Ramadan bagi bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam menjadi momentum untuk menyemaikan pesan-pesan perdamaian Islam. Sebagaimana diamanahkan oleh al Qur’an (al Baqarah; 201), Islam adalah agama yang mengajarkan keimanan (tauhid) yang wujudnya berupa ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya sebagai utusan pembawa rahmah menuju keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat.
Cara mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan itu dijelaskan dalam ayat yang lain (al Anbiya’; 107). Keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat hanya bisa terwujud dengan terciptanya perdamaian dan kasih sayang antar umat manusia. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, risalah yang diembankan kepada Nabi Muhammad tidak lain adalah misi damai dan kasih sayang untuk semua umat manusia di seluruh penjuru bumi.
Individu muslim yang mengamalkan agamanya secara utuh dalam jiwanya dipastikan terinternalisasi nilai perdamaian. Sebagaimana diamanahkan oleh al Qur’an (al Baqarah; 208). “Masuklah kalian ke dalam Islam secara utuh” merupakan perintah berislam secara sempurna. Salah satunya adalah menginternalisasi nilai-nilai perdamaian dalam praktek hidup beragama.
Menjadi bukti, bahwa sesungguhnya doktrin agama Islam tak pernah mengajarkan kekerasan. Islam mengajarkan dan menuntun umatnya ke jalan yang penuh rahmat dan kedamaian. Hal ini sesuai dengan makna literal Islam itu sendiri yang berarti damai, selamat, aman, atau tentram. Islam, sangat menekankan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari, baik sesama muslim maupun antar umat beragama.
Baik al Qur’an maupun hadits, setiap akan terjadi konflik selalu mengusung penerapan resolusi konflik. Kalau melihat dua kelompok muslim bertikai, damaikanlah. Bahkan, dalam urusan rumah tangga yang terancam retak resolusi konflik tetap dikedepankan dengan mengutus dua negosiator dari kedua belah pihak.
Nabi sendiri tidak kurang memberikan uswah mempraktikkan perdamaian dan kasih sayang. Hal itu semakin mempertegas bahwa misi dan tujuan Islam diturunkan ke bumi agar senantiasa menyebarkan kehidupan yang damai.
Maka, menjadi jelas kalau fenomena beragama yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, berupa kekerasan yang memakai label agama sebagai legitimasinya merupakan perbuatan yang bertolak belakang dengan ajaran agama Islam.
Ada dua kemungkinan kenapa fenomena kekerasan atas nama agama selalu mengemuka dalam praktik kehidupan beragama belakangan ini. Pertama, ketidaktahuan akan ajaran Islam yang ada dalam al Qur’an dan hadits. Kealfaan ini bisa disebabkan oleh berislam yang instan serta salah memilih guru agama. Seperti belajar agama dari media sosial dan kanal-kanal yang menjadi sumbernya tidak tepat. Kedua, karena faktor kepentingan politik tertentu. Hanya intrik dan kepentingan politik yang sanggup merekayasa ajaran agama Islam.
Sebenarnya mudah untuk mengidentifikasi ajaran Islam yang mengedepankan perdamaian dan kasih sayang, yaitu dengan membaca sejarah dan budaya Islam pada masa Nabi. Teladan berupa bina damai banyak dipraktikkan oleh Nabi, baik dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin sebuah negara.
Nilai-nilai seperti persaudaraan, persatuan, perdamaian, kesetiaan dan sikap saling menghormati selalu beliau tekankan dalam hidup berdampingan, meski berbeda agama, suku, ras dan kelompok. Beliau selalu menampilkan sikap toleransi, keadilan, kasih sayang dan kebaikan. Seperti itulah sejatinya umat Islam yang berislam secara baik dan sempurna.
Bulan Ramadan menjadi momentum untuk memperbaiki keimanan dan ketakwaan. Puasa di bulan suci melatih umat Islam menjadi insan yang dalam dirinya terinternalisasi nilai-nilai ajaran Islam yang semestinya. Melatih supaya menjadi manusia yang memiliki keimanan dan ketakwaan sehingga mampu mewujudkan risalah Islam sebagai agama yang menebarkan kasih sayang dan perdamaian.
Bulan Ramadan juga menjadi momentum merubah cara pandang beragama yang semakin disesaki dengan doktrin-doktrin ideologi radikal yang menampilkan cara beragama yang ekstremis. Puasa di bulan suci jika dilakukan secara benar akan mengikis doktrin-doktrin yang berasas pada ekstremitas keagamaan yang menampilkan pola beragama yang kasar, cenderung menyalahkan kelompok lain, memusuhi mereka yang berbeda dan selalu menebarkan teror serta ketakutan.
Indikator puasa Ramadan diterima atau tertolak adalah pola beragama setelah Ramadan pergi. Jikalau penyakit beragama berupa doktrin-doktrin yang berasas pada ekstremitas keagamaan masih kental mewarnai cara pandang keberagamaan seseorang, berarti puasanya hanya sekadar menahan haus dan lapar saja. Puasa tidak sedikitpun memberikan kontribusi peningkatan ketakwaan seperti diingatkan oleh al Qur’an; “semoga kamu menjadi insan yang bertakwa”.
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, Islam adalah agama yang menyelamatkan, membawa kedamaian, kebaikan dan keadilan. Maka, kalau selalu menebar permusuhan dan kebencian sejatinya telah luput dan jauh dari kehendak ajaran agama.
Sedangkan indikator puasa Ramadan itu maqbul kalau menambah kualitas keimanan dan ketakwaan di luar Ramadan. Pada diri seorang muslim terpatri sifat yang menyejukkan dan penuh kasih sayang terhadap sesama. Jiwanya bersih dari sifat sombong, kebencian, suka menyalahkan, merasa benar sendiri, dan bebas dari berbagai praktik memanfaatkan label-label agama untuk tujuan duniawi semata, seperti politik dan kepentingan.