Kuasa media—terutama media sosial—seperti telah menyibak integrasi warga. Masyarakat seperti terpecah pada kungkungan polarisasi opini yang terbangun dari informasi elektronik. Media sosial seperti dua mata pedang: selain satu sisi memiliki kontribusi positif bagi masyarakat, pada sisi lain juga begitu mudah disalahgunakan. Seperti fenomena mutakhir yang nyaris mendekte keutuhan NKRI.
Keterlibatan media daring di setiap segi kehidupan memang menjadi penanda peralihan etos dan budi masyarakat. Tentu saja, media sosial bisa secara simultan memangkas batas ruang-waktu. Skema jarak teritorial tampak semu di media sosial. Kanal informasi di seluruh penjuru bisa diakses dengan begitu simpel. Sayang sekali, informasi yang aksesabel itu tidak turut dibarengi dengan peneguhan karakter personal. Sehingga, keterpelatingan perilaku dan degradasi etik begitu mudah ditemukan di media sosial.
Berdasarkan data Bareskrim Polri, sebagaimana juga ditulis Wasisto Raharjo Jati, kejahatan daring (cyber crime) sepanjang Januari-September 2016 tercatat 638 kasus penghinaan-ujaran kebencian dan 598 kasus penipuan informasi online. Data ini menjadi deskripsi konkret atas maraknya kasus asusila di dunia maya. Kejahatan cyber, secara beruntun, akan juga mengundang konflik lain secara terus-menerus. Begitu mudahnya ekspresi negatif masyarakat dituangkan di lini waktu akun sosial mereka, nyaris tanpa batas dan jeda.
Di media cyber, masyarakat seperti menjadi “jurnalis instan” dengan secara cepat bisa meresirkulasi kanal informasi yang tidak jelas unsur kebenarannya. Masyarakat digital hari ini, harus diakui, tidak memiliki kefasihan literer: mereka hanya akan membaca sekilas dan cepat (scanning-skimming) atas informasi yang tidak tentu kebenarannya. Kecakapan literer tampak tak ada guna di media sosial. Selama informasi itu bersinggungan dan mendukung kepentingannya, mereka akan me-share di akun komunitas lain.
Dalam Digital Media and Society (2013), Adrian Athiqui menelaah secara gamblang atas implikasi dan konsekuensi perkembangan internet dan kehadiran digital media. Peralihan masyarakat menjadi warga digital (digital society), bagi Adrian, tidak mampu dibarengi dengan kukuhnya karakter. Bahkan, warga digital telah secara langsung menggilas sendi-sendi kultural laku moyang yang santun dan beradab sejak dulu. Apa yang dipersepsi Adrian rupanya benar adanya. Tidak hanya di Indonesia, propaganda informasi digital juga bisa kita temukan di seluruh penjuru dunia.
Di Amerika, misalnya, kuasa media hoax justru banyak dikunjungi dan dibagikan ke halaman lain di media sosial. Bagung Suyanto, dengan mengutip studi Craig Silverman (2016), menulis bahwa selama Pilpres Amerika, berita hoax dari situs tak terpercaya dan blog partisan di-share hingga 8.711 juta kali di media sosial, berbeda dengan berita media online ternama yang justru di-share hanya 7.367 juta kali. Fenomena ini menjadi gunung es, tidak hanya skala nasional tetapi juga internasional, atas tuntutan mekanisme hukum yang tegas untuk mengatur komunikasi dan informasi di media elektronik.
Sejauh ini, realitas semu di media sosial tidak bisa dianggap ihwal remeh. Baru-baru ini, pemerintah merevisi dan mengesahkan pasal dan ayat dalam UU Informasi dan Transaksi Eektronik (UU ITE). Kesenjangan sosial yang ditimbulkan akibat polarisasi opini publik melalui media propaganda telah menggoyahkan stabilitas sosial, politik, budaya Indonesia. Usaha yang dilakukan pemerintah dan kepolisian memang perlu diapresiasi, tetapi yang tak kalah penting, bagaimana membangkitkan minat membaca masyarakat dengan terlebih dahulu menelaah kebenaran berita.
Selain tentu mengusahakan mekanisme yang tegas untuk mengatur etika komunikasi di media cyber, masyarakat juga harus dibarengi dengan praktik melek media: menverifikasi, menelaah, dan membaca cermat tanpa ego dan kebencian. Sehingga dengan demikian, masyarakat internet (netizen) bisa merespon kanal informasi berita secara santun dengan mengedepankan kesalehan sosial.
Bahkan, prospek ini juga harus didukung oleh segenap lapisan dan stakeholder. Di duni pendidikan, misalnya, peserta didik harus juga dikenalkan ‘kesadaran melek media dan hak memperoleh informasi’. Tentu saja, harus melalui serangkaian praktik profesinal dan transparan—sebagaimana diamanatkan ketetapan UNISCO tahun 2010. Masyarakat harus mulai mengenal medan informasi daring secara sehat dan kridibel. Bagaimanapun, mencetak nitizen saleh menjadi keniscayaan di tengah kecamuk kau buzzer dan hacker.