Perang melawan paham ekstrem itu tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah atau negara saja. Masyarakat juga punya kewajiban untuk ikut andil secara aktif melawan radikalisme dan ekstremisme.
Apalagi pintu masuk paham radikal ke masyarakat hari ini tidak hanya dari satu sisi saja. Melainkan dari banyak celah. Ada yang masuk melalui lembaga pendidikan, ada yang melalui organisasi keagamaan, melalui kantor pemerintahan dan swasta, bahkan ada pula yang merangsek melalui tempat ibadah.
Salah satu pintu masuk infiltrasi paham radikal ekstrem itu juga melalui teknologi digital yakni internet dan media sosial. Jagat digital telah menjadi semacam arena pertempuran baru bagi wacana keagamaan. Dan, harus diakui bahwa dalam pertempuran itu, narasi keagamaan radikal ekstrem tampaknya cenderung dominan.
Dominasi narasi radikal ekstrem di media digital tidak terjadi karena mereka mayoritas atau narasi yang mereka usung benar. Melainkan lebih karena para pengesungnya yang terkenal berisik di media sosial.
Fenomena Minoritas Berisik di Jagad Digital
Inilah yang disebut sebagai fenomena noisy minority. Yaitu kondisi ketika kelompok yang jumlahnya lebih sedikit namun aktif bahkan gencar memproduksi dan mendistribusikan opini atau wacana di ruang publik sehingga seolah-olah mereka jadi kelompok dominan.
Keberadaan noisy minority juga dimungkinkan karena kelompok moderat lebih memilih diam dan bersikap pasif. Fenomena silent majority ini menjadi celah bagi kaum radikal untuk mendominasi jagad digital dengan narasi yang memecah-belah.
Fenomena silent majority lahir karena sejumlah faktor. Antara lain, pertama adanya anggapan bahwa narasi kaum radikal tidak “layak” ditanggapi. Tersebab, opini dan narasi kaum radikal di jagat digital cenderung murahan dan tidak akademis. Maka, lauk moderat kelas menengah cenderung malas menanggapinya.
Kedua, adanya idiom lama yang berbunyi “sing waras ngalah” alias yang masih punya akal sehat mendingan tidak usah melawan. Diktum ini muncul karena kaum moderat kerapkali kesulitan menghadapi kaum radikal yang suka ngeyel tanpa dasar dan kerap memakai logika ad hominem ketika berdebat di media digital.
Ketiga, kaum moderat terlalu sibuk dengan dunia berikut agendanya sendiri. Mereka cenderung tidak aktif mengampanyekan pemikiran moderat ke lingkup eksternal. Alih-alih hanya di lingkup internal mereka sendiri. Contohnya, dakwah Islam moderat kiai-kiai NU kerap kali hanya menjangkau jamaah warga Nahdliyin yang secara prinsip sebenarnya sudah moderat.
Wujud Kesiapsiagaan Netizen Melawan Narasi Radikal
Disinilah pentingnya membangun kesiapsiagaan kaum moderat terutama di media digital. Mayoritas umat beragama di Indonesia cenderung masuk dalam kategori moderat. Begitu pula mayoritas warganet alias netizen di jagat digital kita sebenernya juga berpandangan moderat. Hanya saja, mereka cenderung memilih untuk diam dan pasif.
Maka, kesiapsiagaan warganet melawan paham radikal di jagat digital harus dimulai dengan mendorong kaum moderat untuk tidak lagi pasif, apalagi diam. Kaum moderat harus aktif di jagat digital untuk membendung narasi radikal yang saat hari diproduksi dan didistribusikan secara masif.
Bentuk kesiapsiagaan warganet dalam mengadang narasi radikal ini bisa mewujud ke dalam setidaknya tiga hal. Pertama, memutus mata rantai penyebaran konten radikal ekstrem di media sosial dengan tidak membagikannya, menyukainya, atau mengaksesnya sekalipun.Mengabaikan konten yang memuat narasi radikalisme adalah cara paling mudah untuk membuat konten tersebut kehilangan kesempatan menjadi viral.
Seperti kita tahu, algoritma media sosial cenderung memudahkan konten apa pun menjadi viral karena faktor banyaknya viewers, like, dan share. Tidak peduli apa muatan kontennya jika jumlah penontonnya banyak, maka akan dengan sendirinya menyebar ke seluruh jagat digital.
Kedua, melawan segala jenis narasi radikal di jagat digital dengan membantahnya secara langsung dan saat itu juga. Ini artinya kita tidak boleh malas, malu, apalagi takut berdebat dengan kelompok radikal di jagat digital.
Misalnya, ketika ada eksponen gerakan radikal yang mencoba memelintir sejarah, maka kita berkewajiban meluruskan saat itu juga alias tidak perlu ditunda. Tujuannya agar konten tersebut tidak keburu menyebar dan viral atau kadung dianggap kebenaran oleh publik.
Ketiga, kita harus membangun kontra narasi radikalisme di jagat digital. Yakni dengan memproduksi dan mendistribusikan konten dengan narasi yang berkomitmen pada persatuan dan perdamaian. Ini artinya, kita harus membangun narasi keagamaan dan kebangsaan baru sebagai lawan tanding dari narasi radikal ekstrem yang kadung dominan di jagat digital.
Penting dicatat bahwa konten-konten receh atau lucu-lucuan yang sifatnya menghibur acapkali jauh lebih menyatukan bangsa ketimbang konten-konten serius atau berat namun bertendensi memecah-belah bangsa.
Apalagi di tahun politik seperti sekarang, dimana jagat digital akan riuh oleh perang opini dan debat berkepanjangan ihwal dukung-mendukung kandidat pemimpin. Di tengah situasi yang seperti itu, sebaran konten-konten ringan, menghibur, namun sarat pesan tentang perdamaian dan persatuan sangat kita butuhkan.