Meningkatkan Kewaspadaan Narasi Pengasong Khilafah di Tengah Euforia Kemenangan Taliban

Meningkatkan Kewaspadaan Narasi Pengasong Khilafah di Tengah Euforia Kemenangan Taliban

- in Narasi
981
0
Meningkatkan Kewaspadaan Narasi Pengasong Khilafah di Tengah Euforia Kemenangan Taliban

Beberapa waktu lalu, dunia internasional dikejutkan oleh berita yang menyatakan bahwa kelompok Taliban berhasil mengambil alih pemerintahan Afghanistan. Mereka berhasil menguasai Istana Kepresidenan Afghanistan di Kabul. Kejadian ini lantas memunculkan berbagai spekulasi dari beragam kalangan.

Di tengah berbagai spekulasi itu, muncul kekhawatiran dari sebagian pengamat terhadap dampak dari kemenangan Taliban itu. Salah satunya bagi Indonesia. Pengamat Militer Connie Rahakundini membeberkan bahwa fans Taliban di Indonesia cukup banyak.

Jika demikian yang terjadi, maka apa yang dilakukan oleh Taliban di Afghanistan, berpotensi menjadi inspirasi para fans Taliban di Indonesia untuk melakukan hal yang sama di Indonesia. Dengan bumbu ‘jihad’, bukan tidak mungkin akan dapat mengerek banyak simpati masyarakat luas. Simpati yang tidak tepat inilah yang harus segera diselesaikan.

Waspada Narasi Pengasong Khilafah

Kejadian di Afghanistan segera diintrodusir oleh kelompok pengasong khilafah untuk menguatkan kampanye mereka, yakni menegakkan (kembali) khilafah. Kelompok ini dengan jumawa menandaskan bahwa ISIS sudah melakukan banyak pengorbanan untuk menegakkan khilafah dan pada tahun 2014 silam, mereka berhasil mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara.

Dua kejadian tersebut dinarasikan oleh pengasong khilafah sedemikian rupa, bahwa upaya menegakkan kembali sistem khilafah bukanlah sesuatu yang mustahil, tetapi sudah nyata bentuknya di depan mata. Inilah yang sangat berpotensi menyoyak nalar keagamaan masyarakat awam sehingga jika tidak ada benteng yang tangguh, maka mereka akan dengan mudah menaruh simpati terhadap gerakan transnasional.

Mari sejenak kita simak bagaimana pengasong khilafah ‘mempromosikan’ idenya itu. Salah satu senjata andalannya adalah dengan memberikan contoh bagaimana ketika sistem khilafah diterapkan dan berjaya di masa lampu dan mampun menumpas penjajahan kaum kafir saat itu dan berhasil menguasai wilayahnya. Khilafah digambarkan sebagai negara yang keberadaanya mengikuti apa yang sudah diajarkan Alquran dan sunnah telah berhasil memimpin peradaban dunia kala itu.

Mereka juga dengan meyakinkan mengatakan bahwa hanya khilafah-lah yang diridloi Allah Swt dalam kehidupan bernegara, selain khilafah, demokrasi misalnya, tidak ada tuntunannya dalam Islam. Propaganda ini selalu digaungkan. Tidak hanya itu, mereka juga berusaha mengerek simpati masyarakat luas akan ketertarikannya terhadap khilafah dengan menyebutkan bahwa khilafah itu negara hebat, yang menguasai banyak wilayah, memimpin imperium dunia, membasmi segala bentuk kedzoliman dan ketidak-adilan dan lain sebagainya. Rujukan mereka selalu pada masa Nabi Muhammad, kemudian kekhalifahan bani Umayyah, Abbasiyah dan Turki Ustmani.

Beberapa Bukti Adanya Miskonsepsi

Kelompok pengasong khilafah sejatinya berlandaskan pada pemahaman keagamaan yang kurang mumpuni. Tak heran jika dikuliti dikit demi sedikit, akan mudah kita temukan letak kelemahan, bahkan kebatilan ide yang mereka perjuangkan. Kelemahan inilah yang seharusnya mampu dipahami oleh para simpatisan khilafah sehingga mereka segera sadar. Selain itu, mereka seolah lupa, atau jangan-jangan menutup-nutupi beberapa fakta ini.

Pertama, khilafah bukan satu-satunya sistem pemerintahan yang baku dalam Islam. Tidak ada dalil spesifik yang mengatakan bahwa umat Islam wajib menegakkan khilafah dan secara bersamaan mengharamkan menganut sistem selain khilafah.

Kedua, kekhalifahan yang sekedar nama saja. Maududi melakukan telaah yang cukup merobek-robek kelompok khilafah. Melalui telaah kritisnya terhadap sejarah kekhalifahan, dari Dinasti Umayyah ke Turki Utsmani, tak lebih dari sekedar kerajaan-kerajaan yang berbaju Islam saja (Abdurrakhman, 2016).

Yang paling fatal adalah, kelompok pengusung khilafah gagal mengkategorikan sistem khilafah dan monarchi (kerajaan). Dinasti Umayyah yang digemborkan sebagai contoh kejayaan Islam karena mengadopsi sistem khilafah itu sebenarnya menganut sistem monarchi (kerajaan). Hal ini terlihat dari proses pergantian pemimpin; di mana anak raja otomatis akan menggantikan bapaknya sebagai raja.

Ketiga, pada masa kejayaan bani Abbasiyah dan Turki Utsmani, masih banyak umat Islam yang memiliki dan mengadopsi sistem lain. Artinya, Turki Utsmani bukan sebagai sistem khilafah di mana pemimpinnya menjadi pemimpin seluruh umat Islam di seluruh dunia (kepemimpinan tunggal). Artinya, di saat empirium Abbasiyah dan Turki Utsmani, di belahan dunia lain, umat Islam belum bersatu padu membaiat satu sosok pemimpin bagi semua.

Jadi, apa yang dinarasikan oleh kelompok pengusung khilafah sejatinya tidak hanya basi, namun juga sebuah ilusi. Banyak narasi-narasi yang mereka bangun tak berdasar sama sekali, ahistoris! Konsep khilafah yang mereka usung juga mengalami miskonsepsi.

Melihat fakta demikian, maka segenap masyarakat harusnya cerdas dalam menerima suatu informasi, terutama dari kelompok pengasong khilafah yang belakangan semakin ugal-ugalan dalam menjual ide khilafahnya. Mudah-mudahan segenap rakyat Indonesia bisa bijak dalam menyikapi kondisi politik global terkini. Mari terus berjuang di bawah ideologi yang sudah menjadi konsensus para pendiri bangsa ini. Teguhkan hati dan rapatkan barisan untuk menangkal ideologi transnasional yang sudah barang tentu tidak tepat untuk bangsa yang plural seperti Indonesia.

Facebook Comments