Memasuki tahun politik 2018, kewaspadaan terhadap kemungkinan menyebarnya provokasi, hasutan, dan pelbagai bentuk kampanye hitam (black campaign), meski sama-sama kita tingkatkan. Sebab, dengan padatnya jadwal perhelatan politik dalam beberapa waktu ke depan, hampir bisa dipastikan ruang-ruang publik akan riuh dengan pelbagai kampanye dan narasi politik dari para calon atau kontestan yang sedang berkompetisi. Persaingan politik tersebut, jika tidak dijalankan dan disikapi dengan cara-cara yang baik, akan berpotensi besar menciptakan gesekan dan pertikaian di kalangan masyarakat.
Salah satu hal yang sangat penting diwaspadai terkait masa-masa pertarungan politik adalah merebaknya isu SARA. Upaya menggaet simpati publik, memobilisasi massa, menyerang lawan politik, bahkan memprovokasi suatu kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan politik tertentu tak jarang memanfaatkan sentimen bernuansa Suku, Agama, Ras, dan antar-golongan (SARA). Cara-cara tersebut merupakan cara yang berbahaya. Sebab bisa menciptakan polarisasi di masyarakat dan memancing pertikaian, bahkan perpecahan secara luas.
Bahaya yang membayangi merebaknya isu SARA di tengah kompetisi politik tersebut semakin mengkhawatirkan jika kita melihat bagaimana cepatnya penyebaran informasi di media sosial saat ini. Kita tahu, saat ini media sosial sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan banyak orang, termasuk di Indonesia. Hampir semua pengguna internet di Indonesia menggunakan media sosial. Survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada November 2016 menunjukkan, sebanyak 129,1 juta orang, atau sekitar 97,4% dari total pengguna internet di Indonesia, menjadikan media sosial sebagai konten yang paling sering diakses.
Di media sosial, siapa pun bisa mengakses dan bahkan bebas membuat konten, kemudian menyebarkannya dengan mudah dan cepat. Sebuah isu atau berita yang belum jelas kebenarannya, bisa dengan cepat menyebar luas menjadi perhatian di kalangan warganet. Tak jarang, sebuah isu atau berita yang bernada provokatif akan mudah menciptakan pertikaian yang sulit dikendalikan. Dan kita bisa bayangkan bagaimana pertikaian tersebut akan semakin sulit dibendung jika konten-konten yang beredar sarat dengan provokasi, hasutan, dan kebencian berbasis SARA.
Isu SARA selalu menjadi isu yang sensitif. Pengamat politik Ardi Winangun (Detik.com, 28/08/2012) mengatakan, konteks SARA bisa membedakan antara “aku” dan “kamu”, “kita” dan “mereka”, “penduduk asli” dan “pendatang”, Islam dan non-Islam. Pembeda-bedaan tersebut kerap dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Biasanya dihembuskan untuk memprovokasi masyarakat bahwa “kita” harus bersatu dalam identitas yang sama untuk menghadapi “dia” atau “mereka” yang bukan bagian dari “kita”.
Hal tersebutah yang banyak dimanfaatkan orang-orang tak bertanggungjawab untuk memproduksi konten-konten provokatif bernuansa SARA demi tujuan politik tertentu. Masyarakat akan cenderung mudah hanyut narasi-narasi provokatif bermuatan SARA, sebab merasa memiliki keterikatan identitas dan emosional yang sangat kuat. Dari sini, masyarakat mudah dikendalikan, baik untuk berempati, mengagumi, maupun untuk membenci dan menghujat seseorang atau kelompok tertentu secara sangat berlebihan. Bermula dari sana, pelbagai pertengkaran dan pertikaian akan mudah berkobar.
Agar kebal isu SARA
Melihat kondisi tersebut, kita perlu membangun kesadaran bersama agar bisa terhindar dari bahaya isu SARA di dunia maya. Dalam konteks pertarungan politik, kesadaran dari para peserta kompetisi politik untuk berkomitmen menjauhi praktik kampanye hitam dengan memainkan isu SARA menjadi hal yang paling utama. Di samping itu, kita sebagai masyarakat juga harus membangun kesadaran sendiri agar tak gampang termakan permainan isu SARA di media sosial. Masyarakat pengguna media sosial atau warganet di Indonesia harus memiliki benteng diri agar kebal terhadap bahaya isu SARA.
Dalam pandangan penulis, hal mendasar yang penting ditanamkan adalah kesadaran untuk menghargai perbedaan. Negara kita adalah negara kesatuan dengan masyarakat yang majemuk dan beragam. Setiap warga negara, dari suku mana pun, dari ras mana pun, dari agama mana pun, memiliki hak yang sama sebagai warga negara dan harus mampu hidup saling menghargai dan menghormati. Jika kesadaran ini sudah tertanam, maka orang tak akan mudah diprovokasi untuk saling membenci dan menyerang satu sama lain hanya karena perbedaan identitas tersebut.
Sedangkan dalam konteks media sosial, penting disadari oleh warganet untuk selalu berhati-hati setiap kali dihadapkan atau hendak membagikan sebuah tautan berita, artikel, atau jenis konten apa pun di media sosial, baik itu yang didapatkan dari Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram, dan jenis-jenis media sosial lainnya. Biasanya, konten-konten yang memainkan isu SARA sudah tercium dari penggunaan judul yang provokatif. Kadang, berupa pesan berantai yang diedarkan via WhatsApp dan meminta agar terus disebarkan. Di sini, kewaspadaan dan kehati-hatian menjadi kunci.
Jika konten sudah jelas berisi narasi yang memainkan isu SARA, cara paling sederhana dan mudah dilakukan adalah mengabaikannya. Atau, jika kita hendak menyebarkan namun belum yakin akan kebenarannya, kita bisa melakukan kroscek dengan menggali sumber-sumber lain. Pada intinya, warganet yang cerdas akan selalu memikirkan dampak dari setiap aktivitasnya di dunia maya, baik itu aktivitas memposting, membagikan, berkomentar, dll.; apakah akan membawa manfaat dan kebaikan secara luas, atau malah justru mengakibatkan pertikaian dan perbedatan yang minim faedah.