“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah:183)
Puasa sejatinya untuk menaikkan derajat ketakwaan hamba. Karenanya, puasa bukan hanya menahan lapar dahaga. Puasa juga mengajarkan manusia untuk merepresentasikan wujud ketakwaan kepada Tuhan pada aspek-aspek sosial.
Sebagaimana nasihat Imam Ja’far al-Shadiq, “Ada pun alasan Allah mewajibkan puasa adalah untuk menyamakan si kaya dengan si fakir. Karena sesungguhnya si kaya tidak (pernah) merasakan nestapa lapar (sebagaimana yang dirasakan oleh si fakir), yang karenanya si kaya dapat mengasihi si fakir. Karena setiap si kaya menginginkan sesuatu, maka dia dapat memenuhi keinginannya itu. Maka dengan puasa Allah Swt. hendak menempatkan makhluk-makhluk-Nya pada suatu pijakan yang sama dengan jalan membuat si kaya turut merasakan nestapanya lapar dan kepedihan, yang karenanya (diharapkan) ia menaruh belas kasih kepada orang yang lemah dan mengasihi orang yang lapar.”
Salah satu hikmah puasa Ramadan ialah merekatkan ukhuwah antarsesama umat Islam, antarumat beragama, dan antarwarga negara Indonesia. Beragam ritual yang dijalani saat puasa, memang sarat membuat satu sama lain memiliki ikatan yang semakin kuat. Menahan lapar dan haus mengajarkan empati dan simpati, shalat tawarih berjama’ah mengajarkan kerekatan sosial, menunaikan zakat fitrah mengajarkan solidaritas sosial, dan kembali fitri di hari raya Idul Fitri mengajarkan saling memaafkan (Redaksi PMD, 2019).
Menjadi Rahmat
Puasa sungguh ibadah yang amat lekat dengan pesan-pesan kemanusiaan. Maka itu, seyogyanya puasa menjadi rahmat bagi sesama, bukan menjadi laknat bagi sesama. Dalam hadits disebutkan, “ awal bulan Ramadan adalah rahmat, pertengahan sebagai ampunan dan akhirnya menjadi momentum kebebasan dari api neraka” (HR. Baihaqi). Jelas bahwa bulan Ramadan harus penuh sesak dengan perilaku yang mencerminkan kasih sayang, bukan memupuk laknat dan kebencian. Ramadan harus dijalankan dengan penuh toleran, bukan disikapi dengan latah dan melegitimasi perilaku intoleran dibalut dengan dalil keagamaan. Hal ini karena puasa sejatinya menguji iman seorang yang berpuasa, sejauhmana tingkat ketakwaan kepada Tuhan.
Perlu diingat, Alquran juga sudah menahbiskan bahwa misi Islam sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah menjadi rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya’: 107). Maka itu, bila masih ada sesama yang tidak merasa aman dari lisan dan perbuatan kita, sungguh perlu ada yang dikoreksi dalam cara beragama kita. Beragama bukan hanya perihal ritual ibadah menyembah Tuhan semata yang alpa kemanusiaan. Beragama secara benar justru mentransformasikan sifat ketuhanan dengan melakukan perubahan sosial menuju lebih baik.
Maka itu, Ramadan yang selalu penuh sesak dengan orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan menjadi momentum tepat untuk membumikan kasih sayang kepada sesama manusia. Memberi ruang seluas-luasnya agar perbedaaan yang notabene menjadi fitrah kebangsaan agar bisa harmoni. Perbedaan jangan sampai menjadi dalih pijakan untuk membenarkan kebencian, kekerasan, dan konflik. Perbedaan harus dijadikan realitas kesejarahan untuk membangun kebersamaan dan persaudaraan.
Miqdad Husen (2007) pernah menjelaskan bahwa Islam sangat menghormati perbedaan, karena dalam setiap perbedaan, tersembunyi kekuatan istimewa yang bisa digunakan sebagai modal membangun peradaban yang lebih terhormat, konsruksi bangsa yang semakin kuat, atau kuda-kuda masyarakat yang semakin kokoh. Atau, ketahanan hidup bermasyarakat yang tidak mudah digoyahkan oleh kekuatan manapun. Dari perbedaan ini, sebenarnya ada elemen sosial yang bisa dan mampu mengingatkan dan menyelaraskan kepentingan mengenai tegaknya kebenaran, kejujuran, kesetaraan, dan keadilan.
Tidak Boleh Melaknat!
Perbedaan tidak boleh menjadi landasan untuk saling melaknat dan menebar kebencian. Berbeda agama dan kepercayaan sekalipun, harus disikapi dengan penuh cinta. Terhadap nonmuslim yang sedang tidak menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, maka kita juga perlu bersikap toleran, menghormati hak-haknya serta memanusiakan dengan sepenuhnya. Begitu pula dengan sesama muslim, sekalipun pada beberapa ajaran yang bersifat furu’iyyah sering terdapat perbedaan, kita tidak boleh mengkafirkan sesama, menebar ujaran kebencian, dan bersikap arogan terhadap keyakinan kita sendiri.
Nabi Muhammad pernah mengingatkan, “tidak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai sesamanya (saudaranya) sebagaimana kalian mencintai diri sendiri”. Doktrin universal ini mengajarkan tentang relasi kehidupan yang tidak egoistik, saling “memberi hak hidup” dan kedamaian pada orang lain. Bukan menebar kebencian, saling berseteru dan melegalkan perilaku dehumanisasi.
Spirit dan kesadaran seperti inilah yang seharusnya menjadi kekuatan moral (moral force) di bulan Ramadan ini sehingga menggerakkan terjadinya pertemuan antarsegmen bangsa yang berbeda etnis, budaya, agama, politik, ekonomi, dan status sosial. Sehingga, antarsesama kita tidak mudah menebarkan laknat, tapi begitu enteng mengemban misi Islam dalam menebar rahmat. Wallahu a’lam.