Menjadi Muslim Pancasilais, Mungkinkah?

Menjadi Muslim Pancasilais, Mungkinkah?

- in Narasi
1237
0
Menjadi Muslim Pancasilais, Mungkinkah?

Belakangan ini muncul narasi-narasi yang mencoba memisahkan antara identitas keislaman dan keindonesiaan. Seolah-olah untuk menjadi muslim sejati harus melepaskan segenap atribut keindonesiaan dan mengadopsi seluruhnya kultur Arab. Jadilah akhir-akhir ini masyarakat Indonesia begitu gemar menjiplak budaya Arab dan berperilaku kearab-araban. Mulai dari pakaian, gaya hidup, makanan, bahkan sikap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Poin yang disebut terakhir ini yang mulai meresahkan. Sebagaimana tampak dalam kehidupan sehari-hari, adaptasi kultur Arab itu mulai berdampak pada relasi kebangsaan dan kenegaraan kita. Contohnya saja, ada sebagian muslim yang menolak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, menolak hormat bendera, bahkan menolak Pancasila yang notabene merupakan dasar dan ideologi negara.

Pandangan yang demikian ini meyakini bahwa seolah-olah seorang muslim bisa menjadi muslim kaffah jika ia anti pada segala unsur kebangsaan dan keindonesiaan. Lantas, benarkan demikian? Apakah menjadi muslim kaffah hanya bisa diwujudkan manakala kita melepas identitas dan jatidiri kita sebagai manusia?

Problem Identitas

Menurut Hommi K. Baba, salah satu problem manusia posmodern ialah terkait dilema identitas. Yakni bercampur-baurnya dua atau lebih identitas dalam diri seseorang. Mulai dari identitas fisik (jenis kelamin, warna kulit, rambut, dan lain sebagainya), identitas kebangsaan, identitas kenegaraan, identitas agama sampai identitas politik dan sosial budaya. Misalnya saja, ada seorang berkulit hitam, berkebangsaan Afrika namun berkewarganegaraan Amerika Serikat, beragama Islam namun pro pada gerakan kebebasan sipil termasuk LGBT dan sejenisnya. Kompleksitas identitas itu membuat kita kerap bertanya, lantas apa identitas sesungguhnya yang dimiliki seseorang tersebut? Itulah gambaran betapa kompleksnya identitas manusia posmodern saat ini.

Dalam konteks keindonesiaan, kompleksitas identitas itu bisa disederhanakan ke dalam satu platform yakni Pancasila. Pancasila merupakan common platform yang menjadi titik temu berbagai entitas bangsa, suku, ras, agama dan identitas lainnya. Di bawah alam paradigmatik Pancasila, identitas kesukuan, kebangsaan dan keagamaan itu dilindungi sekaligus melebur ke dalam dimensi semangat kebangsaan. Jadi, seorang muslim bisa tetap menjadi muslim kaffah tanpa harus meninggalkan identitas keindonesiannya dan mengadaptasi mentah-mentah budaya Arab.

Dalam terminologi Baba, inilah yang disebut sebagai hibridasi identitas, yakni proses meleburnya dua identitas ke dalam satu pemaknaan baru. Dalam konteks keindonesiaan, hibridasi identitas itu kerap mewujud ke dalam lahirnya bentuk-bentuk budaya baru yang unik, khas, dan orisinal. Misalnya saja, kita lebih akrab dengan sarung dan peci untuk beribadah bagi kaum laki-laki, alih-alih gamis atau sorban. Atau misalnya tradisi halal bi halal yang boleh jadi hanya ada dalam kultur Islam Nusantara. Inilah hibridasi identitas yang terjadi secara smooth, sukarela dan tanpa intervensi apalagi paksaan dari kedua pihak.

Hibridasi Identitas

Seturut uraian di atas, maka pertanyaan pada judul tulisan ini, yakni apakah mungkin seorang muslim menjadi seorang yang pancasilais? Jawabannya tentu saja sangat mungkin. Tersebab, identitas bukanlah sesuatu yang kaku, rigid dan eksklusif. Sebaliknya, identitas ialah satu hal yang lentur dan fleksibel. Hari ini kita bisa menjadi seorang muslim yang taat, seorang Pancasilais yang memegang teguh nasionalisme namun di saat yang sama juga bisa menjadi penggemar drama Korea. Apa salahnya? Di era posmodern semua hal menjadi sangat mungkin.

Identitas keislaman dan keindonesiaan bukanlah satu hal yang harus selalu dipertentangkan. Keduanya bisa kita afirmasi bersama-sama beriringan tanpa saling menegasikan satu sama lain. Kita masih tetap bisa menjadi muslim kaffah dengan tetap menyanyikan lagu kebangsaan, hormat pada bendera merah putih dan menjunjung tinggi nasionalisme. Keislaman kita tidak akan luntur barang sedikitpun hanya karena kita ikut upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia raya. Jika ada ustaz menganjurkan agar umat Islam tidak menyanyikan lagu Indonesia raya, barangkali imannya kurang solid sehingga masih takut pada hal-hal yang sebenarnya tidak menghadirkan ancaman apa pun.

Menunaikan tugas keagamaan sebagai tanggung jawab teologis kita terhadap Islam ialah kewajiban yang tidak bisa diwakilkan. Demikian pula, kewajiban moral kita menegakkan komitmen kebangsaan dan nasionalisme sebagai tugas warganegara juga tidak bisa ditunda. Keduanya bisa berjalan beriringan tanpa saling menegasikan. Menjadi muslim yang kaffah ialah menjadi manusia Indonesia yang utuh.

Facebook Comments