Di dalam Al-Qur’an surat Al-anbiya’ ayat 107 dalam kata Wama asrsalnaka illa rahmatan lil alamin sejatinya bukan hanya sempit pada makna Islam sebagai rahmat bagi alam (karunia) dan secara spesifik mengacu kepada umat Islam saja. Karena banyak kitab tafsir, salah satunya Al-Mishbah karya Prof. Quraish Shihab yang menjelaskan bahwa kata rahmatan itu sejatinya mengacu kepada jalan persaudaraan dan keharmonisan sesama umat manusia.
Jadi, kontekstualisasi spiritualitas puasa di dalam Islam sebetulnya tidak hanya mengandung unsur-unsur yang khusus terhadap umat Islam itu sendiri. Sebagaimana makna literal agama ini diturunkan sebagai rahmatan. Maka, berbuat baik, saling berbagi, tanpa saling mengusik dan merayakan festival puasa di bulan Ramadhan ini penuh kerahmatan sejatinya merupakan perintah asal di dalam Islam itu sendiri.
Misalnya tentang spirit puasa dalam kata perintah untuk (menahan) dari rasa haus dan lapar. Secara subtansial ini mengacu kepada refleksi diri di tengah situasi sosial masyarakat yang mengalami kelaparan dan kemiskinan misalnya. Maka, efek motorik akan rasa lapar dan rasa haus yang kita rasakan ini sebetulnya harus menguatkan rasa solidaritas kita akan pemberantasan kemiskinan serta kelaparan di negeri ini.
Maka, saya tidaklah sepakat jika membagi-bagikan takjil atau makanan saat puasa itu hanya dikhususkan kepada mereka umat Islam yang sedang berpuasa. Tentu semangat berbagi kepada sesama ini juga harus dibangun dalam diri untuk menjadikan spirit atau festival puasa sebagai alternatif memberikan pengaruh besar terhadap kemanusiaan kita.
Pun juga kita harus membentangkan jalan spiritualitas puasa ini sebagai alternatif diri untuk membunuh ego dan hasrat hawa nafsu. Di sini kita akan mengacu kepada taraf fungsional bahwa puasa yang kita lakukan janganlah menjadi jalan alternatif untuk mendikotomi mereka yang berbeda dan berbuat semena-mena terhadap mereka yang berbeda agama dengan kita.
Puasa kita harus menjadikan bentang perjalanan spiritualitas kita yang bisa memengaruhi kesadaran kita untuk bersikap baik kepada mereka yang berbeda agama. Puasa harus menjadikan kita bisa bersikap sejuk, ramah dan menenangkan kepada mereka yang berbeda agama. Karena puasa sebetulnya selalu menekankan hal-hal yang sifatnya keburukan dan permusuhan untuk kita tahan dan kita hancurkan.
Karena percuma jika kita berpuasa, tetapi dalam relasi kemanusiaan kita justru rusak. Hal itu akan menghapus spirit puasa tersebut. Karena penulis selalu menekankan bagaimana syariat wajib di dalam Islam selalu condong terhadap tatanan kemanusiaan kita. Seperti shalat, agar kita terhindar dari perbuatan mungkar dan mudharat. Seperti haji, mengajarkan kita akan persamaan satu sama lain dan yang membedakan hanyalah iman. Bahkan dalam sedekah, kita diajarkan agar kita mementingkan kepentingan orang lain dengan cara berbagi.
Maka, di dalam puasa selain bisa mengontrol diri agar terhindar dari keburukan, niscaya ini juga dijadikan jalan spirit untuk membentangkan jalan rahmat bagi sesama. Sebagaimana pemahaman di atas bahwa dimensi rahmatan itu bukan hanya dalam taraf karunia. Tetapi mengacu kepada persaudaraan dan kebersamaan satu sama lain. Di situlah titik fokus agama Islam sebagai rahmat.
Oleh sebab itu, jadikan puasa kita sebagai jalan untuk menebarkan rahmat bagi mereka yang berbeda. Dengan merayakan festival puasa ini sebagai jalan untuk membangun relasi dan sikap toleran terhadap mereka yang berbeda. Serta memiliki rasa solidaritas yang kuat untuk meniscayakan semacam kebaikan bersama dalam bentuk saling berbagi kepada mereka yang membutuhkan tanpa memandang agama-nya apa. Tetapi kita harus memosisikan puasa sebagai jalan untuk menebarkan rahmat bukan mudharat.