersumber sejumlah penelitian. Kita bisa memulainya pada 2016, kala survei Wahid Institute perihal indikator toleransi dan kerukunan sosial keagamaan di komunitas muda menyebutkan, ada kecenderungan meningkat 37 persen pandangan anak muda –termasuk siswa—yang mendukung praktik radikalisme. Dari 1.200 responden generasi muda yang di dalamnya termasuk siswa sekolah menengah, 15 persen setuju praktik pelarangan ibadah kelompok yang dianggap sesat dan minoritas. 12,5 persen setuju ideologi Pancasila diganti ideologi agama. 7,9 persen setuju dengan tindakan kekerasan atas nama agama.

Pada tahun 2016 pula, Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), membabar hasil miris pula. Di mana responden merupakan guru dan siswa, mendukung terhadap tindakan pelaku perusakan dan penyegelan rumah ibadah (guru: 24,5 persen, dan siswa: 41,1 persen). Bersetuju atas perusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat (guru: 22,7 persen dan siswa: 51,3 persen). Perusakan tempat hiburan malam (guru: 28,1 persen dan siswa: 58 persen). Pun, dukungan terhadap pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain (guru: 32,4 persen dan siswa: 43,3 persen).

Kompas edisi 27 Januari 2018 mewartakan hasil riset bertema perkembangan pemahaman kebinekaan di sekolah. Riset tersebut diselenggarakan Maarif Institute, Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan United Nation Development Programme Indonesia. Dengan mengambil lokus berupa 40 sekolah di lima provinsi pada 2-21 Oktober 2017, terlampir fenomena bahwa sekolah senyatanya rentan tersusupi paham dan gerakan radikal. Diungkapkan, radikalisme menempatkan OSIS sebagai celah yang kerap tersusupi.

Padahal, deradikalisasi semestinya amat urgen melibatkan peran dan fungsi lembaga pendidikan macam sekolah. Hal ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat jaringan anti-terorisme/anti-ekstremisme dalam menghasilkan peserta didik yang berpaham humanis dan moderat. Lantas, bagaimana bila sekolah itu sendiri amat rawan terkontaminasi virus intoleran dan radikalisme? Lebih-lebih di saat pagebluk hari ini dan pascapandemi?

Ketika kini guru amat terbatas gerak untuk memantau perkembangan siswa gegara Covid-19, di sinilah momentum orangtua untuk sejenak mengawasi sekaligus memandu si anak dalam proses pembelajaran via daring. Partisipasi aktif orangtua sekiranya lebih diarahkan pada pengawasan penggunaan ponsel pintar. Orangtua mesti bersikap tegas untuk menihilkan gerak si anak mengakses informasi destruktif menjurus radikalisme/terorisme. Relasi kuasa orang tua bisa dijadikan modal memberikan penjelasan untuk bijak berinternet. Orangtua bekerjasama dengan sekolah dalam menjadikan PJJ kali ini sebagai titik balik melek literasi digital; lebih-lebih dalam ikhtiar kontra narasi intoleransi.

Pascawabah, pihak sekolah bisa memasukkan narasi-narasi pendidikan multikulturalisme dan kebinekaan dalam pelajaran muatan lokal atau pada kegiatan ekstrakurikuler. Kesadaran berbineka hendaknya memang mulai diuarkan semenjak di sekolah. Sekolah, lewat guru bisa secara simultan membabarkan narasi-narasi dan fakta kehidupan keanekaragaman suku dan agama di Indonesia. OSIS dalam hal ini sebagai ujung tombak kegiatan siswa, perlu berinisiatif melakukan interaksi/kunjungan dengan komunitas pemeluk agama maupun silaturahmi lintas suku dengan semisal melalui gelaran aksi-acara teatrikal di sekolah; sebagai bagian pengenalan kekayaan khazanah negeri ini. Kegiatan semacam itu yang apabila dilaksanakan kontinu, kiranya bisa mematri dan menghunjamkan kesadaran lebih kuat dan mendalam perihal keberbinekaan pada generasi muda kita.

Deradikalisasi juga mengalamatkan pada sosok guru. Lantaran amat mustahil menjadikan siswa berpaham moderat-toleran dari guru berpaham ekstremisme. Karena itu, memonitor terhadap konten pengajaran seorang guru menjadi tugas bersama; utamanya pada kementerian terkait. Dibutuhkan sikap tegas dan penerapan sanksi berat apabila terbukti seorang guru menyusupkan pengajaran-pengajaran yang bertentangan dengan konstitusi negara. Walhasil, jangan menjadi guru yang kencing berdiri dengan anti-kebinekaan, sehingga siswanya kencing berlari dengan menganggap pemeluk agama lain sebagai musuh. Melainkan sebagai guru yang digugu (dipatuhi) dan ditiru dengan pro-toleransi dan kepedulian terhadap kemajemukan. Wallahu a’lam

Facebook Comments