Menunggangi Peristiwa Bencana dengan Narasi Khilafah

Menunggangi Peristiwa Bencana dengan Narasi Khilafah

- in Narasi
387
0
Menunggangi Peristiwa Bencana dengan Narasi Khilafah

Beberapa waktu lalu bencana gempa menimpa wilayah Cianjur dan sekitarnya pada Senin (21/11) pukul 13.21 WIB. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban meninggal akibat gempa mencapai 321 jiwa, dan korban luka mencapai 1.083 orang. Peristiwa ini tentu menjadi bencana yang menyisakan kesedihan, luka dan trauma. Namun sayangnya, ada juga beberapa kalangan yang justru menyambungkan bencana alam ini sebagai sebuah azab bagi para pendosa dan hukuman dari Sang Maha Pencipta.

Cara pandang bencana sebagai adzab sebenarnya sudah menjadi bagian dari pengetahuan masyarakat. Bagaimana tidak, dalam pandangan agama, misalnya Islam, terdapat kisah yang cukup populer mengenai bencana alam. Salah satunya adalah banjir besar yang terjadi di masa Nabi Nuh dan gempa bumi dahsyat disertai dengan letusan petir, keluarnya gas alam, serta lautan api untuk umat Nabi Luth.

Semua cerita tentang bencana alam yang digambarkan di atas merupakan sebuah peringatan sekaligus merupakan azab bagi mereka kaum yang ingkar. Kisah tersebut bukan hanya ada dalam agama Islam saja, ternyata dalam agama Kristen juga diceritakan kisah tentang banjir besar yang menimpa umat Nabi Nuh dan juga dikisahkan tentang kekeringan hebat di Israel pada zaman Nabi Elia. Semua bencana itu dipercaya akibat dari kelakuan manusia yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan.

Bukan hanya agama yang berbicara tentang azab, ternyata dalam kisah masyarakat, banyak sekali cerita-cerita tentang adanya bencana yang diakibatkan akan adanya kesalahan yang bersumber dari manusia. Dongeng lokal yang banyak kita dengar sejak kecil lekat sekali dengan kisah kemarahan alam semesta terhadap manusia. Begitu banyak legenda tentang tempat-tempat di Indonesia yang asal muasalnya adalah kemarahan semesta pada kesalahan manusia. Contohnya saja kisah tangkuban prahu di mana, manusia yang dikutuk menjadi batu dan masih banyak kisah lainnya.

Pandangan bahwa bencana alam adalah bentuk hukuman, kemarahan penguasa alam pada manusia telah tertanam dalam ingatan dan benak, jauh sebelum masing-masing kita masuk sekolah, belajar ilmu pengetahuan, membaca buku-buku ilmiah. Karena alasan inilah pada akhirnya banyak pihak yang akhirnya membuat narasi seolah-olah bencana yang terjadi di Cianjur merupakan bentuk kemarahan Allah atas tingkah laku manusia yang ada di sana. Bahkan kelompok pengasong Khilafah tak segan mengeluarkan narasi bahwa bencana terjadi karena Indonesia tidak mau menerapkan sistem Khilafah sebagai pengganti Pancasila.

Jika kita mau mempelajari lebih jauh dalam tafsir dan kacamata yang berbeda, fenomena bencana alam ini dapat dijelaskan secara ilmiah. Ketika di bangku sekolah, kita pasti diajarkan bahwa gempa disebabkan oleh pergeseran lapisan bumi, dan gunung meletus disebabkan oleh mekanisme dapur magma.

Peristiwa gempa Cianjur, terdapat tiga faktor yang membuat gempa bumi ini jadi amat merusak. Pertama, karena kedalaman gempa yang dangkal. Kedua, struktur bangunan tidak memenuhi standar aman gempa. Ketiga, lokasi permukiman berada pada tanah lunak (local site effect-efek tapak) dan perbukitan (efek topografi).

Namun sayangnya, ilmu pengetahuan tidak akan mudah mempengaruhi narasi yang sudah tertanam dan telah dibentuk lama oleh agama dan juga cerita rakyat yang sudah telanjur tertanam. Dalam hal apapun manusia perlu menyadari akan adanya hukum sebab akibat. Jika memang terjadi bencana pastilah karena adanya suatu sebab yang menjadi penyebabnya.

Sebenarnya mengaitkan bencana alam dengan azab adalah hal yang tidak salah, wajar, dan boleh-boleh saja. Apalagi jika kita memahami bagaimana pandangan itu tidak muncul tiba-tiba, tetapi dibentuk oleh narasi pengetahuan yang telah dijejalkan pada kita sejak kecil. Namun, narasi ini mestinya harus dinarasikan secara baik dalam bentuk mengajak manusia untuk selalu mawas diri dan intropeksi diri. Pada hakikatnya cerita tentang kemarahan Tuhan melalui alam kepada manusia, mengajak supaya manusia mampu mawas diri dan memeriksa diri sendiri sekaligus bersahabat dengan alam.

Narasi itu bukan dengan cara menunggangi isu bencana dengan tujuan politik dan ideologi. Narasi tentang azab karena negara tidak berdasarkan dengan sistem khilafah sejatinya bentuk propaganda licik yang tidak kenal simpati kemanusiaan. Mereka hanya bisa menyalahkan dan selalu bermain dengan narasi, tetapi tidak pernah melakukan tindakan aksi nyata memulihkan keadaan.

Facebook Comments