Ramadhan Milik Bersama: Membangun Persatuan, Mengikis Perbedaan. Ini Langkah-langkahnya!

Ramadhan Milik Bersama: Membangun Persatuan, Mengikis Perbedaan. Ini Langkah-langkahnya!

- in Narasi
1203
0
Ramadhan Milik Bersama: Membangun Persatuan, Mengikis Perbedaan. Ini Langkah-langkahnya!

Ramadhan sejatinya ritual orang Islam, namun juga mengandung dimensi sosial bahkan lintas iman. Betapa tidak. Lihat saja beberapa teladan dari berbagai tokoh lintas agama, mereka secara sadar dan terencana tak sungkan-sungkan untuk memberikan ucapan selamat puasa Ramadhan. Dalam berbagai kesempatan, tokoh lintas agama juga menggelar berbagai acara untuk merawat harmoni, toleransi, mengikis perbedaan dan membangun persatuan, menyediakan buka bersama dan lain sebagainya merupakan contohnya.

Memaknai Ramadhan sebagai milik bersama dan rahmat bagi semesta sangat penting sekali. Lebih-lebih dalam konteks Indonesia saat ini, di mana berbagai gesekan dan hoax yang memecah-belah bangsa begitu deras menjejali laman-laman media sosial. Perbedaan tak lagi dimaknai dan disikapi secara arif, justru malah menjadi sebuah persoalan yang mengarah pada disintregasi sosial.

Seluruh penduduk negeri ini harus satu frekuensi bahwasannya persatuan bangsa merupakan pilar untuk meraih kebahagiaan dan kemenangan. Ia juga menjadi tiang penegak kemajuan dan kemakmuran negeri ini. Melalui refleksi Ramadhan milik bersama dan harus menjadi rahat bagi semesta, Ramadhan pada tahun ini dapat memberikan dampak positif bagi persatuan di negeri ini.

Maka dari itu, wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakan dan menegakkan persatuan bangsa. Hal ini sekaligus sebagai upaya untuk meraih derajat mulia di-sisi-Nya. Sebab, shaleh secara spiritual saja tidak cukup. Artinya juga harus diringi dengan shaleh secara kehidupan bernegara. Nabi adalah sosok pemimpin umat sekaligus pemimpin bangsa yang tak perlu diragukan lagi akan komitmennya terhadap negara yang Nabi tempati kala itu. Kini, sebagai umat beliau, harus meneladaninya.

Langkah Membangun Persatuan, Mengikis Perbedaan

Sangat disayangkan memang belakangan ini marak sebuah narasi yang menyentuh aspek vital seperti aqidah. Joseph Paul Zhang adalah satu diantara sekian banyak kasus yang senada. Ia mencoba memancing emosi umat Muslim dengan mengatakan bahwa ia merupakan Nabi ke-26 setelah Nabi Muhammad SAW.

Tentu saja narasi seperti itu harusnya dihindari karena dapat merusak persaudaraan dan persatuan bangsa yang notabena komposisinya beragam agama, ras, golongan, bahasa dan lain sebagainya. Namun, fenomena Paul Zhang tak perlu ditanggapi hingga berlarut-larut. Biarlah hal itu diproses secara hukum. Fokus kita saat ini adalah membangun atau merumuskan langkah-langkah untuk membangun persatuan dan mengikis perbedaan.

Setidaknya terdapat beberapa langkah. Pertama, berpegang teguh pilar negara. Ketaan Muslim kepada Allah SWT dan Rasul-nya memang adalah hal utama dan merupakan suatu yang tidak bisa diotak-atik lagi. Artinya, tidak bisa dinegosiasikan. Namun, ketataan itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak taat terhadap para pemimpin dan ulama di negeri ini.

Poin pertama ini sungguh tidak dimaksudkan sebagai pandangan yang sekuler. Justru merupakan bagian dari meraih sebuah subtansi dari agama Islam sendiri. Bahwa untuk menjadi Islam sejatinya, bisa sekaligus menjadi orang Indonesia tulen. Dalam kaitannya membangun persatuan bangsa dan mengikis perbedaan, sudah seharusnya kita berpegang teguh pada pilar negara. Inilah esensi puasa dalam perspektif berbangsa.

Kedua, tidak berlaku fanatik buta. Sikap fanatik buta tidak hanya akan melahirkan kesombongan yang tiada bertepi. Lebih dari itu, juga dapat menjadikan seseorang menolak kebenaran dari pihak lain. Jika yang demikian terjadi, maka persatuan akan sulit disaksikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta beragama saat ini.

Karena fanatik buta akan membawa sikap-sikap yang dapat merusak persatuan, seperti memejamkan mata dari dalil atau pendapat yang kuat yang berasal dari kelompok lain, bisa juga merubah suatu dalil atau pendapat untuk mendukung kelompoknya, dan masih banyak hal negatif lainnya.

Puasa atau Ramadhan adalah bulan yang bisa mengikis laku fanatik seseorang. Hal ini, salah satunya, tercermin dari ritual shalat tarawih. Di Indonesia, pelaksanaan shalat tarawih tidak semuanya seragam. Artinya, ada yang menjalankan shalat tarawih 8 rakaat, ada pula yang 20 rakaat. Namun, semuanya berjalan dengan damai. Tak ada gesekan diantara jamaah tarawih 8 rakaat dengan yang 20 rakaat. Hal ini bisa terjadi lantaran mereka tidak fanatik buta.

Dalam sebuah hadis dijelaskan. Dari Jabir bin Muth’im, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ‘ashabiyyah’ (fanatik buta), bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ‘ashabiyyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ‘ashabiyyah.” (HR. Abu Dawud No.4456).

Ketiga, membuka ruang diskusi dan musyawarah. Di dalam kondisi komposisi bangsa Indonesia yang beraneka ragam, sulit menghindarkan sebuah perbedaan yang berujung pada sebuah gesekan antar kelompok. Yang demikian itu sudah menjadi sunnatullah.

Jika gesekan tersebut tidak disikapi dengan bijaksana, maka akan melahirkan gesekan atau masalah yang lebih besar. Dalam rangka membangun persatuan dan mengikis perbedaan, maka ruang-ruang diskusi dan musyawarah harus tersedia dan terbuka seluas-luasnya.

Ramadhan merupakan bukan penuh dengan berkah dan rahmat. Sudah seyogyanya, setiap individu muslim harus melipatgandakan keberkahan dan rahmat itu kepada khalayak yang lebih luas. Kepeduliaan sosial yang melekat dari hamba-Nya ketika bulan Ramadhan harus dijadikan kesempatan untuk membangun bangsa dan negara ini secara berkelanjutan. Inilah yang disebut sebagai Ramadhan milik bersama. Mari sama-sama membangun persatuan dan mengikis perbedaan yang bisa mengganjal persatuan dan persaudaraan nasional.

Facebook Comments